Baden-Powell yang bernama lengkap Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, adalah pendiri dan penggagas gerakan pendidikan bagi kaum muda yang disebut Scouting (kepanduan), dan atas jasa-jasanya itu, Baden-Powell secara aklamasi diangkat sebagai Chief Scout of the World atau Bapak Pandu Sedunia. Itulah sebabnya setiap tanggal kelahirannya, 22 Februari diperingati sebagai Hari Baden-Powell di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tapi tahukah Anda, bahwa Baden-Powell pernah dikucilkan di Indonesia?
Dilahirkan di London, Inggris, pada 22 Februari 1857, Baden-Powell merupakan anak ketujuh dari pasangan Reverend HG Baden Powell, seorang guru besar Universitas Oxford dan istrinya, Henrietta Grace Smyth. Baden-Powell muda yang sempat dikenal dengan panggil Steph atau Stephe itu sejak kecil memang menyukai petualangan di alam terbuka bersama kakak-kakaknya.
Dia kemudian masuk sebagai prajurit Kerajaan Inggris dan memulai karier kemiliterannya saat ditugaskan di India pada 1876. Dari India, Baden-Powell bertugas berpindah-pindah sampai ke Afrika Selatan. Di Mafeking, Afrika Selatan itulah namanya menjadi terkenal, setelah dia berhasil mempertahankan wilayah itu selama 217 hari dari serangan musuh, sebelum bala bantuan tiba. Keberanian dan kegagahan itulah yang membuatnya menjadi pahlawan bagi bangsa Inggris.
Namun setelah kembali ke Inggris pada 1903, dia justru lebih tertarik melihat kenyataan bahwa buku Aids to Scouting yang disusunnya sebagai pedoman untuk prajurit-prajurit muda, disukai juga oleh para guru dan pemimpin kelompok kaum muda di sana. Sementara di sisi lain, Baden-Powell juga prihatin bahwa makin banyak anak jalanan di London dan sekitarnya yang menimbulkan masalah sosial. Inilah yang membuat perhatian Baden-Powell berubah, dari cara pandang seorang komandan militer, menjadi cara pandang seorang pendidik.
Sesuai saran Sir William Smith, pendiri organisasi ke Boys’ Brigade, suatu organisasi kaum muda Kristen, Baden-Powell dianjurkan untuk memanfaatkan buku Aids to Scouting, dengan membuat skema pelatihan yang lebih bervariasi bagi anak-anak muda agar menjadi warganegara yang berguna. Baden-Powell kemudian memulai menulis ulang Aids to Scouting, kali ini lebih ditujukan kepada pembaca usia muda. Sebelumnya, dia mengajak 22 anak dan remaja putera yang berusia sekitar 13-14 tahun dari sekolah-sekolah umum dan beberapa dari mereka juga merupakan anggota Boys’ Brigade.
Anak-anak itu diajaknya berkemah selama 8 hari mulai 1 Agustus 1907 di Pulau Brownsea, Dorset, yang tak terlalu jauh dari London. Di sana mereka belajar hidup di alam terbuka, bermain bersama, dan sekaligus belajar hidup mandiri. Sepulang dari perkemahan itu, Baden-Powell mulai memasukkan catatan-catatan yang dibuatnya selama berkemah digabungkan dengan isi buku Aids to Scouting. Hasilnya, serial berjudul Scouting for Boys, yang terbit enam kali penerbitan mulai Januari 1908. Itulah awal mula lahirnya Scouting movement atau gerakan kepanduan, yang kini telah ada di 165 negara dan teritori di seluruh dunia.
Indonesia Terbanyak
Bila awalnya hanya 22 anak dan remaja yang mengikuti kegiatan Scouting gagasan Baden-Powell, maka kini jumlah anggota yang terdaftar di World Organization of the Scout Movement (WOSM), yang merupakan induk dari seluruh organisasi nasional gerakan kepanduan di dunia, tercatat lebih dari 40 juta orang. Dari jumlah itu, setengahnya atau lebih dari 20 juta anggota merupakan anggota Gerakan Pramuka. Ini berarti organisasi nasional gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia memiliki jumlah anggota terbanyak dibandingkan organisasi lain di dalam WOSM.
Di Indonesia sendiri, kehadiran Scouting dimulai pada pertengahan 1912. Saat itu, seorang pegawai jawatan meteorologi Belanda, P Joh Smits, yang membawanya ke Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia-Belanda, dan memulainya dengan membentuk satu kelompok Pandu di Batavia (sekarang Jakarta). Sewaktu masih di Belanda, Joh Smits – ada yang menyebutnya juga Johan atau Johannes Smits – memang telah aktif dalam kepanduan di negaranya.
Gerakan itu berkembang demikian pesatnya, dan puluhan organisasi kepanduan tumbuh di Indonesia. Mulai yang berlatar belakang kebangsaan, agama, sukubangsa, dan lainnya. Bahkan ketika penjajahan Jepang dan awal Kemerdekaan Republik Indonesia yang ditandai dengan masa revolusi fisik, gerakan kepanduan tetap ada.
Semuanya tetap berpatokan dengan mengikuti prinsip-prinsip kepanduan seperti yang digagas oleh Baden-Powell. Apalagi atas jasa-jasa menggagas dan mendirikan gerakan kepanduan tersebut, Baden-Powell juga telah diangkat secara aklamasi sebagai Bapak Pandu Sedunia, yang dalam Bahasa Inggris disebut Chief Scouts of the World. Itulah sebabnya, setiap tanggal kelahirannya pada 22 Februari selalu diperingati dengan berbagai acara untuk mengenang jasa-jasa Baden-Powell.
Condong ke “Kiri”
Namun di Indonesia semuanya berubah menjelang akhir 1950-an dan awal 1960-an. Saat itu, arah pemerintahan lebih condong ke “kiri”, bahkan disebut-sebut dalam sejarah, hendak membuat poros Indonesia-Tiongkok-Sovyet, dua negara besar yang beraliran komunisme. Ketika Presiden Soekarno hendak menyatukan berpuluh-puluh organisasi kepanduan yang ada pada akhir 1950-an itu, maksud sebenarnya adalah baik. Agar gerakan kepanduan tidak terpecah-pecah, dan kegiatannya dilaksanakan di bawah satu komando saja.
Celakanya, karena begitu kuatnya pengaruh komunisme, sampai-sampai gerakan kepanduan ingin diarahkan oleh sekelompok orang menjadi seperti gerakan kaum muda di negara-negara komunis. Apalagi semangat anti-Barat semakin menggema, seperti slogan yang sempat populer “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”.
Sampai-sampai Baden-Powell dan jasa-jasanya pun dikucilkan dari Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sebagai kekuasaan tertinggi di Tanah Air, mengeluarkan Ketetapan MPRS Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yang dalam lampirannya antara lain berisikan “supaya kepanduan dibebaskan dari sisa-sisa Baden Powellisme”.
Selain menyingkirkan nama Baden-Powell dari gerakan kepanduan di Indonesia dengan antara lain tidak lagi merayakan peringatan Hari Baden-Powell setiap 22 Februari, segala hal yang terkait dengan diri tokoh dari Inggris juga diusahakan dihilangkan. Termasuk penggunaan setangan leher khusus dan pengalungan manik kayu bagi Pembina Pandu atau Pramuka yang telah menyelesaikan kursus pembinanya.
Manik Kayu
Dari catatan sejarah yang ada, karena pendidikan dalam kepanduan adalah pendidikan yang khas dan berbeda dengan pendidikan formal di sekolah, maupun pendidikan informal di lingkungan masyarakat, serta sebanyak mungkin diadakan di alam terbuka, maka perlu suatu pelatihan dan pendidikan khusus bagi orang dewasa yang ingin menjadi pendidik bagi kaum muda dalam gerakan kepanduan tersebut.
Sistem pendidikan bagi orang dewasa di dalam gerakan kepanduan dimulai dengan suatu pelatihan bagi orang dewasa, agar mereka mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mendidik kaum muda yang bergabung dalam gerakan kepanduan. Salah satunya melalui pelatihan yang secara internasional dikenal dengan nama Kursus Wood Badge (Manik Kayu).
Wood Badge adalah program kepemimpinan berbentuk kursus yang bertujuan untuk menjadikan Pembina Pandu atau Pramuka lebih baik, dengan mendidik keterampilan kepemimpinan yang mendalam, dan dengan menciptakan keterikatan dan komitmen pada gerakan kepanduan. Kursus tersebut pertama diadakan di Gilwell Park pada September 1919, dengan narasumbernya adalah Baden-Powell sendiri dan sejumlah pemimpin awal kepanduan di Inggris.
Setiap peserta yang telah menyelesaikan kursus, termasuk berhasil melaksanakan “tiket” berupa implementasi hasil kursus, akan mendapatkan kalung dengan dua butir manik kayu, setangan leher tartan, dan pengikat setangan leher Turk. Penggunaan atribut itulah yang sempat dihilangkan di Indonesia, karena dianggap erat kaitannya dengan Baden-Powell. Bahkan Indonesia juga menyatakan tidak aktif – ungkapan halus dari kata “keluar” – dari kegiatan WOSM.
Kembali Bergabung
Untunglah sejumlah tokoh dan pimpinan Pandu di Indonesia, di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Azis Saleh, dan Husein Mutahar, dan termasuk juga Djuanda yang sempat beberapa kali ditunju vmenjadi Pejabat Presiden RI bila Presiden Soekarno sedang ke luar negeri, bertindak cepat. Mereka berhasil “mematahkan” usaha golongan komunis yang ingin membawa kepanduan menjadi semacam organisasi kaum muda di negara-negara komunis.
Gerakan Pramuka yang menjadi satu-satunya wadah gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia setelah menyatukan berbagai puluhan organisasi kepanduan sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Presiden No.238 Tahun 1961, akhirnya berhasil tetap di “jalan yang benar”. Walau pun selama masa-masa awal berdirinya hal ini tidaklah mudah, karena pengaruh komunisme masih mencengkeram cukup kuat di berbagai lini pemerintahan.
Barulah pada 1967, Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka yang merupakan induk organisasi kepanduan di Indonesia mengeluarkan surat pernyataan tertanggal 17 Maret 1967. Surat itu dibuat berlandaskan Ketetapan MPRS No XII/MPRS/1966 tentang penegasan kebijaksanaan politik luar negeri RI. Maka Kwarnas segera mengadakan hubungan kembali dengan WOSM maupun organisasi-organisasi nasional kepanduan negara-negara sahabat.
WOSM kemudian mengutus Komisioner Eksekutif Biro Kepanduan Regional Asia-Pasifik yang waktu itu masih bernama Far East Region (Regional Timur Jauh), GR Padolina, ke Indonesia selama lima hari, 14 sampai 18 Oktober 1967. Pada 17 Oktober 1967, diadakan upacara pengibaran bendera di halaman Kwarnas di Jalan Medan Merdeka Timur 6, Jakarta.
Setelah menaikkan bendera Merah Putih, maka dinaikkan pula bendera Gerakan Pramuka yang bergambar siluet Tunas Kelapa dan bendera WOSM secara bersama-sama. Resmilah Indonesia kembali bergabung dalam gerakan kepanduan sedunia.
Sejak saat itu, Baden-Powell yang benar-benar pernah datang ke Indonesia pada 1934, kini kembali “datang” lagi. Bapak Pandu Sedunia tidak lagi dikucilkan di Indonesia, meski pun penggunaan atribut manik kayu dan kelengkapannya masih cukup lama tertunda, dan baru diresmikan oleh Kwarnas sejak tahun lalu, pada penyelenggaraan Jambore Nasional X-2016.
Paling tidak, acara peringatan Hari Baden-Powell setiap 22 Februari sudah diadakan kembali. Selama sehari itu, para anggota Gerakan Pramuka diajak untuk mengenang jasa-jasa Baden-Powell dan berusaha mewujudkan dalam sikap dan perilaku untuk berbuat kebaikan dan sebagaimana slogan WOSM saat ini,“Scouts, creating a Better World”, para Pramuka berusaha menjadikan dunia lebih baik.
Selamat Hari Baden-Powell.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H