Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gejala Meluas di Media Sosial: Cepat Komentar Tanpa Membaca

11 Juni 2017   16:21 Diperbarui: 11 Juni 2017   21:00 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unggah status di Facebook. (Foto: ljwilson.com)

Seorang Pembina Pramuka kena hujatan, gara-gara dia mengunggah status di akun group para Pramuka di Facebook, “Kalo cuma berujung pada "5B" (berkumpul, bertepuk, bernyanyi, berjoget dan berselfie), mendingan Gerakan Pramuka dibekukan saja....”. Begitu tulisnya.

Langsung saja berbagai komentar bermunculan. Tak sedikit yang menghujat, bahkan memakinya. Dikatakan, bahwa yang mengunggah status itu tak mengerti Pramuka, bukan Pramuka, bahkan sampai ada yang menulis, “Dasar pramuka ortodok ente mah. Semua kegiatan 5b itu jangan diliat kegiatannya cok. Tapi liat hasil setelahnya. Semua kegiatan itu melatih PD. melatih agar tdk pemalu. Kalo lo ngerasa pinter lo sana jadi kak kwarnas. Jangan cuma ngomong. Ngomong doang mah murid gw juga jago !!”.

Padahal sebenarnya kalau kita mau lebih mencerna tulisan itu dengan teliti, apa yang diutarakan itu memang benar. Kalau cuma berujung, artinya kalau hanya akhirnya 5B itu, ya memang percuma saja berlatih Pramuka. Statusnya itu sebenarnya ajakan diskusi, untuk membahas apa yang harus dilakukan supaya tidak berhenti pada 5B saja.

Harus diakui, sebagian masyarakat juga masih melihat bahwa kegiatan Pramuka tak lebih dari berkumpul, bertepuk tangan, dan bernyanyi saja. Padahal sebenarnya, itu semua hanyalah “bungkus” dari isi pendidikan yang berikan dalam kepramukaan. Bertepuk tangan dan bernyanyi hanya cara agar kegiatannya menjadi menarik.

Di sinilah perlunya Pembina Pramuka lebih cermat dalam memberikan kegiatan pada peserta didiknya. Misalnya, dalam bernyanyi. Lagu apa yang dipilih, bagaimana lirik lagu itu, dan sebagainya, yang mungkin terkait dengan pendidikan karakter, contohnya lagu-lagu perjuangan berirama mars yang membuat kita ikut bertepuk tangan menyanyikan, untuk menumbuhkan semangat patriotisme, cinta Tanah Air, dan sebagainya.

Dalam kejadian berbeda tetapi hampir mirip adalah tulisan berjudul “Prangko Ahok dari Belgia” yang dimuat di Kompasiana(lengkapnya baca di sini Ketika mengunggah tautan (link) tersebut di Facebook, sudah diduga bakal ada yang mencelanya. Nama Basuki Tjahaja Purnama yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta dan lebih populer dengan panggilannya, Ahok, memang kontroversial. Banyak yang mendukung, tetapi tak sedikit pula yang tidak menyukai bahkan mencaci-makinya. Menampilkan tulisan dengan judul “Ahok”, pasti akan menimbulkan tanggapan, termasuk tanggapan yang mencemooh dan cenderung nyinyir.

Benarlah itu yang terjadi. Kali ini pun terbukti bahwa sama seperti kasus Pembina Pramuka, orang yang berkomentar “keras” tidak mencerna tulisan itu dengan baik. Bahkan dalam tulisan Ahok ini, yang memberikan komentar menyindir dan mencemooh, justru sama sekali belum membaca tulisan itu. Hanya melihat judulnya saja, “Prangko Ahok dari Belgia”, langsung memberi komentar macam-macam.

Padahal komentar-komentar yang diberikan mereka yang mencemooh itu, sebenarnya sudah dijelaskan panjang lebar di dalam tulisan tersebut. Jadi ketika mereka memberi komentar sebenanrya hanya mengulang saja apa yang sudah dituliskan.

Dari dua kasus itu terlihat bahwa kecenderungan orang dewasa ini, cepat memberikan komentar tanpa membaca dengan baik apa yang dikomentari, bahkan tanpa sama sekali membaca sedikit pun. Gejala ini semakin terlihat dengan meluasnya pemakaian media sosial, yang membuat orang mudah mengunggah sesuatu dan sekaligus mudah pula menulis komentar.

Apakah ini termasuk gejala dunia modern yang serba instan, cepat menulis, cepat berkomentar tanpa teliti membaca atau tanpa sama sekali membaca hal yang dikomentari? Mungkin menarik dijadikan bahan kajian bagi para penggiat literasi dan media sosial umumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun