Beberapa waktu lalu ada tulisan berjudul "Seratus Lebih Penyair Bikin Petisi". Isinya menceritakan petisi yang dibuat para penyair dan sastrawan Indonesia menolak aksi Denny JA (DJA) yang menggunakan uang untuk menjadikan dirinya sebagai  salah satu tokoh sastra Indonesia berpengaruh lewat gerakan yang disebutnya "puisi esai". Petisi yang dibagikan lewat Facebook dan WhatsApp itu telah ditandatangani sekitar 600 orang.
Belakangan, peitisi serupa dimuat pula di change.org, suatu portal web tempat orang bisa membuat petisi dan mengajak masyarakat umum untuk menandatanganinya. Petisi itu pun telah ditandatangani ratusan orang. Semuanya itu diperkuat dengan tanda pagar (tagar) atau dalam Bahasa Inggris disebut hashtag #puisi prabayar (baca disini)
Tagar itu adalah protes terhadap aktivitas yang dilakukan pengamat politik dan konsultan publik DJA, yang membayar Rp 5 juta untuk setiap karya yang disebutnya puisi esai, dan untuk yang disetujui, diberikan Rp 1 juta lebih dulu sebagai uang muka.Â
Yang bersangkutan memang sangat ingin apa yang disebutnya "puisi esai" diikuti dan ditulis banyak orang, sehingga tak segan-segan membayar bahkan memberi uang muka (prabayar) untuk penulis "puisi esai".
Tidak tanggung-tanggung, dalam buku itu yang bersangkutan disejajarkan dengan nama-nama besar yang memang tokoh sastra paling berpengaruh sesungguhnya, seperti WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, HAMKA, dan lain-lain. Padahal, bisa dikatakan DJA baru masuk dalam "pusaran sastra Indonesia" kurang dari 10 tahun ini.
Setelah dihitung-hitung, sudah miliaran rupiah yang dikeluarkan bersangkutan agar namanya diakui sebagai salah satu tokoh sastra paling berpengaruh (baca disini ). Entah berapa lagi akan dikeluarkan agar namanyaq benar-benar tercatat dalam sejarah kesusastraan Indonesia sebagai tokoh paling berpengaruh.
Dari pihaknya, termasuk kalangan yang mendukung aksinya, selalu disebutkan penolakan para penyair dan sastrawan umumnya tidak berdasar. Apakah salah kalau orang menulis apa yang disebut nya "puisi esai"? Apakah dilarang memberikan bayaran bagi mereka yang menulis "puisi esai"?
Persoalannya sebenarnya bukan di situ. Silakan saja, DJA dan kelompoknya menamakan karyanya dengan "puisi esai". Walaupun oleh banyak kalangan disebut apa yang ditulisnya tak beda dengan prosa liris, suatu genre yang telah dikenal lama di dunia sastra. Perbedaannya, hanya pada karya-karya yang dibuat bersangkutan dan pendukungnya, menambahkan ada catatan kaki, jadi terlihat seperti tulisan esai ilmiah.
Masih lumayan kalau ini dilakukannya seorang diri. Masalahnya, sekarang dia mulai mengajak orang lain dengan iming-iming uang, dan sebagian penulis dan penyair karena kurang tahu, jadi ikut-ikutan menulis apa yang disebutnya "puisi esai".Â
Inilah yang membuat lahirnya perlawanan terhadap aksinya, yang intinya "mau jadi terkenal di dunia sastra, buatlah karya bermutu, jangan dengan mengeluarkan uang banyak dan mengiming-iming orang lain agar diakui namanya sebagai tokoh".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H