Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanpa Bhinneka Tunggal Ika, Kita Tidak Akan Dapat Bertahan dari Derasnya Arus Perkembangan

23 Mei 2017   22:05 Diperbarui: 23 Mei 2017   22:34 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dirjen Kebudayaan, Dr. Hilmar Farid, memberikan arahan pada seminar "Kebhinekaan di Atas Keberagaman" di Jakarta, 23 Mei 2017. (Foto: kebudayaan.kemendikbud.go.id)

Banyaknya pembahasan mengenai kebhinekaan akhir-akhir ini mungkin timbul karena masyarakat sudah melihat hal yang mengkhawatirkan mengenai kehidupan politik dan kehidupan bernegara saat ini. Walaupun demikian, pembahasan mengenai kebhinekaan, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila memang sudah sepatutnya dibicarakan kembali agar tidak memudar.

Keberagaman yang ada di negara kita sudah ada sejak awal, namun kita tidak bisa “taken for granted”, menerima begitu saja. Bhinneka Tunggal Ika, atau berbeda-beda tapi satu tujuan, harus terus-menerus dirawat. Demikian antara lain paparan Direktur Jenderal Kebudayaan Dr. Hilmar Farid, saat membuka seminar nasional “Kebhinekaan di Atas Keberagaman” yang diselenggarakan di Museum Nasional Indonesia (MNI), Jakarta, 23 Mei 2017.

Ini adalah seminar kesekian kalinya tentang kebhinekaan atau keragaman. Sebelumnya,Forum Kajian Antropologi Indonesia menyelenggarakan seminar bertajuk “Kemajemukan dan Keadlian” di MNI pada 9  Februari 2017. Kemudian, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jabodetabek menyelenggarakan seminar merajut kebhinekaan dengan tema “Kebhinekaan Warisan Budaya Nusantara Dalam Tantangan Masa Kini dan Mendatang” yang diadakan di Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta, pada 16 Mei 2017.

Seminar kali ini, walaupun dilaksanakan di MNI, namun penyelenggaranya adalah Museum Sumpah Pemuda yang sejak setahun terakhir dipimpin oleh Dra. Huriyati, MM. Sebelum seminar ini, museum tersebut telah menyelenggarakan sejumlah acara untuk menguatkan rasa kebangsaan kaum muda khususnya, maupun masyarakat luas umumnya. Termasuk penyelenggaraan seminar dan pameran dengan tema Dokter Moewardi, salah satu pahlawan nasional Indonesia yang juga merupakan tokoh kepanduan di masa Hindia-Belanda.

Hasil seminar kali ini, seperti dikatakan Huriyati, diharapkan nantinya dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk program, terutama untuk menyambut 90 Tahun Sumpah Pemuda yang akan diperingati tahun depan, tepatnya pada 28 Oktober 2018. Dan pembahasan kebhinekaan memang tepat, apalagi di tengah situasi di mana kaum muda khususnya dan warga Indonesia umumnya, melihat ada kecenderungan intoleransi dalam berbagai bentuk.

Kasus-kasus dengan latar belakang perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, yang mengemuka, sebenarnya dapat diatasi bila semua pihak benar-benar dapat memahami kebhinekaan atau keberagaman yang ada di Indonesia. Hilmar Farid bahkan mengulangi hasil penelitian Prof. Herawati Sudoyo, Ph.D dari Lembaga Biologi Molekular Eijkman yang mengungkapkan bahwa bukti-bukti, baik berupa bukti sejarah maupun riset laboratorium melalui penelitian DNA, diketahui tidak ada satu pun suku yang ada di Indonesia ini bisa mengklaim sebagai orang Indonesia asli. Jadi pembahasan mengenai pribumi dan non-pribumi sudah tidak relevan lagi saat ini.

Hilmar Farid menguraikan pula keberagaman yang ada di Indonesia, baik suku, agama, ras, maupun antargolongan, hanya dapat dipersatukan melalui Bhinneka Tunggal Ika. “prinsip kebhinnekaan Indonesia merupakan suatu keniscayaan,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan sambil menambahkan, tanpa adanya Bhinneka Tunggal Ika,  kita tidak akan dapat bertahan dari derasnya arus perkembangan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun