Malam menjelang Tahun Baru 2025. Sepulang mengikuti ibadah tutup tahun dan perjamuan kudus di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Maleo Raya pada 31 Desember 2024 mulai pukul 20.00 WIB, saya menghabiskan waktu dengan membuka-buka akun Instagram pada telepon seluler pribadi.
Ada banyak informasi yang menarik. Salah satunya video pendek yang ditayangkan akun @eastern_christian. Akun ini membagikan video berisikan aktivitas para pandu Syria yang tergabung dalam Scouts of Syria sedang membersihkan salah satu wilayah di negara itu. Sampah yang berserakan dan menumpuk dibersihkan. Para pandu menggunakan sapu, pengangkat sampah, plastik hitam, dan berbagai peralatan lainnya, membersihkan wilayah tersebut. Dalam video itu juga tampak sebuah mobil bak terbuka yang berkeliling mengangkut sampah-sampah yang telah dimasukkan ke dalam plastik hitam.
Melihat video tersebut, saya langsung berkomentar (dalam hati), "The Messengers of Peace". Ya, apa yang dilakukan para pandu Syria itu adalah bagian dari kegiatan kepanduan sedunia yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dapat disebut sebagai "Duta-duta Perdamaian".
Saya cukup paham dengan aktivitas yang sering disingkat sebagai MoP tersebut. Bukan apa-apa, karena pada tahun-tahun awal kegiatan MoP di lingkungan Gerakan Pramuka Indonesia, saya cukup aktif terlibat.
Slogan Kepanduan
Saat ini, slogan World Scouting yang merupakan gerakan pendidikan kepanduan sedunia adalah "Ready for Life". Slogan itu baru digunakan sejak 2024. Sebelumnya, slogan yang dikenal adalah "Scouts, creating a better world". Bila diterjemahkan, kurang lebih berarti, "Para Pramuka, (membantu) menciptakan dunia yang lebih baik".
Sebenarnya, baik slogan yang digunakan sekarang maupun sebelumnya, sejalan dengan tujuan gerakan kepanduan. Di antaranya, membantu membentuk kaum muda menjadi manusia-manusia yang bermanfaat baik bagi diri masing-masing, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, serta berguna pula membantu menciptakan dunia yang lebih baik.
Melalui berbagai kegiatan pelatihan di dalam gerakan kepanduan, kaum muda belajar untuk menjadi manusia yang berkarakter baik, mampu mandiri, dan siap pula membantu mereka yang membutuhkan pertolongan.
Itulah sebabnya, sebagaimana dijelaskan dalam situs web resmi World Organization of the Scout Movement (WOSM) yaitu www.scout.org, para pandu terlibat pula dalam berbagai upaya di komunitas masing-masing, untuk membangun budaya perdamaian dan dialog yang langgeng. Dari aksi kecil hingga proyek layanan masyarakat besar, kaum muda ikut menangani masalah lokal, menanggapi bencana alam, memimpin kegiatan pembangunan perdamaian, membela kesetaraan gender, bekerja untuk membuat pengungsi merasa diterima dan mendorong kemajuan yang berarti, sekaligus untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), dan banyak lagi. Kegiatan-kegiatan itulah yang menjadi aktivitas dari MoP, yang secara resmi diawali sejak 2010.
Ticket to Life
Namun, bila dirunut ke belakang, gagasan MoP sebenarnya berasal dari Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell. Inisiatifnya untuk mendirikan gerakan pendidikan kepanduan, salah satunya adalah untuk mendidik anak-anak dan remaja menjadi manusia-manusia berkarakter yang siap menjalankan kewajiban terhadap Tuhan, terhadap negara, dan selalu bersedia menolong sesama hidup.
Baden-Powell juga mengembangkan persaudaraan seluas dunia, yang antara lain diwujudkan dalam bentuk Jambore Dunia sejak 1920, suatu perkemahan selama beberapa hari yang diikuti oleh para pandu dari berbagai negara, berkegiatan bersama, menjalin persahabatan, dan mengembangkan sikap saling tolong menolong, tanpa melihat perbedaan latar belakang yang ada.
Selanjutnya, aktivitas membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan menjadi bagian tak terpisahkan dari semua kegiatan kepanduan. Bahkan pada 2006, menjelang peringatan 100 tahun gerakan kepanduan sedunia pada 2007, di lingkungan kepanduan Asia-Pasifik dibentuk program yang disebut Ticket to Life (TTL).
Melalui program TTL, anak-anak jalanan diajak untuk ikut berlatih di dalam gerakan kepanduan. Hal ini mengingatkan kita dengan sejarah dibentuknya gerakan kepanduan, ketika Baden-Powell merasa terenyuh melihat situasi di kota London, Inggris, pada awal 1990-an. Banyak anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan, akibat orangtuanya semua sibuk bekerja ketika "Revolusi Industri" membuka pasar tenaga kerja seluas-luasnya.
Anak-anak menjadi kurang diawasi dan akibatnya mulai timbul kenakalan yang sebagian meningkat menjadi aksi kriminalitas. Melalui gerakan kepanduan, Baden-Powell kemudian memberikan alternatif kegiatan pendidikan yang menyenangkan bagi anak-anak. Tidak belajar di dalam kelas, tetapi belajar di alam terbuka, sekaligus belajar mengenali ciptaan Tuhan. Anak-anak juga diajar saling menghargai satu sama lain, dan mengutamakan persahabatan dan persaudaraan daripada permusuhan. Tentu saja tujuannya juga termasuk membantu tercapainya perdamaian dunia.
Intisari itulah yang kemudian dilaksanakan melalui program TTL di Asia-Pasifik, Gerakan Pramuka sebagai organisasi nasional kepanduan di Indonesia, juga turut serta. Saat mengikuti lokakarya TTL di Manila, Filipina, pada Desember 2006, saya (Berthold Sinaulan) dan Kak Nurrochmah Yuliatiningsih ditugaskan mewakili Gerakan Pramuka. Selain dari Indonesia, peserta lainnya datang dari Bangladesh, India, Nepal, Thailand, Srilanka, dan tuan rumah Filipina.
Raja Arab Saudi dan Swedia
Selain di kawasan Asia-Pasifik, aktivitas membantu terciptanya perdamaian dunia juga dilaksanakan oleh pemimpin Arab Saudi saat itu, Raja Abdullah bin Abdul Aziz. Sang Raja memulai sebuah proyek untuk mengembangkan perdamaian dunia pada 2001. Setelah mencoba melakukan proyek perdamaian antara lain di Palestina, Bosnia Herzegovina, dan beberapa negara lainnya, maka pada 2006 organisasi kepanduan nasional di Arab Saudi mengundang para Pramuka dari 85 negara untuk mengikuti perkemahan yang dinamakan "Together for Peace" (Bersama untuk Perdamaian).
Dua tahun kemudian, Raja Abdullah memelopori dan mensponsori pameran bertajuk "World Scout Exhibition for Peace" (Pameran Kepanduan Sedunia untuk Perdamaian) di Riyadh, Arab Saudi, sebagai salah satu kegiatan World Scout Foundation (WSF),  yayasan kepanduan sedunia yang menghimpun dana untuk membantu macam-macam kegiatan kepramukaan di seluruh dunia. Pada saat itulah, WSF menganugerahkan Raja Abdullah penghargaan yang disebut Baden-Powell Fellowship, yang diserahkan langsung oleh Raja Swedia, Raja Carl XVI Gustaf, yang juga menjadi Ketua Kehormatan WSF.
Baik Raja Arab Saudi maupun Raja Swedia sepakat bahwa perdamaian dunia menjadi penting untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di atas bumi ini. Perang hanya akan menghancurkan, membunuh manusia, dan merusak lingkungan. Itulah sebabnya, kedua raja itu, akhirnya sepakat untuk menggulirkan program dan kegiatan inisiatif yang disebut MoP.
Kegiatan MoP itu diawali sejak 2010, dan sejak saat itu, program tersebut terus bergulir ke seluruh dunia. Gerakan Pramuka dari Indonesia termasuk yang beruntung telah ikut aktivitas MoP sejak awal. Bahkan Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) saat itu, Kakak Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH, termasuk yang diundang ke Arab Saudi sewaktu pencanangan resmi dimulainya program itu.
Selanjutnya, diadakan pula pelatihan jaringan MoP yang diberi nama MoP Training Network Workshop di Singapura pada akhir Mei 2012. Pelatihan tersebut dihadiri oleh wakil-wakil organisasi kepanduan nasional dari seluruh dunia, Gerakan Pramuka juga hadir. Bahkan di antara seluruh peserta, Gerakan Pramuka menjadi organisasi kepanduan nasional dengan jumlah peserta terbanyak. Bila negara lain hanya diwakili 1 atau 2 orang saja, maka dari Gerakan Pramuka hadir 6 orang. Mereka antara lain, Koordinatior Nasional MoP Indonesia, Kak Sri Gusni Febriasari, Ketua DKN saat itu, Kak Yudha Adhyaksa dan beberapa anggota DKN lainnya, serta saya yang merupakan Andalan Nasional Gerakan Pramuka.
Keikutsertaan saya dalam kegiatan tersebut karena dipilih oleh Direktur Regional Kepanduan Asia-Pasifik saat itu, Mr. Abdullah Rasheed. Dia memilih lima orang koresponden atau pewarta kepanduan yang aktif mengirimkan berita di kawasan Asia-Pasifik. Salah satunya adalah Berthold Sinaulan dari Indonesia yang telah menjadi koresponden Kepanduan Asia-Pasifik sejak 1995.
Setelah itu, program MoP semakin berkembang dan meluas. Bahkan diberikan pujla penghargaan kepada mereka yang aktif dalam kegiatan itu. Penghargaannya dinamakan MoP Hero Award. Gerakan Pramuka juga beruntung telah menerima beberapa kali penghargaan itu. Di antaranya, Kak Atta Verin, Kak Jaenal Mutakin, Kak Venny Indri Christiyanti, dan Kak Fakhir Naufal.
Banyak Harapan
Pada hari pertama di tahun 2025 ini, banyak harapan dikumandangkan. Tak sedikit di antaranya yang mengungkapkan harapan agar tahun ini menjadi lebih baik, lebih aman, dan lebih damai. Begitu pula dengan saya.
Lima menit setelah memasuki 1 Januari 2025, saya menulis catatan kecil ini:
Berthold Sinaulan
Tahun Baru
Kembang api di udara
memercik harapan
hidup lebih baik
aman dan damai.
(New Year
Â
Fireworks in the air
sparking hope
for a better life
safe and peaceful.)
Bintaro Sektor IX, 1 Jan. 2025 -- 00.05 WIB
Harapan yang sama dengan harapan saat MoP diluncurkan. Suatu hal yang pasti baik dikembangkan lagi, terutama bagi mereka yang sedang menempuh syarat kecakapan Pramuka Garuda. Bagi mereka, melaksanakan program MoP dalam berbagai bentuk yang hasilnya bermanfaat bagi masyarakat luas, tampaknya cocok menjadi salah satu syarat wajib sebelum mereka diputuskan berhak menggunakan medali dan lencana Pramuka Garuda.
Bintaro Sektor IX, 1 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H