Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Berjuang dengan Uang, Berperang dengan Perangko

30 Maret 2020   22:10 Diperbarui: 30 Maret 2020   22:45 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa lembar uang koleksi milik penulis. Sebagian adalah uang yang diterbitkan pada masa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan RI. (Foto: BDHS)

Harus tetap berada di rumah bisa membosankan bagi yang sehari-hari sering berpergian ke luar rumah, baik untuk bekerja di kantor maupun kegiatan lainnya. Untuk mengatasinya, kita harus berusaha mencari kesibukan agar tak mengurangi keaktifan walau pun berada di rumah.

Bagi para kolektor atau penggemar suatu benda koleksi, keharusan berdiam di rumah justru membawa manfaat, bisa melihat dan merawat kembali koleksi yang dimiliki. Bila karena kesibukan sehari-hari koleksi tersebut hanya tersimpan dalam lemari atau didiamkan begitu saja, instruksi untuk tetap berada di rumah pada masa wabah COVID-19 ini membuat waktu luang lebih banyak.

Para kolektor atau penggemar kendaraan, baik yang bermotor mau pun kendaraan tanpa motor seperti sepeda, bisa memanfaatkan waktu luang untuk merawat, misalnya mencuci dan memperbaiki kendaraannya. 

Demikian pula bagi para kolektor lainnya. Kolektor lukisan bisa membersihkan lukisannya, kolektor batik dan kain-kain kuno dapat mengeluarkan dan mengangin-anginkan kain koleksinya sambil menatap dan mencoba memahami motif-motif yang ada pada kain koleksinya.

Kolektor atau penggemar benda-benda kecil, seperti prangko, mata uang -- baik uang kertas maupun uang logam atau koin -- lalu kolektor kartu telepon dan kartu kunci hotel, kolektor badge (lambang dari kain) dan pin (lambang dari plastik atau logam), dapat pula merapikan dan menata koleksinya agar lebih indah dilihat dan dapat "bercerita" tentang sejarah koleksi tersebut.

Penulis yang juga seorang kolektor prangko, mata uang, dan benda-benda memorabilia kepramukaan, kisah-kisah petualangan Tintin serta Star Trek, juga memanfaatkan waktu harus tetap berada di rumah, dengan mulai merapikan sedikit demi sedikit koleksi yang ada.

Bahkan ketika membuka-buka laptop dan melihat kembali dokumen-dokumen yang ada, penulis mendapatkan pula satu puisi -- walau mungkin belum tergolong puisi yang berkualitas -- tentang benda koleksi yang penulis miliki. 

Puisi ini ditulis di Tahun Baru pada 1 Januari 2020 malam hari, ketika penulis membereskan satu kotak kecil yang berisi koleksi mini uang kertas dan prangko yang ada. Penulis sebutkan "mini", karena jumlah uang kertas yang penulis miliki tidak seberapa. Khususnya uang kertas dari sebelum tahun 1960. 

Ada yang dari masa Hindia-Belanda, ada yang dari masa perjuangan Kemerdekaan RI, bahkan ada beberapa uang kertas dari Pemerintah Rvolusioner Republik Indonesia (PRRI) -- Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), yang timbul karena daerah -- khususnya di Sumatera dan Sulawesi -- merasa kurang puas pada pemerintah pusat yang dianggap kurang memperhatikan daerah pada pertengahan 1950-an.

Puisi di Tahun Baru

Inilah puisi itu yang ditulis pada malam hari 1 Januari 2020 itu:

Berthold Sinaulan

BERJUANG DENGAN UANG

BERPERANG DENGAN PERANGKO*)

Uang dan perangko adalah dua bukti

negara merdeka berdaulat sudah pasti

tak lagi dihimpit setengah mati

oleh penjajah yang kuasai negeri.

Uang dan perangko adalah dua bukti

sejarah yang tak terputuskan

negeri merdeka jadi negara

sejajar dengan yang lain di bumi.

Buktikan merdeka berdaulat

tekad semangat penuh membulat

berjuang

dengan

uang

berperang

dengan

perangko.

Maju!

Jakarta, 1 Januari 2020

*) Penulisan yang lazim dipakai di kalangan filatelis atau kolektor prangko di mana saya juga termasuk salah satunya adalah "prangko" bukan "perangko". Ini disebabkan kata "prangko" diambil dari istilah "franco" yang digunakan dalam kegiatan layanan pos. Kamus-kamus Bahasa Indonesia juga menganjurkan penggunaan kata "prangko", meski pun di kalangan masyarakat masih banyak yang menuliskannya dengan "perangko". 

Namun dalam catatan kali ini sengaja saya menuliskannya dengan "perangko" agar ketika dibaca mengalun senada dengan kata "perang". Seperti juga kata "uang" yang mengalun senada dengan kata "berjuang".

Jadi Bertambah-tambah

Entah karena menulis puisi itu atau ada dorongan lainnya, justru sejak Januari 2020 itu keinginan penulis untuk memperoleh uang kertas dari masa sebelum 1960-an jadi bertambah-tambah. 

Bila awalnya hanya ada kurang dari 10 lembar uang kertas, kini telah mencapai sekitar 50 lembar. Kebanyakan uang kertas dari masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia, yang sering disebut ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Ada juga ORIDA yaitu ORI Daerah, uang-uang kertas yang dicetak di sejumlah daerah di Pulau Jawa dan Sumatera.

ORIDA dicetak karena walaupun Indonesia telah memproklamirkan Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kenyataannya pihak Belanda yang kembali "menumpang" pasukan Sekutu yang melucuti tentara Jepang, mencoba menjajah lagi Indonesia. Belanda bahkan melakukan blokade, sehingga uang kertas ORI yang dicetak di Pulau Jawa, tidak dapat didistribusikan.

Belanda kemudian mendistribusikan uang kertasnya sendiri yang disebut "uang NICA". Tentu saja hal ini membahayakan kelangsungan Pemerintah RI, Padahal seperti dalam puisi di atas disebutkan bahwa bukti kedaulatan suatu negara merdeka antara lain dengan adanya uang dan prangko dengan nama negara itu. Itulah sebabnya, dengan persetujuan Pemerintah Pusat, sejumlah daerah diizinkan mencetak uang kertas sendiri. Uang-uang itulah yang disebut dengan ORIDA.

Sementara hal yang sama juga terjadi dengan prangko. Prangko-prangko yang sudah dicetak oleh Pemerintah RI diblokade penjajah Belanda dan tidak bisa didistribusikan ke daerah-daerah. 

Maka selain mencetak prangko-prangko seadanya di beberapa daerah, sejumlah daerah juga melakukan cetak tindih atas prangko-prangko dari masa penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang. 

Caranya dengan mencetak atau memberi stempel prangko-prangko zaman penjajahan Belanda dan Jepang dengan tulisan yang menyatakan itu adalah prangko Indonesia. Misalnya dengan cetak tindih tulisan "Indonesia", "Rep.Ind", "Rep. Indonesia", "PTT Indonesia", "NRI", dan lainnya.

Prangko zaman penjajahan Jepang dengan cetak tindih tulisan "REP. IND" dan ORI. (Foto: dari Suwito Harsono)
Prangko zaman penjajahan Jepang dengan cetak tindih tulisan "REP. IND" dan ORI. (Foto: dari Suwito Harsono)
Ada juga beberapa prangko yang dicetak tindih dengan tulisan "ORI' dan "URIPS". Bila ORI adalah singkatan Oeang Repoeblik Indonesia, maka URIPS adalah singkatan Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera. Ini menandakan bahwa yang ingin menggunakan prangko dengan cetak tindih "ORI" dan "URIPS" untuk ditempel di atas kartu pos maupun amplop surat pos, harus membelinya dengan uang kertas ORI atau URIPS. Bila calon pembeli mencoba membayar dengan uang NICA yang diedarkan penjajah Belanda, maka tak akan dilayani.

Mengacu pada puisi tadi, inilah yang disebut dengan "berjuang dengan uang, berperang dengan perangko". Lewat uang dan prangko, Indonesia menunjukkan sebagai negara merdeka yang berdaulat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun