Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Gerakan Kepanduan ke Gerakan Pramuka

31 Januari 2025   23:09 Diperbarui: 31 Januari 2025   23:09 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baden-Powell dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam sampul buku "110 Tahun Gerakan Kepanduan di Indonesia". (Foto: Kwarnas)

Dari gerakan kepanduan ke Gerakan Pramuka. Begitulah yang terjadi pada 14 Agustus 1961, ketika organisasi baru bernama Gerakan Pramuka diperkenalkan kepada masyarakat luas. Di halaman Istana Negara, Presiden Soekarno menyerahkan Panji Gerakan Pramuka kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sebelumnya dikenal sebagai Pandu Agung. Selanjutnya, Kak Sultan -- panggilan akrab Sultan Yogyakarta itu di kalangan Gerakan Pramuka -- menyerahkan panji tersebut ke barisan defile, yang kemudian membawanya berjalan kaki keliling Jakarta.

Itulah awal berdirinya Gerakan Pramuka yang keberadaannya ditetapkan pada 20 Mei 1961 melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 238 Tahun 1961. Gerakan Pramuka menjadi wadah tunggal organisasi gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia, hasil peleburan dari puluhan organisasi kepanduan yang ada sebelumnya.

Catatan sejarah itu teringat kembali ketika membaca unggahan Kak Taufik Umar Prayoga, sahabat yang juga sama-sama ikut mendirikan Indonesia Scout Journalist dan Indonesia Scout Collectors Society bersama beberapa kakak lainnya. Kak Taufik menampilkan kembali unggahannya yang di Facebook pada 31 Januari 2018. Unggahan itu diberi judul "Farewell" atau bila diterjemahkan secara bebas dapat berarti "selamat tinggal".

Dilengkapi dengan dokumentasi foto para pandu putra sedang duduk di pinggir jalan sambil memegang tongkat pandu mereka, dan di belakangnya ada beberapa pandu putri yang berdiri, Kak Taufik menulis:

"Kesan lain adalah keprihatinan yang mendalam dan kekhawatiran bahwa ajaran-ajaran kepanduan yang begitu bagus, nampaknya akan hilang bersama-sama habisnya generasi pandu yang tersisa sampai saat ini. Gerakan Pramuka yang di-"takdirkan" sejak tahun 1961 menggantikan kepanduan, sangat sedikit menampakkan citra dan perilaku "Pandu" yang berasal berkembang dari ajaran B-P"~ Ungkapan Seorang Ex-Pandu Rakyat Indonesia.

 

Unggahan tersebut langsung mengingatkan saya pada kisah yang berkali-kali saya dengar. Ketika Presiden Soekarno meminta semua organisasi kepanduan disatukan ke dalam Gerakan Pramuka, sebagian pandu kurang setuju. Tak bisa menolak dan apalagi kemudian keluar Keppres yang menyatakan Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi yang boleh menjalankan pendidikan kepanduan di Indonesia, maka mereka yang tidak setuju itu akhirnya memilih tidak bergabung menjadi anggota Gerakan Pramuka.

Namun, jiwa pandu mereka tetap melekat. Maka mereka pun membentuk komunitas seperti kelompok pencinta alam, yang melakukan beragam kegiatan di alam terbuka, sambil tetap menaruh perhatian pada kegiatan bakti untuk masyarakat yang membutuhkan bantuan.

Pionir di Negara Komunis

Lalu, mengapa saat ini sebagian pandu menolak bergabung masuk ke dalam Gerakan Pramuka? Hal ini tak lepas dari situasi sosial politik saat itu. Pada masa tersebut, Indonesia cenderung "menoleh" ke arah ideologi komunis, bahkan Partai Komunis Indonesia menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia.

Para pandu itu khawatir, Presiden Soekarno mendapat "bisikan" yang kurang tepat untuk menyatukan berbagai organisasi kepanduan yang ada. Apalagi kemudian, Presiden juga "diperkenalkan" pada organisasi pionir, semacam komunitas kaum muda di negara-negara komunis, terutama di Uni Soviet (Rusia) yang diberi nama Kosmomol dan di China (Tiongkok) yang disebut Pionir Muda Komunis.

Sementara, para tokoh pandu seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan beberapa lainnya, boleh jadi sebenarnya juga sudah mensinyalir adanya upaya untuk menjadi wadah penyatuan organisasi kepanduan itu dibentuk menjadi seperti pionir di negara-negara komunis. Justru karena tahu itulah, Kak Sultan dan beberapa tokoh pandu lainnya, tidak membiarkan Presiden Soekarno meneruskan di bawah bayang-bayang "pembisik" yang mencoba membentuk organisasi pionir di Indonesia. Salah satu yang dicurigai sebagai pembisik itu adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono, yang dikenal beraliran "kiri" dan bersimpati pada komunisme.

Kak Sultan dan teman-temannya tampaknya justru mengikuti perintah Presiden -- yang rasanya juga tak mungkin ditolak -- tetapi dengan tetap mempertahankan agar wadah penyatuan itu tidak menjadi organisasi pionir. Itulah sebabnya, Kak Sultan tetap masuk dalam Panitia Lima yang menyiapkan pembentukan wadah tunggal organisasi kepanduan di Indonesia. Panitia Lima tersebut terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Dr. Prijono, Achmadi, Moeljadi Djojomartono, dan Dr. Azis Saleh.

Sinyalemen dan kecurigaan Kak Sultan itu terbukti ketika keluar Keppres Nomor 109 Tahun 1961 yang ditandatangani pada 31 Maret 1961. Keluarnya Keppres tentang pembentukan wadah tunggal organisasi kepanduan di Indonesia ternyata tidak melibatkan paling tidak tiga anggota Panitia Lima, yaitu Kak Sultan, Moeljadi, dan Azis Saleh. Ada dugaan bahwa Keppres itu juga bermuatan ideologi komunis.

Saat itu, dari informasi yang saya terima, yang mengetahui pertama kali adalah Husein Mutahar yang akrab dipanggil Kak Mutahar atau Kak Mut. Pencipta lagu Hymne Pramuka itu kebetulan bekerja di Sekretariat Negara. Kak Mut langsung menghubungi Kak Azis Saleh yang kemudian menjadi Ketua Harian dan Sekretaris Jenderal Kwartir Nasional (Kwarnas) pertama di bawah pimpinan Kak Sultan sebagai Ketua Kwarnas. Kak Azis Saleh langsung memberitahu Kak Sultan, sambil bergegas menemui Presiden Soekarno.

Akhirnya Keppres Nomor 109 Tahun 1961 dibatalkan, dan selanjutnya diganti dengan Keppres Nomor 238 Tahun 1961. Ada hal menarik ketika terbitnya Keppres Nomor 238 Tahun 1961. Saat itu, Presiden Soekarno sedang dalam kunjungan kenegaraan ke Jepang. Namun, Panitia Lima di bawah pimpinan Kak Sultan mendesak agar draft Keppres yang telah mereka susun itu, segera ditandatangani. Mereka khawatir, draft Keppres itu kemudian diubah lagi dan kembali menjadi Keppres yang berideologi komunis. Itulah sebabnya, Keppres Nomor 238 Tahun 1961 akhirnya ditandatangani oleh Pejabat Presiden, Ir. Djuanda.

Dijadikan Federasi

Baden-Powell dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam sampul buku
Baden-Powell dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam sampul buku "110 Tahun Gerakan Kepanduan di Indonesia". (Foto: Kwarnas)

Kekhawatiran masuknya ideologi komunis ke dalam Gerakan Pramuka itulah yang tampaknya membuat sebagian pandu menolak bergabung dengan wadah peleburan berbagai organisasi kepanduan tersebut. Di samping itu, informasi yang saya terima menyebutkan, para pandu itu juga memiliki kebanggaan dengan organisasi masing-masing. Lambang dan seragam khas milik organisasi kepanduan mereka, yang terasa sayang bila dihilangkan.

Mengenai hal ini, sekian belas tahun lalu, seorang yang pernah aktif di gerakan kepanduan sebelum menyatu ke dalam Gerakan Pramuka, pernah mengungkapkan pandangannya. Menurut dia, menyatukan berbagai organisasi yang ada memang bagus, karena itu juga senapas dengan pepatah, "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

Namun, menurutnya tidak perlu harus menghilangkan organisasi kepanduan yang ada. Dijadikan saja semacam federasi seperti dulu ada Ikatan Pandu Indonesia (Ipindo), yang merupakan federasi berbagai organisasi kepanduan di Indonesia. Untuk kegiatan di dalam negeri, masing-masing organisasi kepanduan boleh menggunakan lambang dan seragam milik mereka. Walaupun demikian, bila mengikuti kegiatan internasional di mancanegara, harus melalui satu pintu, yaitu federasi yang dibentuk. Lambang dan seragamnya juga harus sama.

Dari catatan sejarah, keberadaan Ipindo saat itu memang tidak efektif. Federasi itu tidak bisa "mengendalikan" semua organisasi kepanduan yang berada di bawahnya. Bahkan masih ada juga organisasi kepanduan yang tidak bergabung dengan Ipindo. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan aturan yang ketat dan dukungan pemerintah. Misalnya, pemerintah hanya mengakui organisasi kepanduan yang bergabung di bawah federasi yang dibentuk.

Nilai-nilai Kepanduan

Di luar persoalan Gerakan Pramuka mau dijadikan federasi atau tidak, ada hal menarik lainnya yang patut dicatat dari pernyataan seorang bekas pandu sebagaimana dikutip Kak Taufik Umar Prayoga dalam unggahan di akun Facebook-nya. "Gerakan Pramuka yang di-"takdirkan" sejak tahun 1961 menggantikan kepanduan, sangat sedikit menampakkan citra dan perilaku "Pandu" yang berasal berkembang dari ajaran B-P," begitu pernyataan seorang bekas anggota Pandu Rakyat Indonesia seperti dikutip Kak Taufik.

Terus terang, karena tidak mengalami masa kepanduan sebelum terbentuknya Gerakan Pramuka pada 1961, saya tidak dapat membandingkan hal tersebut. Apalagi, gerakan kepanduan sebenarnya terus berkembang sesuai dengan zaman. Di masa modern yang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya sangat cepat, tentu tidak bisa disamakan dengan zaman kepanduan sebelum 1961.

Namun, memang ada nilai-nilai yang universal dari gerakan kepanduan yang dididik kepada setiap pandu, sebagaimana digagas dan dikembangkan awalnya oleh Baden-Powell yang sering juga disebut dengan singkatan namanya, B-P. Setidaknya ada 10 nilai kepanduan, yaitu:

  • Integritas: seorang pandu dididik untuk bertindak dengan selalu berusaha berperilaku jujur, setia, dan dapat dipercaya.
  • Siap Menolong: seorang pandu dididik untuk selalu siap dan sedia menolong orang lain.
  • Saling Menghormati: seorang pandu dididik untuk menunjukkan rasa hormat terhadap nilai budaya, orang lain, dan benda, serta saling menghormati tanpa membedakan latar belakangnya.
  • Riang Gembira: seorang pandu dididik untuk baik hati, sopan, dan tersenyum kapan pun mereka bisa, serta menunjukkan sikap riang gembira, walaupun menghadapi kondisi yang sulit
  • Keberanian: seorang pandu dididik berani menghadapi situasi sulit dan melakukan apa yang mereka anggap benar, bahkan ketika orang lain mungkin tidak melakukannya.
  • Keyakinan: seorang pandu dididik untuk mampu menunjukkan sikap hidup sesuai keyakinan masing-masing.
  • Bertanggung Jawab: seorang pandu harus selalu berusaha memenuhi kewajibannya terhadap Tuhan, diri sendiri, negaranya, dan orang lain.
  • Belajar Sambil Melakukan: seorang pandu harus senantiasa menggunakan tindakan praktis dan refleksi untuk belajar dan berkembang menjadi manusia yang baik.
  • Berbudi Pekerti: seorang pandu harus selalu menjaga dirinya sendiri, baik secara fisik maupun mental, dan selalu menunjukkan budi pekerti yang baik.
  • Siap Bekerja Sama: seorang pandu harus selalu siap bekerja sama dengan orang lain untuk membuat perbedaan positif dan menjalin persahabatan seluas-luasnya.

Nah, mari kita cermati apakah kesepuluh nilai universal itu masih dan tetap terlihat di lingkungan Gerakan Pramuka saat ini? Bila jawabannya "ya", tentu kita patut bersyukur. Namun, bila jawabannya "tidak" atau "tidak sepenuhnya terlihat", maka kekhawatiran bekas anggota Pandu Rakyat Indonesia perlu segera mendapat jawaban, dengan memperbaiki Gerakan Pramuka agar benar-benar berjalan sesuai maksud dan tujuan organisasi pendidikan nonformal tersebut.

Jangan sampai Gerakan Pramuka hanya terlihat seperti organisasi pemuda atau organisasi massa biasa, dan kehilangan fungsinya sebagai organisasi pendidikan. Dalam kaitan sebagai organisasi pendidikan itu, maka semua aktivitas yang dilaksanakan oleh Gerakan Pramuka harus benar-benar mengandung unsur pendidikan. Bukan hanya kegiatan bagi peserta didik saja, tetapi semua hal di dalam Gerakan Pramuka. Termasuk dalam mengelola organisasi dan memberikan pandangan -- lisan maupun tulisan -- serta perilaku sehari-hari walaupun tidak sedang berseragam pramuka, harus menunjukkan sebagai orang yang terdidik, sopan, ramah, dan beradab.

Bintaro Sektor IX, 31 Januari 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun