Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Klaim Gerakan Sastra yang Menyesatkan

1 Februari 2018   14:30 Diperbarui: 1 Februari 2018   14:31 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Klaim adanya gerakan - bahkan disebut-sebut sebagai angkatan sastra baru -  yang diajukan Denny JA (selanjutnya disebut DJA), sungguh menggelikan, memalukan, dan sekaligus menyesatkan. 

DJA yang sebelumnya tidak pernah namanya di "dunia sastra", dan baru sekitar 10 tahun lebih ini intens memasukinya,  tiba-tiba menderetkan namanya sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.

Dia mendanai suatu tim untuk menyusun buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh". Tentu saja karena tim itu dibayar olehnya, maka namanya dimasukkan sebagai salah satu tokoh sastra paling berpengaruh, berderet dengan mereka yang benar-benar tokoh sastra, seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, HAMKA, Sutardji Calzoum Bachri, dan lainnya.

Dia juga membuat karya sastra yang disebutnya puisi esai. Padahal ini sebenarnya sama dengan genre sastra prosa liris atau prosa lirik yang telah lama dikenal. Hanya diberi tambahan adanya catatan kaki. 

Menurut DJA, catatan kaki itu adalah khas esai. Lucu, karena tidak semua esai bercatatan kaki. Lagi pula, puisi-puisi dengan catatan kaki, sudah cukup banyak pula dikenal di kalangan penggemar dan penikmat sastra. Jauh sebelum DJA membuat puisi semacam itu.

Lebih heboh lagi, dia membayar para penulis untuk membuat karya yang disebutnya sebagai puisi esai. Setelah sebelumnya secara perorangan, kini dia membayar lima penulis dari tiap provinsi untuk membuat karya yang disebutnya sebagai puisi esai. 

Karya-karya itu kemudian akan dibukukan, sehingga terlihat banyak buku yang isinya disebut puisi esai itu.

Padahal itu semua karena didanai atau dibayar oleh DJA, tanpa ada bayaran hampir tak ada yang menulis karya sastra semacam yang disebutnya puisi esai itu. 

Dia melakukan semua itu agar terlihat memang telah lahir gerakan puisi esai, meski pun sebenarnya tidak ada gerakan itu. Kalau ada yang menulis seperti arahan DJA, semata-mata karena dibayar.

Hal inilah yang menjadi perbincangan di kalangan dunia sastra di Tanah Air. Bagaimana mungkin seorang yang baru masuk secara intens ke dunia sastra, tiba-tiba membuat dirinya sejajar dengan tokoh sastra berpengaruh yang telah malang melintang puluhan tahun di Indonesia? 

Bagaimana mungkin pula disebut gerakan, kalau ternyata penulisan karya seperti yang disebutnya puisi esai semata-mata karena pesanan dirinya, bukan karena keinginan pribadi dari tiap penulis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun