Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sudah 12 Tahun Coba Dibunuh, tapi Tetap Hidup

30 Januari 2021   16:53 Diperbarui: 30 Januari 2021   17:01 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak, ini bukan tulisan sadis tentang kriminalitas berdarah-darah. Tapi tentang fungsi suatu benda yang sebenarnya salah satu penanda kedaulatan suatu negara. Sayangnya, sudah 12 tahun ini fungsi itu coba "dibunuh", atau dimatikan seolah tak berlaku lagi.

Ini adalah suatu benda yang bernama prangko, sekeping kertas kecil yang sama seperti mata uang, merupakan penanda kedaulatan suatu negara yang merdeka.  Bahkan terbukti juga, yang buka negara atau kelompok pemberontak di suatu negara ada pula yang menerbitkan prangko dan mata uang, agar diakui keberadaannya sebagai suatu negara merdeka. Tentu saja, baik prangko maupun mata uang "pemberontak" itu dianggap ilegal dan tidak berlaku.

Tapi yang dibicarakan di sini adalah prangko resmi yang memang dicetak dan diterbitkan oleh negara merdeka dan berdaulat. Ya, itulah prangko Republik Indonesia. Kebetulan, saat membuka akun Facebook, menemukan kembali catatan 12 tahun lalu yang ditulis di laman Facebook. Catatan yang saya unggah pada 30 Januari 2009 itu berjudul "Prangko Tak Berlaku Lagi".

Saya kutipkan selengkapnya di sini:

Prangko Tak Berlaku Lagi

Tadi siang saya mampir ke Kantor Pos di Lapangan Banteng. Saya bermaksud mengirim suratpos tercatat (R = Registered) ke dua alamat berbeda di Amerika Serikat. Di depan loket pos pengiriman suratpos R itu, terpampang sebuah pengumuman.

Isinya kurang lebih, bahwa terhitung awal Februari 2009 untuk pelunasan biaya pengiriman suratpos R ke luar negeri/internasional, dibayar tunai dan tidak menggunakan prangko lagi.

Pengumuman dari manajemen PT Pos Indonesia menambah panjangnya cara pengiriman suratpos di kantor pos yang tidak lagi menggunakan prangko. Sebelum itu, sudah cukup banyak layanan pengiriman suratpos yang juga tidak lagi menggunakan prangko.

Jadi, prangko tampaknya sudah tak berlaku lagi. Pertanyaannya, buat apa lagi prangko baru dicetak dan diterbitkan lagi, kalau pada kenyataannya hampir-hampir tak digunakan sama sekali. Daripada menghabiskan uang untuk mencetak prangko baru yang juga butuh biaya untuk memikirkan tema, biaya desain, biaya survei dan lainnya, mengapa tidak dilakukan penghematan saja. Bukankah cukup mencetak ulang dari prangko yang sudah ada, khususnya prangko biasa (definitif)?

Prangko sudah tak berlaku lagi, jadi buat apa dicetak terus-menerus?

Telah Bekali-kali

 Sejak saat itu, bersama para kolektor prangko yang juga akrab disebut filatelis baik yang tergabung dalam Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) maupun yang tidak, telah berkali-kali mempersoalkan ini. Hal ini juga didorong oleh komentar seorang pejabat PT Pos Indonesia sendiri yang menulis pada kolom komentar catatan tersebut di Facebook. Dia menulis:

"Terus terang, saya pun ikut menyesalkan kebijakan tersebut, Pak Berthold. Memang ada ketentuan dari UPU yang mengharuskan R internasional menggunakan barcode, tapi menurut pemahaman saya bukan berarti prangkonya harus diganti tunai. Saya masih menerima R dari berbagai negara dengan menggunakan prangko. Mungkin ada baiknya PFI atau siapa saja mengirimkan pertanyaan resmi ke direksi".

Bayangkan, pejabat pos sendiri menganggap hal itu kurang tepat. Namun tampaknya dia berada pada posisi tidak atau kurang berani mempersoalkan secara internal. Bisa dimaklumi, mengingat mungkin saja -- sekali lagi mungkin saja -- pimpinannya kurang senang kalau kebijakannya dipersoalkan, dan daripada terkena sanksi, lebih baik diam saja.

Carik "barcode" yang ditempel pada amplop/sampul surat yang dikirim secara tercatat. (Foto: BDHS)
Carik "barcode" yang ditempel pada amplop/sampul surat yang dikirim secara tercatat. (Foto: BDHS)
Sesungguhnya yang ditulis pejabat pos tadi tepat. DI negara-negara lain sampai kini pun kiriman surat pos tercatat (R = registered) masih tetap menggunakan prangko. Memang, kini ada keharusan menempelkan carik barcode para amplop atau sampul surat, tetapi sebenarnya itu hanya mengganti carik R pada zaman dulu. 

Sepotong kertas berukuran sekitar 0,5 x 2 cm dengan tulisan R, nama kota, dan nomor pengiriman. Sekarang carik R tersebut diganti dengan carik barcode yang ukurannya lebih besar, sekitar 1 x 4 cm. Namun jelas hanya pengganti saja, seharusnya seperti di Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya, prangko tetap digunakan.

Sebelum itu, pengiriman kilat khusus dan lainnya, juga sudah tidak menggunakan prangko. Tak heran bila ada teman yang mengatakan, "Prangko dibunuh oleh pos sendiri".

Prangko atau Meterai

 Mengingat penggunaan prangko dalam layanan pos makin berkurang, tak heran pula bila di beberapa tempat, sesuai kesaksian sejumlah teman, bahkan pegawai di kantor-kantor pos sendiri nyaris tidak kenal yang namanya prangko. Bila ada teman yang mau beli prangko, selalu ditanya ulang oleh petugas pos, "Mau beli meterai?".

"Bukan, saya mau beli prangko"

"Meterai?"

"Bukan, beli prangko untuk kirim kartu pos ini".

Begitulah yang terjadi. Betul-betul aneh, pegawai PT Pos Indonesia yang dari sejarahnya merupakan pendistribusi dan penjual prangko malah tak tahu apa itu prangko, dan lebih kenal yang namanya meterai.

Logo "Postcrossing". (Foto: postcrossing.com)
Logo "Postcrossing". (Foto: postcrossing.com)
Terpikir juga, mungkin benar kata seorang teman bahwa prangko ingin dimatikan atau dibunuh. Untunglah walau pun sudah 12 tahun "proses" pembunuhan itu, prangko tetap hidup. Syukur kepada para kolektor prangko, penggemar aktivitas sahabat pena, komunitas postcrossing, dan kelompok-kelompok yang terus "menghidupkan" prangko dengan menggunakannya untuk mengirim surat pos maupun kartu pos.

Sejak 14 Juli 2005, seorang pemuda asal Portugal, Paulo Magalhes, meluncurkan situs web www.postrcossing.com. Ini adalah situs web di mana siapa pun bisa bergabung dan para anggotanya mengirim serta menerima kartu pos dari seluruh dunia. Menggunakan tagar "Send a postcard and receive a postcard back from a random person somewhere in the world! (Mengirim kartu pos dan menerima kartu pos kembali dari seseorang secara acak di suatu tempat di dunia!), para anggota bisa meminta nama dan alamat anggota lain untuk dikirim kartu pos, dan sebaliknya nama dan alamat kita juga akan dikirim ke anggota lain yang meminta hal sama. Jadi pengirim dan penerimanya dilakukan secara acak menggunakan mesin dalam situs web itu, dan menjadi suatu kejutan menyenangkan bagi penerimanya.  

Sampai hari ini (30 Januari 2021), jumlah anggota yang disebut Postcrosser telah mencapai 801.503 orang yang tersebar di 208 negara. Sedangkan jumlah kartu pos yang dikrim melalui alamat yang didapatkan dari situs web telah mencapai lebih dari 61 juta kartu pos. Mereka inilah yang setia membeli dan menempelkan prangko pada kartu pos, kemudian mengirimkannya melalui kantor pos ke alamat tujuan.

Sama seperti di negara lain, para postcrosser Indoneia yang tergabung dalam Komunitas Postcrossing Indonesia, juga selalu setia membeli dan bahkan tidak sedikit yang mencetak sendiri kartu pos mereka, kemudian membeli dan menempelkan prangko, serta mengirimkannya melalui kantor pos. Selain kartu-kartu pos yang dikirim dari alamat yang didapat dari situs web tadi, tak sedikit juga postcrosser yang saling tukar-menukar kartu pos secara langsung. Bahkan ada juga yang mengadakan semacam kuis berhadiah di komunitas masing-masing, dan pemenangnya mendapat kiriman kartu pos dari sang pembuat kuis yang disebut give away itu.

Sejumlah kartu pos dengan prangko Indonesia. (Foto: BDHS)
Sejumlah kartu pos dengan prangko Indonesia. (Foto: BDHS)
Para postcrosser ini, bersama para filatelis, dan para sahabat pena serta lainnya, yang membuat prangko tetap hidup. Sepantasnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika sebagai lembaga pemerintah yang menerbitkan prangko serta PT Pos Indonesia yang mendistribusikan dan menjual prangko Indonesia, berterima kasih kepada mereka. Karena mereka, prangko Indonesia tetap hidup.

Hidup Prangko Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun