Klaim adanya gerakan - bahkan disebut-sebut sebagai angkatan sastra baru - Â yang diajukan Denny JA (selanjutnya disebut DJA), sungguh menggelikan, memalukan, dan sekaligus menyesatkan.Â
DJA yang sebelumnya tidak pernah namanya di "dunia sastra", dan baru sekitar 10 tahun lebih ini intens memasukinya, Â tiba-tiba menderetkan namanya sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.
Dia mendanai suatu tim untuk menyusun buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh". Tentu saja karena tim itu dibayar olehnya, maka namanya dimasukkan sebagai salah satu tokoh sastra paling berpengaruh, berderet dengan mereka yang benar-benar tokoh sastra, seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, HAMKA, Sutardji Calzoum Bachri, dan lainnya.
Dia juga membuat karya sastra yang disebutnya puisi esai. Padahal ini sebenarnya sama dengan genre sastra prosa liris atau prosa lirik yang telah lama dikenal. Hanya diberi tambahan adanya catatan kaki.Â
Menurut DJA, catatan kaki itu adalah khas esai. Lucu, karena tidak semua esai bercatatan kaki. Lagi pula, puisi-puisi dengan catatan kaki, sudah cukup banyak pula dikenal di kalangan penggemar dan penikmat sastra. Jauh sebelum DJA membuat puisi semacam itu.
Lebih heboh lagi, dia membayar para penulis untuk membuat karya yang disebutnya sebagai puisi esai. Setelah sebelumnya secara perorangan, kini dia membayar lima penulis dari tiap provinsi untuk membuat karya yang disebutnya sebagai puisi esai.Â
Karya-karya itu kemudian akan dibukukan, sehingga terlihat banyak buku yang isinya disebut puisi esai itu.
Padahal itu semua karena didanai atau dibayar oleh DJA, tanpa ada bayaran hampir tak ada yang menulis karya sastra semacam yang disebutnya puisi esai itu.Â
Dia melakukan semua itu agar terlihat memang telah lahir gerakan puisi esai, meski pun sebenarnya tidak ada gerakan itu. Kalau ada yang menulis seperti arahan DJA, semata-mata karena dibayar.
Hal inilah yang menjadi perbincangan di kalangan dunia sastra di Tanah Air. Bagaimana mungkin seorang yang baru masuk secara intens ke dunia sastra, tiba-tiba membuat dirinya sejajar dengan tokoh sastra berpengaruh yang telah malang melintang puluhan tahun di Indonesia?Â
Bagaimana mungkin pula disebut gerakan, kalau ternyata penulisan karya seperti yang disebutnya puisi esai semata-mata karena pesanan dirinya, bukan karena keinginan pribadi dari tiap penulis?
Belakangan juga terbukti, sebagian dari mereka yang telah ikut dalam proyek penulisan buku puisi esai dari 34 provinsi gagasan DJA, ternyata mengundurkan diri.Â
Bahkan dengan tegas membuat surat pernyataan menarik karyanya, setelah tahu bahwa mereka hanya dimanfaatkan untuk menokohkan DJA sebagai tokoh sastra paling berpengaruh, dan sekaligus membuktikan adanya gerakan karena banyak yang menulis karya seperti yang disebut puisi esai itu.
Sampai saat ini penolakan terhadap DJA makin meluas. Inti penolakan itu adalah karena "politik uang" yang digunakan DJA untuk membuat dirinya menjadi tokoh dan mencoba membuat sejarah bukan karena prestasi atau karya yang bermutu, tetapi semata-mata karena kemampuan mendanai dan membayar para penulis lain.
Dari sisi sejarah sastra Indonesia, hal ini juga patut dicermati. Jangan sampai di masa mendatang, ada buku-buku sejarah sastra yang memuat namanya sebagai tokoh sastra berpengaruh, bukan karena kualitas karyanya, tetapi karena "kekuatan uang" yang dimilikinya.
Berbagai hal ini sekaligus menjadi catatan bahwa penolakan yang terjadi bukan semata karena klaimnya membuat genre sastra baru yang disebutnya puisi esai, padahal sebelumnya telah dikenal dengan nama prosa liris.Â
Tetapi terlebih karena "politik uang" yang dikucurkan untuk menjadikan dirinya tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dan klaim menyesatkan yang disebut telah melahirkan gerakan sastra baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI