Upaya pemugaran Masjid Angke yang dilakukan Lingkar Warisan Kota Tua Jakarta (Lingwa) di bawah pimpinan Prof. Dr. Toeti Heraty N. Roosseno, memang tidak selamanya mulus. Apalagi organisasi nonpolitik dan nonprofit melakukan pemugaran dengan biaya swadaya dari masing-masing anggota dibantu donatur sahabat-sahabat anggota Lingwa sendiri.
Sejak awal digagas oleh asitek pelestari Han Awal dan sahabatnya Toeti Heraty, organisasi berbentuk perkumpulan tersebut memang dimaksudkan sebagai wadah untuk membantu upaya pelestarian dan pengembangan kawasan Kota Tua Jakarta dan tempat-tempat bersejarah lainnya di Jakarta. Hal itu diawali dengan keprihatinan Han Awal atas kondisi sejumlah bangunan kuno di Jakarta. Sebagai arsitek pelestari, Han Awal memang telah banyak berkontribusi membantu merawat dan melestarikan bangunan-banguan kuno di Jakarta dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Maka sejak pertengahan 2016, berdirilah Lingwa. Proyek pertamanya adalah pemugaran Masjid Angke yang dibiayai secara swadaya oleh Lingwa sendiri. Masjid yang bernama lengkap Masjid Jami' Al-Anwar Angke di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, dibangun pada hari Kamis 26 Sya'ban 1174 H atau pada 1761 Masehi.
Walaupun masjid tersebut terletak di luar kawasan Kota Tua Jakarta, namun keberadaan masjid ini merupakan bukti bahwa sejak dulu telah terjadi percampuran atau akulturasi budaya yang berjalan secara harmonis di Jakarta. Arsitektur Masjid Angke merupakan gabungan dari gaya arsitektur Indonesia kuno dan gaya arsitektur Eropa. Kaki bangunan yang bersifat massif mengingatkan kepada bangunan suci Indonesia sebelum Islam.
Hal serupa juga terlihat pada tangga dan pipi tangga. Sementara jendela yang berterali, mengingatkan pada gaya rumah Belanda. Gaya arsitektur Tiongkok juga terlihat pada sokoguru masjid tersebut, yang mirip dengan gaya arsitektur rumah Belanda di Jakarta dan gaya arsitektur Cina.
Sedangkan mengenai mihrab yang merupakan tempat imam memimpin salat berjamaah, gaya arsitekturnya mengingatkan pada gaya arsitektur bangsa Moor, yaitu kaum Muslim dari zaman pertengahan yang tinggal di Al-Andalus, di Semenanjung Iberian termasuk Spanyol dan Portugis zaman sekarang, dan juga di Maroko serta Afrika Barat.
Mereka yang terlibat dalam pembangunan masjid itu juga berasal dari berbagai latar belakang budaya. Konon, pendirinya adalah Tan Nio, seorang perempuan Tionghoa kaya yang menyumbangkan dana untuk pembangunan masjid tersebut. Sementara arsiteknya disebut-sebut Syaikh Liong Tan. Tak heran bila atap bangunan Masjid Angke mirip dengan gaya bangunan Tionghoa. Bentuk atapnya melengkung ke bawah, sedangkan ujung atapnya melengkung ke atas.
Para pekerja yang membangun masjid itu pun bukan hanya dari kaum Betawi. Tetapi juga mereka yang dari suku bangsa Bali, Banten, bahkan konon kabarnya juga yang berasal dari Makassar dan Madura. Tak heran pula bila ada yang menamakan masjid ini sebagai "Indonesia mini" yang tercermin dari arsitektur dan para pekerjanya. Suatu hal yang juga sejalan dengan keberadaan para anggota Lingwa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan beragam agama itu.
Ketika Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Djarot Saiful Hidayat, aktivitas itu pun dilaporkan. Pihak Lingwa juga memohon kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meninjau Masjid Angke. Sekaligus meresmikan dimulainya pemugaran tersebut. Pak Djarot sudah setuju, tetapi kesibukan beliau menjelang akhir masa jabatan, sempat membuat rencana itu hampir tak jelas. Tadinya dijadwalkan awal Oktober 2017, tetapi kemudian berubah lagi. Beberapa kali Tim Lingwa berusaha menghubungi Pak Djarot melalui stafnya, tetapi kepastian belum didapat. Sampai akhirnya pada 9 Oktober 2017, tiba-tiba diberitahu bahwa Pak Djarot bersedia datang ke sana pada Selasa, 10 Oktober 2017 dan sekaligus bersedia meresmikan pemugaran tersebut.