Pada 27 Desember 1949 resmi berdiri Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebenarnya KMB sendiri telah dilakukan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus sampai 2 November 1949. Namun karena masih harus menyelesaikan beberapa hal, maka RIS baru berdiri 27 Desember 1949. Kalau tidak salah, inilah alasannya sampai dua dasawarsa lalu, pihak Belanda masih menganggap bahwa Republik Indonesia baru berdiri pada tahun 1949.
Ada hal menarik juga tentang keberadaan kartu tanda anggota yang kini menjadi koleksi Kak Djoko. Dalam buku Patah Tumbuh Hilang Berganti: 75 Tahun Kepanduan dan Kepramukaan terbitan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (Jakarta, 1987) disebutkan antara lain, “Pimpinan NIPV G.J. Ranneft berusaha pula membangun kembali kepanduan di Bandung, dengan mengadakan Centraal Padvinders Kantoor (CPVK). Pasukan Belanda dan Tionghwa mulai menggabungkan diri dalam CPVK, yang kemudian dijadikan Perserikatan Pandu-pandu (PPP)”.
Selain salah ketik CPVK yang seharusnya Centraal Padvinders Vereeniging Kantoor bukan Centraal Padvinders Kantoor saja, keberadaan kartu tanda anggota itu membuktikan bahwa selain pandu-pandu Belanda dan Tionghoa, ada juga pandu keturunan Arab yang ikut bergabung.
Sebenarnya ini bukan hal aneh, karena sewaktu NIPV mengirimkan kontingen Pandu Hindia-Belanda ke Jambore Kepanduan Sedunia V di Vogelenzang, Belanda, pada 1937, kontingen yang berangkat juga terdiri dari gabungan pandu dari segala bangsa. Ada Pandu Belanda, Tionghoa, Arab, dan juga para Pandu bumiputera, terutama yang berasal dari Jawa dan Ambon (baca juga "The Last Boy Scout" Menuju Jambore Kepanduan Sedunia Tahun 1937: http://www.kompasiana.com/bertysinaulan/).
Bayar Iuran
Kak Djoko juga sempat meng-close up adanya semacam meterai tanda bayar iuran. Oleh sang pemilik koleksi dituliskan, “... bahkan kartu anggota ini dilegitimasi secara international. Alat legitimasi berupa materai yang dikeluarkan oleh international Boy Scout bureau”. Saya mencoba menganalisis, sebenarnya yang mengeluarkan atau menerbitkan sejenis meterai itu adalah NIPV atau kemudian dikenal dengan nama PPP sendiri. Hanya memang penerbitan meterai itu diakui keberadaannya oleh biro organisasi kepanduan sedunia yang dulu bernama International Boy Scout(IBS), namun sekarang lebih dikenal dengan nama World Organization of the Scout Movement (WOSM).
Ada kekhawatiran bila semua dibebaskan dan tak perlu bayar iuran, akhirnya organisasi dianggap remeh dan mau hadir atau tidak dalam latihan kepanduan pun, tentu tak masalah. Hari ini masuk, besok ke luar, minggu depan masuk lagi, dan seterusnya. Sedangkan kalau membayar iuran, tentu merasa rugi kalau tak hadir dalam latihan.
Memang, dewasa ini ada persoalan karena dikabarkan diterbitkan edaran yang melarang sekolah memungut iuran Pramuka. Tetapi yang harus dimengerti, sebenarnya Gugus Depan Pramuka tempat anggota berkumpul yang ada di sekolah itu, hanya pangkalannya saja yang berada di lingkungan sekolah. Pangkalan Gugus Depan bisa di mana saja, bisa di sekolah, bisa di rumah Pak RW, bisa di lingkungan masjid, gereja, komplek perumahan, dan sebagainya. Jadi kalau ada pungutan iuran, yang memungut bukan pihak sekolah, tetapi pihak Gugus Depan, meski pun bisa saja Pembina Pramuka juga adalah guru di sekolah setempat dibantu Pembina-pembina Pramuka lainnya.
Intinya, dengan membayar iuran, seseorang dilatih untuk menghargai organisasi, apalagi sebagaimana biasanya sebagian besar dari uang iurannya itu juga akan dikembalikan kepada para anggota dalam bentuk latihan maupun kegiatan lainnya.
Paling tidak dari koleksi Kak Djoko ini kita jadi dapat melihat bukti sejarah penting dari sebuah kartu tanda anggota. Koleksi yang kalau dikembangkan bisa menjadi suatu museum, tempat kita bisa belajar sejarah kepanduan di dunia dan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H