Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Dr. Hilmar Farid, menyambut baik upaya yang dilakukan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dalam membantu pengembangan berbagai aspek pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di Indonesia. Hilmar Farid juga mendukung upaya IAAI untuk menyatukan langkah organisasi-organisasi profesi pelestari cagar budaya, seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), dan IAAI sendiri.
Hal tersebut dikemukakan Dirjenbud saat Pengurus Pusat IAAI yang dipimpin Junus Satrio Atmodjo sebagai Ketua Umum mengadakan pertemuan di ruang Dirjenbud di Komplek Kemdikbud Senayan, Jakarta, pada Senin, 13 Februari 2017 pagi. Ikut dalam rombongan IAAI adalah anggota Dewan Kehormatan Wiwin Djuwita Ramelan, Ketua Harian Berthold Sinaulan, Sekretaris Candrian Attahiyyat, Bendahara Lien Dwiari Ratnawati, dan Ketua Komisariat Daerah Jabodetabek Titi Surti Nastiti.
Dalam pertemuan tersebut, IAAI menjelaskan posisi organisasi profesi bagi arkeolog itu sebagai mitra pemerintah dan sumbangan organisasi pada penyusunan kebijakan pemerintah, seperti yang sekarang sedang disiapkan, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebudayaan. Di samping itu, IAAI juga mengajak organisasi profesi pelestari cagar budaya, MSI, AAI, dan IAI, untuk mengembangkan bersama etika pelestarian.
Di samping itu, juga kemungkinan adanya konsorsium pelestarian cagar budaya yang terdiri dari para organisasi profesi bersama instansi dan lembaga pemerintah terkait. Seperti Kemdikbud, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pariwisata, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Satuan Karya Pramuka
Pengurus Pusat IAAI juga melaporkan kemungkinan organisasi profesi tersebut dapat terlibat dalam kegiatan Satuan Karya (Saka) Widya Bakti Budaya, suatu kegiatan peminatan bagi Pramuka Penegak (16-20 tahun) dan Pramuka Pandega (21-25 tahun), yang merupakan kerja sama antara Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dengan Kemdikbud.
Di dalam Saka tersebut, terdapat sejumlah aktivitas yang berkaitan dengan cagar budaya dan permuseuman. Sebagai organisasi profesi yang banyak terlibat dalam aktivitas cagar budaya dan permuseuman, IAAI merasa senang bila dapat dilibatkan memberikan modul dan materi kegiatan untuk para Pramuka yang tergabung dalam Saka Widya Bakti Budaya. Suatu usulan yang disambut gembira oleh Dirjenbud.
Hal lainnya yang disampaikan Junus Satrio adalah rencana pelaksanaan Kongres IAAI yang akan diadakan di Bogor, Jawa Barat, pada 25-28 Juli 2017. Kongres adalah acara rutin setiap tiga tahun sekali. Di dalamnya, selain pemilihan ketua umum baru, juga ada Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA). Sebagaimana namanya, PIA adalah pertemuan ilmiah yang memberikan kesempatan kepada para anggota IAAI untuk menyajikan makalah ilmiah masing-masing.
Perguruan-perguruan tinggi itulah yang menghasilkan Sarjana (S-1) bidang Arkeologi , yang diawali dengan pendidikan di UI. Saat UI didirikan pada 2 Februari 1950, salah satu fakultas yang tersedia adalah Fakultas Sastra dan Filsafat. Empat jurusan dalam fakultas tersebut adalah jurusan Sastra Indonesia, Sastra Belanda, Sastra Cina, dan Arkeologi. Lulusan pertama Jurusan Arkeologi adalah Drs. R Soekmono yang kemudian dikenal sebagai Prof.Dr. R Soekmono , dan juga beberapa kali disebut-sebut sebagai “Bapak Candi Borobudur Indonesia”, atas jasanya memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur dari 1971 sampai 1983.
Lebih dari 40 Tahun
Soekmono hanya salah satu dari sekian arkeolog terkemuka di Indonesia. Selain beliau, banyak lagi nama lainnya yang patut disebut. Di antaranya, mereka yang ikut mendirikan IAAI. Rintisan organisasi ini sebenarnya telah muncul sejak 1964, ketika para ahli arkeologi mengadakan ekskavasi gabungan di situs Gilimanuk, Bali. Pada Maret 1965 gagasan tersebut diangkat lagi. Saat itu para ahli arkeologi tengah mengadakan pertemuan di Yogyakarta.
Setelah cukup lama tak dibahas, pada seminar arkeologi di Cibulan, Bogor, pada 1976, gagasan tersebut kembali diingatkan oleh seorang peserta dengan merujuk pada usulan ketua panitia seminar, Prof. Dr. RP Soejono, seorang ahli prasejarah Indonesia. Akhirnya dicapai kesepakatan membentuk kelompok kerja yang terdiri dari sebelas ahli arkeologi dari berbagai lembaga.
Mereka adalah RP Soejono (dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional), Hasan Muarif Ambary (Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional), Teguh Asmar (Direktorat Sejarah dan Purbakala), Sukatno Tw. (Direktorat Sejarah dan Purbakala), serta Hadimulyono (Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Cabang IV).
Selain itu, tercatat pula nama Ismanu Adisumarto (Kanwil Dep P dan K, Provinsi Jawa Tengah), Bambang Soemadio (Museum Pusat), Mundardjito (Universitas Indonesia), Harun Kadir (Universitas Hasanuddin), Rumbi Mulia (Dep Perhubungan, Sektor Pariwisata), dan Machfudi Mangkudilaga (Arsip Nasional).
Berarti sampai saat ini, IAAI telah berusia lebih dari 40 tahun. Suatu usia yang sudah cukup dewasa, dan tentu kita berharap dalam kedewasaannya, IAAI dapat menghasilkan aktivitas konkret dalam membantu Upaya mempertahankan dan melestarikan cagar budaya yang ada, sehingga masyarakat luas dapat tetap memahami sejarah bangsa, dan tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akarnya. Melalui berbagai aktivitas, para arkeolog yang tergabung dalam IAAI diharapkan dapat membantu agar Indonesia menjadi bangsa dan negara yang mempunyai jati diri dan kearifan budaya, sebagaimana diwariskan dari zaman ke zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H