Bagi para pencinta sastra Indonesia, nama Noorca Marendra Masardi pasti sudah tak asing lagi. Lahir di Subang, Jawa Barat, pada 28 Februari 1954, Noorca bisa dibilang penulis komplet. Sastrawan, wartawan, penulis skenario, sampai sutradara dan aktor. Sempat tinggal beberapa tahun di Prancis, tak heran selain Bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang dikuasainya, Noorca juga cukup fasih berbahasa Prancis.
Kini, pengarang yang pernah menerima Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah RI tersebut menerbitkan kembali bukunya yang terbaru. Berjudul “Hai Aku Sent To You”, ini merupakan kumpulan puisi tradisional Jepang yang dikenal dengan nama Haiku. Bentuk puisi ini disebut-sebut sebagai bentuk puisi paling penting di Jepang.
Angka penting dalam Haiku adalah 5-7-5, karene Haiku merupakan sajak yang memiliki 17 suku kata terbagi dalam tiga baris dengan tiap baris terdiri dari 5, 7, dan 5 suku kata. Adanya batasan seperti itu membuat banyak penulis puisi merasa terlalu terikat, dan tak sedikit yang merasa cukup sulit untuk membuat puisi dengan gaya Haiku yang mulai dikenal pada 1890-an melalui sastrawan jepang, Masaoka Shiki.
Tetapi Noorca membuktikan sebaliknya dalam membuat puisi bergaya Haiku dalam Bahasa Indonesia. Menurut Noorca, Bahasa Indonesia sesungguhnya begitu luwes, lincah, dan licin, sehingga dapat memasuki wilayah apa pun. Walaupun aturannya ketat, Haiku ternyata dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia, tanpa meninggalkan hakikatnya sebagai puisi.
Sembilan Catatan
Sebagai sastrawan, Noorca memang termasuk yang rajin menerbitkan karya-karyanya, sehingga dapat dibaca oleh masyarakat luas. Namun dia mempunyai catatan tersendiri tentang pengarang Indonesia masa kini yang dibagikannya dalam salah satu group Whatsapp yang diikutinya. “Nikmat, berkah, dan anugerah bagi pengarang Indonesia masa kini,” demikian tulisnya.
Paling tidak, menurut Noorca, ada sembilan butir catatan yang diungkapkannya. Pertama, menulis sendiri. Kedua, mencari penerbit sendiri atau mencetak sendiri bukunya. Ketiga, mempromosikan karyanya dengan biaya sendiri. Keempat, mencari calon pembeli sendiri. Kelima, berjualan sendiri. Keenam, laku atau tak laku bukunya ditanggung sendiri. Ketujuh, karena itu bebas sedih atau bahagia atau tertawa sendiri. Kedelapan, “alhamdulillah masih bisa melalui semua itu sendiri”. Kesembilan yang tak kalah pentingnya, “didukung anak, istri, suami, cucu sendiri”.
Sembilan butir catatan yang memang terasa sekali mengena bagi banyak pengarang dan penulis, baik fiksi maupun non fiksi, Indonesia saat ini. Tidak mudah “menembus” penerbit-penerbit besar, sehingga banyak yang akhirnya menerbitkan secara independen. Kalau nama besar seperti Noorca mungkin tak terlalu sulit mencari penerbit buku yang bersedia menerbitkan karyanya, tapi pengarang-pengarang lain, terpaksa harus berupaya sedemikian rupa sehingga karyanya dicetak dan berhasil dipasarkan.
Contoh menarik mungkin bisa dilihat dari upaya Herman Suryadi. Berprofesi sebagai guru dan juga Pelatih Pembina Pramuka di Bengkulu, dia berhasil mengajak para guru di provinsinya untuk menerbitkan buku karya fiksi, baik berupa kumpulan puisi maupun kumpulan cerita pendek (cerpen). Herman Suryadi menyadari, menerbitkan karya sendiri tidaklah mudah. Bukan semata-mata karena harus mengumpulkan karya yang cukup banyak untuk diterbitkan menjadi satu buku, tetapi juga karena biaya penerbitan yang cukup besar.
Maka, dia lalu berinisiaitf membuat kumpulan puisi dan kumpulan cerpen. Temanya macam-macam, namun karena dia berdomisili di Bengkulu, dia pun mengajak guru-guru di Bengkulu membuat puisi atau cerpen dengan tema provinsi tersebut. Bahkan bukan hanya mengenai Provinsi Bengkulu, tetapi setiap kabupaten di Bengkulu juga diusahakan diterbitkan kumpulan puisinya.