Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisruh Puisi Indonesia, dari DJA sampai Sukmawati

6 April 2018   22:41 Diperbarui: 6 April 2018   22:51 1326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah ribut-ribut di kalangan "dunia sastra" Indonesia yang hampir tak ke luar. Berbeda dengan kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri.  Bermula ketika Sukmawati membacakan puisi  "Ibu Indonesia"  di tengah pergelaran mode bertajuk "29 Tahun Anne Avantie Berkarya", yang merupakan salah satu acara pada Indonesia Fashion Week 2018. Karyanya kemudian diributkan. 

Membawa-bawa agama dan membandingkannya, memang mempunyai risiko besar. Apalagi di masyarakat yang akhir-akhir makin sensitif. Saya pribadi kurang setuju dengan puisi Sukmawati itu. Namun belakangan diketahui, ternyata puisi itu bukan puisi baru. Puisi Sukmawati itu telah ditulis cukup lama, yaitu pada 1999. Puisi itu kemudian dibukukan dalam suatu antologi puisi yang terbit 2006.

Ini juga yang menjadi bahan diskusi dengan beberapa sahabat. Mereka menyatakan seharusnya sejak lama puisi itu digugat, kalau memang mau digugat. Namun bisa jadi, lagi-lagi karena "dunia puisi" bukan dunia yang banyak diminati., jadi ketika terbit sampai sekarang 12 tahun kemudian baru sedikit yang membacanya.

Ini bukti  masih rendahnya minat baca masyarakat terhadap karya-karya fiksi, minat baca terhadap buku kumpulan puisi lebih rendah lagi. Kalau pun ada yang berminat membaca karya fiksi, sebagian besar memilih membaca komik (cerita bergambar) atau cerpen dan novel.

"Baca puisi susah, kalimatnya beruntun tidak mudah dimengerti, apalagi banyak puisi menggunakan perumpaan dan kiasan, jadi belum bisa langsung dimengerti," seorang teman pernah menjelaskan.

Tapi apa pun itu, di dalam masyarakat Indonesia dan di mana saja, menerbitkan tulisan apa pun -- termasuk puisi-puisi -- memang sebaiknya mengingat norma, etika, dan kebiasaan umum yang berlaku di dalam masyarakat. Istilah teman, "Jangan mancing gara-gara".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun