Akhir-akhir ini, makin banyak yang tergiur dengan hobi numismatik (uang dan sejenisnya) serta filateli (koleksi prangko dan benda pos lainnya), hanya karena iming-iming, beli dan koleksi sekarang, adalah seperti investasi. Di masa depan, koleksi yang dibeli sekarang bisa dijual lagi dengan keuntungan berlipat-lipat.
Kenyataannya, mungkin harganya memang meningkat dibadingkan sewaktu dibeli sekarang. Tetapi tidak diperhitungkan tingkat inflasi, yang kalau diperhitungkan, ternyata harga benda koleksi itu tidak meningkat, malah menurun.
Jadi, mengoleksi benda-benda numismatik dan filateli, sebaiknya jangan fokus untuk jadi benda investasi. Koleksilah karena kesenangan, mengisi waktu luang dengan hobi yang menyenangkan. Bisa melihat benda-benda menarik dengan desain gambar yang berwarna-warni, dan juga mengandung nilai sejarah.
Seperti kita ketahui baik uang maupun prangko adalah bukti dari kedaulatan suatu negara. Hanya negara merdeka yang berdaulat yang diizinkan menerbitkan uang dan prangko sendiri. Itulah sebabnya, ada beberapa kelompok yang ingin merdeka, nekad menerbitkan uang dan prangko. Meski pun tentu saja akhirnya tidak laku, dan kalau pun bisa dipakai hanya di lingkungannya sendiri.
Berbeda dengan uang, rupiah dibawa ke Singapura atau Malaysia misalnya, laku untuk ditukar dengan uang di negara tersebut. Begitu pula dengan prangko.Â
Prangko Indonesia yang ditempelkan di atas sampul (amplop) surat dan kartu pos, dinyatakan sah sebagai tanda bukti pembayaran pengiriman pos dan dapat dikirim ke negara mana pun selama jumlah prangkonya cukup.
Suka Nekad
Tapi soal kenekadan itu, juga sering dialami para kolektor yang sudah cukup lama "terjun" dalam hobi tersebut. Apalagi kalau ada penjualan benda koleksi dalam bentuk lelang. Hanya karena gengsi tak mau kalah dengan kolektor lainnya, maka nekad melakukan penawaran harga setinggi-tingginya. Kadangkala melebihi dari "harga wajar" suatu benda koleksi.
Ada lagi yang berebut langsung "mengetok" harga tertinggi. Biasanya dalam suatu lelang benda koleksi yang tertulis, ada harga penawaran yang dimulai dari harga limit, lalu kelipatan harga tiap kali menawar, serta cukup sering pula ditampilkan harga BIN (Buy It Now) atau harga tertinggi.Â
Mereka yang paling awal "mengetok" harga BIN, langsung mendapatkan benda tersebut. Tetapi perlu diingat, harga BIN biasanya cukup tinggi. Hanya yang benar-benar berminat akan membeli dengan harga BIN.
Persoalannya, ketika lelang tertulis yang sekarang ramai melalui media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram, karena gengsi dan perasaan tak mau kalah, maka sebagian nekad langsung BIN berkali-kali benda koleksi yang ditawarkan. Kadangkala juga sekadar membuat lawan dalam lelang "mati kutu", karena benda yang diincar sudah di-BIN lebih dulu.
Belakangan, yang melakukan BIN bisa saja menyesal, karena sebenarnya benda koleksi itu tak dia butuhkan, atau bukan termasuk dalam satu tema yang dia koleksi. Apa boleh buat, karena sudah menawar BIN, tentu harus dibayar, meski harganya cukup tinggi.
Cerita lain, ada seorang yang tak bisa tidur semalaman, karena nekad menawar dengan harga sangat tinggi di sebuah lelang online. Setelah menekan tombol menawar dengan memasukkan harga yang cukup tinggi, baru orang bersangkutan sadar bahwa dia sebenarnya tak terlalu perlu benda koleksi itu. Apalagi kalau harus membeli dengan harga cukup tinggi. Maka semalaman dia tak dapat tidur, memikirkan kemungkinan akhir lelang, karena sudah tak mungkin membatalkan penawaran.
Untunglah di jam terakhir sebelum lelang ditutup, ternyata ada penawar lain yang menawar dengan harga lebih tinggi. "Lega gue, gak jadi menang. Orang biasanya kesel kalau kalah, gue malah senang. Coba kalau menang, gue harus bayar lebih dari sepuluh juta rupiah untuk selembar uang koleksi," ujar orang tersebut.
Pada akhirnya menjalani hobi mengoleksi benda, seperti numismatik dan filateli, harus mempunyai kemampuan mengontrol kemampuan diri masing-masing. Jangan hanya karena gengsi atau diiming-imingi orang, jadi nekad menghamburkan uang. Â Memang, sebagian besar numismatis dan filatelis biasanya memiliki cukup uang tabungan, tapi kalau hanya karena nekad, rasanya sayang menghamburkan uang begitu saja.
"Kalau mau investasi, lebih baik main saham, logam mulia, atau properti saja. Hobi koleksi adalah untuk kesenangan, bukan untuk investasi," tutur seorang kolektor.
Saran yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H