Dalam rapat paripurna perdana Kabinet Merah Putih yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada 23 Oktober 2024, Presiden antara lain menyinggung pentingnya penghematan APBN. Presiden meminta para anggota kabinetnya tidak membuat kebijakan yang aneh-aneh, sehingga menguras APBN.
Dalam kesempatan itu, Presiden Prabowo memberikan contoh agar tidak perlu mengada-ada mengadakan studi banding Pramuka ke luar negeri. Â "Kita harus beri contoh fokus kita pembangunan ekonomi kesejahteraan rakyat ke dalam. Jangan mengada-ada studi banding belajar Pramuka ke negara lain," demikian dikatakan Presiden sebagaimana dikutip dari laman berita CNBC Indonesia.
Sebagai seorang anggota Gerakan Pramuka, saya sepakat dan mendukung penuh pernyataan Presiden Prabowo. Hal ini juga pernah saya lakukan menjelang terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Saat itu, sebagian anggota DPR mengadakan studi banding ke beberapa negara. Seingat saya antara lain ke Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Jepang atau salah satu negara Eropa.
Dalam kapasitas saya sebagai pewarta yang banyak menulis tentang kepramukaan, saya kemudian mengkritisi melalui beberapa tulisan saya, termasuk di salah satu platform jurnalisme warga, Wikimu, yang sekarang sudah tidak ada.
Saat itu, saya menyayangkan mengapa untuk membuat UU tentang kepramukaan harus menghabiskan anggaran studi banding ke luar negeri? Padahal Gerakan Pramuka di Indonesia saat itu adalah organisasi kepramukaan terbesar di dunia. Sampai sekarang pun Gerakan Pramuka masih tercatat sebagai organisasi nasional kepramukaan terbesar dengan 25 juta anggota. Sementara saat ini jumlah anggota kepramukaan di seluruh dunia tercatat sekitar 58 juta orang.
Dalam tulisan-tulisan yang saya susun, saya menyebutkan kalau pun ingin mengadakan studi banding, lakukanlah di negara-negara yang organisasi kepramukaan juga mempunyai anggota dalam jumlah banyak dan pendidikan kepramukaannya dilakukan secara school based atau berpangkalan di sekolah.
Sebagai gambaran, walaupun ketika didirikan pertama kali dan juga masih sampai saat ini, di sebagian negara pendidikan kepramukaan yang merupakan pendidikan nonformal untuk melengkapi pendidikan informal di lingkungan keluarga dan masyarakat serta pendidikan formal di sekolah, dilaksanakan berpangkalan di komunitas kemasyarakatan. Ada di komplek perumahan, lingkungan fasilitas umum, seperti di rukun tetangga, komplek rumah susun, dan sebagainya. Itulah sebabnya, kegiatan pendidikan kepramukaan disebut dilaksanakan berpangkalan di komunitas atau community based.
Namun, di beberapa negara seperti di Indonesia, kepramukaan menjadi bagian dari ekstrakurikuler sekolah, sehingga berpangkalan di sekolah atau istilahnya school based. Karenanya, kalau mau dilakukan studi banding, lakukanlah di negara yang pendidikan kepramukaannya juga dilaksanakan berpangkalan di sekolah.
Saya sempat menyebutkan daripada di Afrika Selatan, Korea Selatan, Jepang, dan salah satu negara Eropa lainnya yang jumlah anggota organisasi kepramukaannya terbatas dan terbilang sedikit serta sebagian besar latihannya dilakukan berpangkalan di komunitas, mengapa tidak mencari yang serupa dengan Indonesia. Saya menyebut paling tidak dua negara, Thailand dan Bangladesh. Di kedua negara ini jumlah anggota organisasi kepramukaannya cukup banyak -- walaupun tidak sebanyak Indonesia -- dan sebagian besar latihan pendidikannya juga dilaksanakan secara school based.
Jadi, kalau sekarang Presiden Prabowo menyebutkan hal tersebut, saya tentu sepakat sekali. Tentu yang dimaksud Presiden bukan sekadar studi banding Pramuka, tetapi juga studi banding lainnya yang sebenarnya tak perlu dilakukan ke luar negeri, karena seperti juga kepramukaan, Indonesia sebenarnya cukup menjadi tolok ukur dari segi jumlah dan kegiatannya.
Terima kasih Pak Presiden sudah mengingatkan kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H