Hari Buku Sedunia (World Book Day) yang diperingati setiap 23 April kembali hadir. Peringatan yang digagas oleh UNESCO, badan PBB untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu, pertama kali diperingati pada 23 April 1995. Tujuannya untuk mempromosikan literasi dan aktivitas membaca, penerbitan buku, dan terjaminnya hak cipta pengarang.
Seperti biasa, setiap peringatan Hari Buku Sedunia selalu dimeriahkan dengan berbagai kegiatan literasi. Kali ini, dalam situasi dunia yang dirundung wabah Covid-19, maka aktivitas literasi yang paling mudah diselenggarakan dari rumah masing-masing adalah menulis dan membaca. Bila menulis mungkin masih dianggap tidak begitu mudah oleh sebagian orang, maka membaca menjadi pilihan utama.
Sejalan dengan tagar #dirumahaja dan #tetapdirumah maka aktivitas membaca bisa dilakukan setiap saat di ruang mana pun di dalam rumah. Boleh membaca suratkabar dan majalah -- baik dalam bentuk lembaran kertas fisik atau pun suratkabar dan majalah digital -- atau membaca buku yang ragamnya ada banyak. Mau buku puisi, buku prosa, atau apa pun. Mau cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar atau komik, sampai novel yang ratusan dan ribuan halaman.
Namun yang mungkin agak unik adalah membaca buku katalog uang. Ya, betul ini adalah buku yang berisi gambar dan keterangan tentang uang yang pernah terbit, termasuk rinciannya. MIsalnya siapa penerbitnya, desainer uang tersebut, digunakan dari kapan sampai kapan, bahkan juga berbagai variasi yang ada dari satu jenis uang.
Ada banyak katalog uang yang pernah diterbitkan. Untuk uang yang pernah diterbitkan di bumi Indonesia, mulai dari masa lalu sampai sekarang, juga tak sedikit. Selain katalog uang logam (koin), juga ada katalog uang kertas. Uang kertas di Indonesia sudah ada dari ratusan tahun yang silam, ketika Indonesia masih dalam penjajahan bangsa Barat, khususnya Belanda.
Buku katalog uang Indonesia yang dibaca kali ini bertepatan dengan Hari Buku Sedunia adalah Oeang Noesantara karya UnO yang diterbitkan oleh Genera Publishing, Bandung, Â dengan cetakan pertama terbit pada Januari 2015 (ISBN 978-602-9395-10-5).Â
Buku dengan ukuran 21 x 28 cm ini setebal xii + 520 halaman. Sedangkan buku kedua adalah Orida Oeang Republik Indonesia Daerah 1947-1949 karya Suwito Harsono dan Michell Suharli yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, dengan cetakan pertama Maret 2020 (ISBN 978-602-06-3964-2). Buku dengan ukuran 23 x 18 cm ini setebal xxix + 449 halaman.
Kedua buku ini membahas mengenai uang kertas dan dicetak penuh warna, lengkap dengan gambar uang kertas yang ada, sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui jenis-jenis uang kertas yang pernah terbit. Sekaligus bisa pula mencocokkan dengan koleksi uang kertas yang dimiliki masing-masing.
Dari Masa Penjajahan
Buku pertama yang kita singkat saja sebagai ON, dimulai dengan sejarah dunia dan sejarah perkembangan uang di dunia yang kemudian masuk ke Indonesia. Lembaran-lembaran uang kertas VOC (1602-1789), kemudian berlanjut ke masa pemerintahan Republik  Bataaf (1735-1806), disusul uang kertas dari masa pemerintahan Belanda-Prancis, penjajahan Inggris, dan pemerintahan Hindia-Belanda (1815-1942).Â
Ada juga penjelasan tentang uang-uang kertas zaman penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintahan Belanda yang mencoba masuk lagi ke Indonesia setelah Jepang kalah, uang kertas masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949), termasuk sejumlah uang kertas daerah, yaitu uang-uang kertas yang diterbitkan oleh sejumlah daerah di Indonesia (khususnya di Pulau Jawa dan Sumatera), untuk mengatasi kelangkaan uang kertas yang ada.
Buku ini dilengkapi pula dengan rincian uang kertas dari masa Republik Indonesia Serikat, dam sejumlah uang kertas "pemberontakan". Di antaranya uang kertas dari Pemberontakan Negara Islam Indonesia (di Jawa Barat), Pemberontakan Republik Islam Indonesia (di Sulawesi Selatan), Gerakan PRRI-Permesta (khususnya di Sumatera Barat dan di Sulawesi bagian Utara), dan uang kertas cetakan khusus untuk Kepulauan Riau serta Irian Barat. Kemudian dilanjutkan dengan uang kertas Indonesia sampai sebelum buku itu terbit.
Buku ini patut menjadi bahan pustaka untuk para peneliti uang kertas Indonesia karena dilengkapi pula dengan berbagai lampiran. Mulai dari lampiran tentang cetakan uang percobaan, uang logam Indonesia 1945-2014, daftar pelukis uang dari Percetakan Uang RI (Peruri), daftar Presiden De Javaasche Bank yang berlanjut menjadi Gubernur Bank Indonesia, daftar Menteri Keuangan RI (1945-2014), dan bahkan daftar Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1610-1949) serta Presiden RI (1945-2014).
Sementara buku kedua yang kita singkat saja sebagai Orida, mengkhususkan diri membahas mengenai uang-uang kertas yang pernah dipakai di masa awal kemerdekaan RI dari 1947-1949. Orida adalah singkatan dari Oeang Repulbik Indonesia Daerah.Â
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pada awal kemerdekaan terjadi kelangkaan uang kertas di sejumlah daerah di Indonesia. Hal itu disebabkan adanya blokade dari penjajah Belanda yang mencoba menguasai kembali Indonesia setelah Jepang kalah.
Di  beberapa tempat Belanda bahkan menyebar uang kertas buatannya. Tentu saja hal ini menimbulkan kegemaran dalam jiwa patriotisme rakyat Indonesia. Maka karena uang kertas yang dicetak Pemerintah Pusat Republik Indonesia jumlahnya masih terbatas dengan mesin cetak seadanya dan sebagian diblokade dilarang dikirim ke daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda, diputuskanlah bahwa tiap daerah dengan penanggungjawab pemerintah daerah setempat boleh mencetak dan menerbitkan uang kertas sendiri. Inilah yang disebut dengan Orida.
Buku Orida ini terbagi atas Orida Jawa (yaitu Orida yang diterbitkan di Pulau Jawa), URIPS (Uang Republik Indonesai Propinsi Sumatera), dan Orida Sumatera (Orida yang diterbitkan oleh berbagai pemerintah daerah di Pulau Sumatera). Bila URIPS sebenarnya adalah uang RI yang pencetakannya atas persetujuan Pemerintah Pusat RI hanya khusus digunakan di Pulau Sumatera, maka Orida Sumatera benar-benar diprakarsasi dan dicetak oleh masing-masing daerah.
Walaupun isinya agak berbeda, namun kesamaan kedua buku ini adalah bagian yang sama-sama membahas Orida. Buku Orida jelas lebih lengkap karena baru saja diterbitkan, sedangkan data buku ON tentunya dari sebelum buku itu terbit (sebelum 2015). Tetapi keduanya dapat saling melengkapi.
Perbedaan yang cukup menyolok adalah dalam buku ON dicantumkan perkiraan harga uang kertas, sedangkan di buku Orida hanya berdasarkan kelangkaannya saja. Di buku ON, perkiraan harga umumnya dibagi tiga, untuk yang kondisinya VG (Very Good), VF (Very Fine), dan UNC (Uncirculated).Â
Sebenarnya tingkat kondisi uang kertas cukup banyak, mulai dari yang paling mulus, hampir tidak pernah disentuh dan tidak pernah dipakai, jadi kertas uangnya masih kaku, tidak ada bekas terlipat apalagi goresan, lubang, dan sebagainya yang disebut UNC, sampai yang paling jelek kualitasnya, sudah berlubang, bekas dilipat berkali-kali, mungkin juga sudah sobek, yang disebut Poor.
Harga yang tercantum adalah perkiraan harga untuk uang kertas yang dikoleksi. Jadi paling tidak seorang kolektor uang atau disebut juga numismatis, punya perkiraan berapa harga uang kertas koleksi yang ingin dibeli atau dijualnya. Namun karena buku itu terbit pada 2015, berarti lima tahun lalu, tentu saja patokannya adalah harga jual beli uang kertas di kalangan kolektor saat itu.
Tak heran bila sebagian numismatis menganggapnya harga-harga yang tercantum sudah ketinggalan dan untuk kondisi saat ini masih sangat murah. Penyusun buku ON sendiri pernah berujar bahwa yang ditulis memang hanya harga perkiraan pada tahun 2014, dan sekarang jangan lagi dipakai harga itu. Untuk mengetahui perkiraan harga koleksi uang kertas Indonesia, seorang numismatis atau yang ingin menjadi kolektor uang harus banyak belajar dan mengamati perkembangan harga jual beli uang kertas saat ini, baik yang dilelang maupun yang dijual secara langsung.
Sementara, dalam buku Orida seperti disampaikan penyusunnya, memang tidak bermaksud untuk menampilkan harga perkiraan. Yang ditampilkan adalah kelangkaan suatu uang kertas. Karena itu, ada yang diberi tanda "----" untuk uang yang masih umum, ada yang bertanda "R" yang oleh penyusunnya ditemukan kurang dari 20 lembar, "RR" ditemukan kurang dari 10 lembar, "RRR" ditemukan kurang dari 5 lembar, dan "RRRR" untuk yang hanya ada 1 atau 2 lembar pernah ditemukan.
Apa pun itu, dari membaca kedua buku itu, ada satu kesimpulan yang diambil penulis. Di luar kelangkaan dan harga uang kertas Indonesia -- khususnya Orida -- yang pernah disebutkan bagus untuk menjadi investasi karena akan atau telah banyak diburu para numismatis, sebenarnya yang terpenting adalah uang-uang kertas itu mempunyai nilai sejarah yang tinggi.Â
Kita bisa belajar banyak bagaimana suatu negara -- dalam hal ini Republik Indonesia -- berusaha tetap menegakkan kedaulatannya dengan menerbitkan uang.Â
Sesulit apa pun, uang adalah salah satu tanda negara berdaulat, karenanya sesulit apa pun -- seperti ketika masa awal Kemerdekaan RI di mana percetakan terbatas dan lembaran kertas untuk mencetak uang juga masih susah, belum lagi ditambah adanya blokade dari penjajah Belanda yang melarang didistribusikan dan penggunaan uang kertas RI -- tetapi Pemerintah Republik Indonesia tetap berusaha menerbitkan uang.
Jadi kalau mungkin sebagian numismatis lebih mengoleksinya sebagai koleksi yang bernilai investasi dan diharapkan dapat dijual menguntungkan di kemudian hari, penulis memilih mengoleksi Orida tersebut untuk melestarikan bukti sejarah kedaulatan Republik Indonesia tercinta ini. Inilah pelajaran berharga dari membaca katalog uang di Hari Buku Sedunia 23 April 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H