Bisa jadi tidak banyak yang tahu bahwa setiap tanggal 29 Maret telah ditetapkan sebagai Hari Filateli Nasional sejak 1990-an. Tanggal yang diambil dari saat pendirian Postzegelverzamelaars Club Batavia, perkumpulan kolektor prangko pertama di Indonesia, tepatnya di Batavia (sekarang Jakarta) pada 29 Maret 1922. Perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI). Berarti tahun ini bila dihitung dari sejarah awalnya, PFI genap berusia 95 tahun.
Dalam perkembangannya, para kolektor prangko yang juga dikenal dengan sebutan filatelis mengumpulkan bukan hanya prangko, tetapi juga benda-benda pos lainnya. Ada kartu pos dan sampul (amplop) surat pos yang dikirim melalui kantor pos, dan banyak lagi. Apalagi kemudian Pemerintah di banyak negara yang mengelola penerbitan prangko, juga membuat berbagai macam benda koleksi lainnya. Sebut saja Sampul Hari Pertama, Sampul Peringatan, souvenir sheet atau lembar kenangan, termasuk juga cap (stempel) pos unik yang bukan sekadar bertuliskan nama kota dan tanggal saja, tetapi juga dengan gambar-gambar menarik.
Walaupun demikian, harus diakui bahwa prangko tetap menjadi primadona dari koleksi benda-benda filateli. Sayangnya, kini prangko makin susah dicari. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, membuat orang semakin mudah saling berkirim kabar dan informasi.
Sekarang, berderet cara untuk mengirim kabar dan informasi. Kehadiran elepon pintar (smartphone) semakin memudahkan lagi. Tak usah menelepon, cukup menggunakan pesan layan singkat (SMS), dan berbagai aplikasi lainnya. Mulai dari Whatsapp, Path, Line, Instagram, Twitter, Facebook, dan sebagainya. Apalagi dengan semakin meluasnya jaringan internet, bukan hanya tulisan dan gambar, bahkan video pun dengan mudah dikirimkan. Percakapan melalui telepon juga bukan hanya sekadar saling mendengarkan suara, tetapi sekaligus melihat wajah lawan bicaranya.
Itulah sebabnya, penggunaan prangko semakin sedikit. Di Indonesia misalnya, bila pada masa Orde Baru jumlah cetak prangko rata-rata mencapai 1 juta keping setiap kali dicetak, bahkan ada yang sampai 2-3 juta keping, maka sekarang tersisa 300.000 keping prangko setiap kali cetak. Lebih sedikit dari itu pun pernah.
Beberapa kali pihak PT Pos Indonesia sebagai yang mendistribusikan dan menjual prangko di kantor-kantor pos mengeluh, bahwa dengan jumlah 300.000 keping prangko setiap kali ada penerbitan prangko baru, tetap saja masih cukup susah untuk dihabiskan. Kadangkala stok prangko menumpuk di gudang, tak terpakai lagi.
Selain digunakan oleh masyarakat umum, seperti telah disebutkan di awal tulisan ini, prangko memang dikumpulkan para kolektor. Kenyataannya sekarang, penerbitan prangko lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan para kolektor atau filatelis saja. Sedangkan masyarakat umum yang menggunakan makin lama makin sedikit.
Kolektor atau filatelis pun masih belum bertambah banyak. Padahal dulu ketika akhir 1980-an dan awal 1990-an, saat menteri yang mengurus masalah perprangkoan yang ketika itu dipegang oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Menparpostel) dijabat oleh Soesilo Soedarman dan berikutnya oleh Joop Ave, jumlah filatelis sempat melonjak pesat. Apalagi setelah Pemerintah mengadakan program sejuta filatelis yang didukung penuh oleh Pengurus Pusat (PP) PFI dengan ketuanya, Letjen TNI (Purn) Mashudi.
Namun krisis ekonomi yang belanjut krisis multi dimensi pada 1998 sampai awal 2000-an, membuat jumlah filatelis anjlok. Kini ketika PP PFI dipimpin Letjen TNI (Purn) Soeyono Soetikno, upaya menambah jumlah filatelis digencarkan kembali. Termasuk penyelenggaraan pameran filateli sedunia di Bandung, Agustus 2017.