Hari ini tanggal 1 April, tanggal yang oleh sebagian orang dikaitkan dengan April Mop atau dikenal juga dengan sebutan dalam Bahasa Inggris sebagai April Fool's Day.Â
Ini adalah tradisi menyebar info yang viral, tetapi ternyata bohong belaka. Sekadar lelucon untuk mengerjai orang lain, walau pun banyak juga yang menganggap hal itu tidak lucu dan menyebalkan.
Namun bila sekarang judul tulisan ini antara lain berbunyi "Uang Terbakar Masih Laku Ratusan Ribu Rupiah", maka itu bukan lelucon April Mop.Â
Ini benar-benar terjadi sampai sekarang, uang kertas yang sebagian sudah bekas terbakar -ada juga yang robek- masih laku terjual ratusan ribu rupiah. Tentu saja laku terjual di kalangan kolektor uang atau dikenal dengan sebutan numismatis.
Memang, bagian para numismatis, uang kertas dan uang logam (koin) walaupun sudah lama dan tidak laku untuk sehari-hari dipergunakan, tetap "diburu" untuk dikoleksi.Â
Bila tidak memungkinkan mendapatkan uang yang kondisinya masih baik karena sudah lama dan merupakan uang kertas atau koin dari puluhan bahkan ratusan tahun lalu, uang dalam kondisi apa pun tetap dikoleksi.
Uang kertas yang sudah robek, hancur sebagian, bekas terendam air, banyak lekukan, ada lubang, bahkan uang kertas yang sebagian bekas terbakar, tetap dikoleksi.Â
Demikian pula uang logam yang sudah berkarat, penyok, asalkan memang uang itu tergolong langka dan sukar didapat, tetap disukai untuk dikoleksi.
Untuk uang kertas, contohnya adalah uang-uang kertas yang diterbitkan Pemerintah(an) Revolusioner Republik Indonesia -- Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI-Permesta).Â
Ini adalah gerakan yang terjadi di sejumlah daerah pada pertengahan 1950-an, karena ketidakpuasan terhadap sejumlah kebijakan dari pemerintah pusat. Daerah-daerah, terutama di Pulau Sumatera dan Sulawesi, dianggap terabaikan, kurang diperhatikan pemerintah pusat.
PRRI didirikan di Palembang pada 15 Februari 1958. Sebelumnya, pada 2 Maret 1957, dideklarasikan gerakan Permesta di Makassar. Kedua gerakan ini kemudian menyatu, sehingga dikenal dengan sebutan PRRI-Permesta.
Untuk memperkuat jati dirinya, maka PRRI-Permesta menerbitkan pula uang dan prangko sendiri. Sebagaimana sudah diketahui luas, uang dan prangko merupakan hal penting sebagai bukti sebuah negara berdaulat.
Pada awalnya, uang PRRI hanyalah menggunakan uang kertas yang sudah ada dan beredar sebelumnya. Uang-uang itu kemudian distempel atau diberi cap bertulisan "alat pembajaran jang sah" dari PRRI, kemudian cap komando pertahanan PRRI dan cap tanda tangan salah satu pejabat PRRI.
Belakangan, PRRI mencetak dan menerbitkan uang kertas sendiri. Cetakannya sangat sederhana dengan gambar rumah tradisional di Sumatera (rumah adat Batak) dan di Sulawesi (rumah adat Toraja).
Selain dicetak dan diterbitkan di Pulau Sumatera, sejumlah uang kertas PRRI juga dicetak di Manado, Silawesi Utara. Percetakan Negara Manado yang telah dikuasai oleh Permesta segera mencetak sejumlah uang kertas dengan harga satuan (nominal) Rp 5 (lima rupiah), Rp 10, Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, Rp 1000, dan Rp 5000.Â
Sekadar informasi yang masih harus dicek kebenarannya, dengan selembar uang Rp 10 dan Rp 10 + Rp 5 sudah mendapatkan sebutir kelapa muda dan the manis sangat, Rp 25 untuk segelaskopi hangat dan dengan Rp 50 sudah bisa makan seadanya dengan lauk sayur daun papaya dan sepotong ikan.
Gerakan PRRI-Permesta ini tak bertahan lama, karena segera ditumpas oleh pemerintah pusat. Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, PRRI-Permesta bubar.Â
Salah satu pimpinan terakhir yang PRRI-Permesta yang menyerahkan diri kepada pemerintah pusat adalah Ventje Sumual -- atau lengkapnya Herman Nicolaas Ventje Sumual -- bekas petinggi militer di Pulau Sulawesi, yang mengakhiri perlawanannya pada awal Oktober 1961.
Dibuang dan Dibakar
Lalu ke mana uang-uang kertas PRRI-Permesta itu? Tidak banyak yang tahu, namun yang pasti sebagian terbesar dibuang karena sudah tidak laku digunakan lagi.Â
Ada yang menyebutkan bahwa uang PRRI itu bisa ditukar dengan uang sah Republik Indonesia, tetapi tidak ada data yang valid.Â
Tidak jelas juga bila memang bisa ditukar dengan uang sah RI yang berlaku, berapa kurs penukarannya, apakah Rp 10 = Rp 10 atau berapa? Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis apa pun yang membuktikan hal itu.
Di luar itu, informasi yang diterima juga menyebutkan uang-uang yang dicetak oleh Percetakan Negara Manado tersebut kemudian disita dari penduduk yang masih menyimpannya untuk dibakar. Sebagian penduduk membakarnya sendiri uang-uang kertas itu. Mengenai hal ini, paling tidak ada dua alasannya.Â
Pertama, karena uang kertas itu sudah tidak laku lagi, jadi lebih baik dibakar daripada disimpan tak berguna.Â
Kedua, konon sebagian penduduk sengaja membakar uang kertas itu karena khawatir dicurigai masih mendukung PRRI-Permesta, gerakan yang sudah ditumpas oleh pemerintah pusat.
Itulah sebabnya tidak banyak lagi ditemukan uang PRRI-Permesta hasil cetakan Percetakan Negara Manado. Sebagian sudah dibuang dan dibakar.Â
Kalau pun ada yang diselamatkan dari aksi pembakaran uang itu, sebagian sisinya sudah terbakar. Tak heran, yang dijumpai di tangan kolektor uang atau numismatis saat ini adalah uang kertas yang sudah bekas terbakar.
Selain dibakar, konon cara lain untuk membuat uang ini dihancurkan adalah dengan merendam uang kertas itu, sehingga lama kelamaan akan hancur dengan sendirinya.Â
Tak heran bila saat ini sangat sulit ditemukan dalam kondisi lembaran uang kertas utuh. Biasanya sudah bekas terbakar atau koyak sisinya karena bekas direndam.
Namun apa pun kondisinya, uang-uang kertas bekas terbakar dan terendam air itu ternyata masih laku terjual dengan harga sampai ratusan ribu rupiah.Â
Apalagi uang kertas dengan nominal Rp 5 yang termahal, dan juga nominal lainnya. Kelangkaan dan nilai sejarah yang terkandung dalam uang kertas itu, membuat para numismatis bersedia membayar dengan harga tinggi untuk mengoleksinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H