Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Misteri Perempuan Gagah Perkasa Bagaikan Raksasi

8 Maret 2017   15:58 Diperbarui: 9 Maret 2017   10:00 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasanya, setiap 8 Maret selalu diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Pertama kali diperingati di New York, Amerika Serikat, pada 8 Maret 1909, berarti tahun ini merupakan peringatan ke-98 Hari Perempuan Internasional tersebut.

Seperti biasanya pula, setiap kali peringatan Hari Perempuan Internasional, banyak yang teringat dengan tokoh-tokoh perempuan yang pernah melakukan hal-hal luar biasa pada masa hidupnya. Berbicara tentang tokoh perempuan di indonesia, agaknya yang paling banyak teringat adalah Raden Adjeng Kartini, Tjoet Nja’ Dhien, Dewi Sartika, Tjoet Nja’ Meutia, dan beberapa nama lain, seperti Maria Walanda Maramis dan Martha Christina Tiahahu.

Tokoh perempuan Indonesia yang dari masa yang lebih kemudian dapat dicatat sebagai pahlawan nasional antara lain Fatmawati dan Siti Hartinah Soeharto, dua ibu negara yang pernah ikut mendampingi masing-masing Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dalam kegiatan mereka memimpin negara ini.

Lalu dari masa yang lebih lama lagi? Masyarakat mungkin hanya ingat nama Ratu Shima. Dia adalah ratu yang menjadi penguasa Kerajaan Kalingga, di sekitar pantai Utara Pulau Jawa pada masa 674 Masehi. Sebelumnya, Ratu Shima adalah istri dari Raja Kalingga, Kartikeyasinga, yang memerintah kerajaan itu. Setelah sang suami meninggal, Ratu Shima beralih menjadi penguasa Kalingga selama kurang lebih 21 tahun.

Batu Kolkata

Selain Ratu Shima, sebenarnya masih banyak lagi tokoh-tokoh atau pemimpin perempuan dari masa Kerajaan Hindu-Buddha  (sekitar abad ke-5 sampai abad ke-14 Masehi) sampai menjelang masuknya pengaruh Barat dengan datangnya bangsa-bangsa dari Eropa. Di antara sekian banyak itu, ada yang cukup menarik perhatian saya dan itu tanpa sengaja  saya temukan, ketika membaca status seorang perempuan dalam akun Facebook-nya.

Prasasti Pucangan. (Foto: awakeningbuddhistindonesia-blogspot.co.id)
Prasasti Pucangan. (Foto: awakeningbuddhistindonesia-blogspot.co.id)
Perempuan yang bernama Nusi Lisabila Estudiantin dan bekerja di Museum Nasional Indonesia, mempertanyakan rencana pemulangan dua prasasti Indonesia yang masih disimpan di luar negeri. Apakah rencana itu menjadi kenyataan, benda bersejarah dari tanah Indonesia yang sempat dibawa ke luar negeri, akan dikembalikan pulang ke tempat seharusnya? Salah satu prasasti adalah Prasasti Pucangan yang sekarang dikenal juga dengan nama Calcutta Stone atau Batu Kolkata.

Penamaan tersebut disebutkan beberapa orang, mengingat prasasti tersebut kini disimpan di salah satu museum di India, tepatnya di Kota Kolkata. Menurut informasi, prasasti  ini ditemukan pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles di Hindia-Belanda dan mengirimkannya kepada Gubernur Jenderal Lord Minto yang berkedudukan di Kolkata, India. Diperkirakan pengiriman Prasasti Pucangan kepada Lord Minto dilakukan di suatu waktu di antara masa pemerintahan Raffles, yaitu antara 1811 – 1816.

Sebenarnya saya sudah cukup lama tahu tentang keberadaan prasasti yang namanya diambil dari kata yang ada dalam prasasti itu yaitu “Pucangan”, yang merujuk pada tempat pertapaan di Pucangan, di sekitar Gunung Penanggungan, yang sekarang masuk wilayah Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti itu terbuat dari batu dan kemungkinan besar batu andesit, seperti yang banyak digunakan dalam pembuatan prasasti pada masa Hindu-Buddha di Tanah Air kita. Di dalam batu yang digunakan untuk Prasasti Pucangan itu, sebenarnya terdapat dua prasasti. Di salah satu bagian batu prasasti itu berbahasa Jawa Kuno dengan angka tahun 963 Saka atau 1041 Masehi,  sementara di sisi batu lainnya menggunakan bahasa Sanskerta bertarikh 959 Saka atau 1037 Masehi.. Walaupun  isinya terdiri dari dua bahasa berbeda, semuanya ditulis dengan aksara Kawi (Jawa Kuno).

Bait ke-26

Ketika membaca kembali isi Prasasti Pucangan, saya tersentak pada isi bait ke-26 prasasti itu. Tentu saja yang saya baca adalah terjemahannya yang banyak tersebar di mana-mana. Penerjemah prasasti  itu antara lain Johan Hendrik Caspar Kern atau sering dikenal dengan sebutan Kern saja, dan juga Louis Charles Damais.

Arca perwujudan Raja Airlangga. (Foto: pustakadigitalindonesia-blogspot.co.id)
Arca perwujudan Raja Airlangga. (Foto: pustakadigitalindonesia-blogspot.co.id)
Terjemahan umum yang biasa dijumpai di mana-mana dari bait ke-26 Prasasti Pucangan adalah, “kerajaan di bagian selatan itu dipimpin seorang perempuan yang kuat perkasa bagaikan raksasi. Dengan gagah berani beliau [Erlangga] kemudian berangkat ke daerah yang hampir tidak dapat dimasuki itu.  Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 954/1032M. Pada saat itulah nama raja [Erlangga] semakin harum  lantaran menaklukkan dan membakar daerah Jawa bagian selatan itu”.

Prasasti ini memang berasal dari masa Raja Erlangga atau Airlangga, salah satu raja besar yang pernah ada di bumi Indonesia ini. Airlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan yang wilayahnya bisa dikatakan seluas wilayah Jawa Timur saat ini.  Airlangga memerintah dari 1009 sampai 1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Vernika Hapri Witasari dalam skripsinya berjudul “Prasasti Pucangan Sansekerta 959 Saka  (Suatu Kajian Ulang)” yang disusunnya untuk menjadi Sarjana (S-1) dalam program studi arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia  (FIB-UI) pada 2009, mempunyai terjemahan tersendiri.

Menurut bait ke-26 terjemahannya adalah, “dahulu kala adalah ia seorang penjahat wanita seperti raksasa yang penuh dengan hal yang berbahaya tanpa kekuatan , dengan pedang kekuatan telah pergi jauh ketika tahun Saka 954 raja menuju ke raungan tanda kemenangan untuk merayakan kemahsyuran itu”.

Jadi berarti di luar Ratu Shima dan mungkin tokoh-tokoh perempuan penting lainnya pada masa Kerajaan Hindu-Buddha, ada satu lagi tokoh perempuan yang juga tak kalah hebatnya. Bahkan digambarkan kuat perkasa bagaikan raksasi atau raksasa perempuan. Tapi  apakah dia pemimpin perempuan atau penjahat perempuan seperti diterjemahkan Vernika?

Arkeolog dan epigraf (ahli epigrafi atau ahli prasasti), Dr. Ninie Susanti yang juga merupakan pengajar di FIB-UI menjelaskan, karena Prasasti Pucangan yang membuat adalah Airlangga, tentu saja dia menganggap musuh-musuhnya, termasuk pemimpin perempuan seperti raksasa tadi, adalah penjahat.

Calon Arang?

Tetapi siapakah dia? Salah satu perintis penelitian prasasti di Indonesia, RM Ng Poerbatjaraka yang juga telah berhasil menerjemahkan Prasasti Pucangan, mengaitkan tokoh perempuan yang kemungkinan besar ratu pemimpin suatu kerajaan yang gagah perkasa bagaikan raksasi itu dengan kisah legenda Calon Arang. Dikisahkan di sekitar Kerajaan Kahuripan ada seorang yang bernama Calon Arang. Dia adalah seorang perempuan jahat dan mempunyai kesaktian ilmu hitam yang bisa menghancurkan apa pun yang menghalanginya.

Lukisan kisah legenda
Lukisan kisah legenda
Singkat cerita, keberadaan Calon Arang mengganggu pemerintahan Raja Airlangga. Maka Airlangga meminta bantuan Mpu Baradah yang merupakan penasehat kerajaan. Mpu Baradah kemudian mengirim muridnhya, Mpu Bahula, dan berhasil dinikahkan dengan anak Calon Arang yang bernama Ratna Manggali.

Setelah pesta besar-besaran, Mpu Bahula hidup serumah dengan Ratna Manggali di rumah Calon Arang. Suatu ketika, sesuai rencana semula yang telah ditugaskan Mpu Baradah, maka Mpu Bahula berhasil mengetahui penyimpanan buku sihir milik Calon Arang. Mpu Bahula lalu mencuri buku sihir itu dan menyerahkan kepada Mpu Baradah. Selanjutnya sudah dapat ditebak, pada pertempuran antara Mpu Baradah dan Calon Arang, maka si perempuan yang tadinya sakti itu berhasil dikalahkan.

Walaupun demikian, Vernika meragukan bahwa pemimpin perempuan gagah perkasa bagaikan raksasi yang disebut pada bait ke-26 Prasasti Pucangan adalah Calon Arang. Vernika mengacu pada penelitian yang pernah dilakukan, antara lain oleh Prof. Dr. Hariani Santiko, yang menyebutkan bahwa nama Mpu Baradah baru muncul pada prasasti dari Raja Kertanegara, yang berarti baru ada sekitar 200 tahun lebih dari masa pemerintahan Raja Airlangga. Demikian pula upacara Durga-puja yang dilakukan Calon Arang, belum ada pada masa pemerintahan Airlangga.

Jadi siapa dia sebenarnya? “Itu untuk raja perempuan, tetapi belum teridentifikasi,” jelas Dr. Titi Surti Nastiti, epigraf yang bekerja di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Berarti tokoh itu masih misteri, tetapi paling tidak membuktikan bahwa di masa lalu pun sudah ada perempuan hebat di bumi Indonesia, yang gagah perkasa dan mempunyai kekuatan bagaikan seorang raksasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun