Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

SBY, Denny Siregar, dan Dirjenbud Bicara Museum

10 Februari 2017   07:59 Diperbarui: 10 Februari 2017   08:49 2342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak depan Museum Nasional Indonesia (MNI) dengan patung Gajah-nya. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Tiga hari berturut-turut, dari 7 sampai 9 Februari 2017, kata “museum” kembali dibicarakan. Bukan orang sembarangan yang membicarakannya. Mereka adalah mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, kolomnis Denny Siregar, dan Dirjen Kebudayaan (Dirjenbud) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Hilmar Farid. Masing-masing bicara tentang museum dari pandangan mereka.

SBY berbicara dalam pidato politiknya saat Rapat Pimpinan Nasional dan Dies Natalis ke-15 Partai Demokrat, yang diadakan di Jakarta Convention Center, pada Selasa, 7 Februari 2017. Ia antara lain mengeluh bahwa nilai-nilai kesantunan yang diajarkan di sekolah seolah sudah hilang, “... Atau mungkin nilai kesantunan kita sudah masuk museum yang jarang dikunjungi," tuturnya (lengkapnya baca di sini).

Sementara, Denny Siregar pada 8 Februari 2017 mengunggah tulisan dalam kolomnya di situs web pribadinya yang berjudul “Bangsa yang Durhaka Pada Leluhurnya” (lengkapnya bisa di baca di sini). Denny Siregar antara lain menulis, “Budaya kita tersingkir di museum-museum yang bahkan jarang dikunjungi karena tidak menarik”.

Sedangkan Dirjenbud Dr. Hilmar Farid membahas mengenai museum ketika menjadi pembicara kunci pada acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017 bertajuk “Kemajemukan dan Keadilan” yang diadakan di Auditorium Museum Nasional Indonesia (MNI), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Kamis, 9 Februari 2017.

Hilmar Farid antara lain mengatakan, “Tempat seperti Museum Nasional harus menjadi pusat dari kemajemukan, tempat kita membicarakan dan memperjuangkan kebhinekaan”. Sayangnya, tambah Dirjenbud, tempat-tempat yang menjadi penanda kemajemukan seperti museum menjadi sepi, karena orang semakin sektarian, semakin mengelompok dalam primordialisme.

Arti Museum

Bagi banyak orang di Indonesia, museum memang masih sering diartikan sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno yang terkesan cenderung berupa benda-benda yang sudah usang, lusuh, dan disimpan di gedung tua yang gelap, lembab, dan membosankan. Bisa jadi kesan itu muncul ketika sampai 1990-an, saat orang berkunjung ke MNI dan museum-museum lainnya di Tanah Air.

Tampak depan Museum Nasional Indonesia (MNI) dengan patung Gajah-nya. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Tampak depan Museum Nasional Indonesia (MNI) dengan patung Gajah-nya. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Contohnya, dulu MNI. Masuk ke dalam gedung tua yang usianya sudah ratusan tahun, dengan berbagai benda kuno, dan suasana yang terkesan agak gelap dan kondisi lembab,apalagi ditambah koleksi yang dilengkapi keterangan seadanya, membuat orang jadi malas ke museum. Sementara di luar museum banyak pilihan tempat yang lebih menarik untuk dikunjungi.

Namun sejak 2000-an, museum-museum di Indonesia telah berbenah. Selain mempercantik bangunan termasuk interiornya yang kini dilengkapi dengan pendingin atau penyejuk ruangan seperti di MNI, alur ceritanya dibuat semakin menarik agar tak membosankan. Berbagai kegiatan tambahan juga semakin sering diadakan, agar museum semakin disukai dan tak lagi sepi.

Museum  memang lebih dari sekadar tempat menyimpan benda-benda kuno. Seperti disebutkan oleh International Council of Museums (ICoM), badan permuseuman internasional yang mempunyai status konsultatif di UNESCO, badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Ekonomi dan Sosial, museum adalah lembaga non-profit permanen yang melayani masyarakat dan perkembangannya, serta terbuka untuk umum. Museum mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan dan dan mengadakan pameran warisan benda dan warisan tak benda manusia dan lingkungannya, untuk tujuan pendidikan, studi, dan hiburan.

Dari definisi singkat itu juga terlihat bahwa museum bukan sekadar menyimpan benda-benda kuno yang usianya sudah ratusan tahun. Museum Angkut di kawasan Batu, Malang misalnya. Koleksinya banyak berupa alat-alat transportasi yang cukup modern, seperti mobil dan motor balap. Sedangkan Museum Layang-layang di Pondok Labu, Jakarta Selatan, mempunyai koleksi beragam macam layang-layang, mulai dari yang kuno sampai layang-layang terkini.

Tidak Betah

Sepinya museum di Indonesia memang patut dipertanyakan. Bila dilihat dari harga tiket masuk, museum-museum di Indonesia terutama yang milik pemerintah,  harga tiket masuknya umumnya terbilang amat murah. Memang, ada beberapa museum swasta yang harga tiket masuknya cukup mahal. Tapi anehnya, justru yang tiketnya mahal dari pengamatan, pengunjungnya lebih banyak. Sementara yang tiketnya murah, jarang dikunjungi.

Sejumlah pengunjung di MNI. Bagian museum ini kini sedang ditata ulang. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Sejumlah pengunjung di MNI. Bagian museum ini kini sedang ditata ulang. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Ada beberapa hal yang dapat dibahas mengenai fenomena ini. Pertama, harga tiket masuk sepadan dengan isi museum. Bukan sekadar isi berupa benda-benda koleksi yang ada, tetapi secara keseluruhan. Bentuk bangunan, pelayanan, sarana informasi, dan sebagainya. Termasuk keberadaan sarana interaktif yang tampaknya mau tidak mau kini harus selalu tersedia di museum-museum. Orang mau datang ke suatu tempat, bila dia dapat berinteraksi. Bukan hanya menonton satu benda dan pindah menonton benda berikutnya.

Kedua, suasana atau sering disebut juga “aura” museum harus membawa orang yang datang ke dalamnya, menjadi tenang, aman, dan berbahagia. Seperti ketika kecil kita yang biasa tinggal di perkotaan lalu berlibur pergi ke rumah kakek dan nenek di desa, disambut gembira dan bisa merasakan suasana pedesaan yang asri, tenang, penuh kehijauan, berbeda dengan suasana kota yang penuh polusi dan macet di mana-mana.

Ketiga, bisa jadi juga memang benar yang dikatakan Dirjenbud Dr. Hilmar Farid. Museum merupakan tempat yang menggambarkan kemajemukan, seperti di MNI misalnya. Banyak koleksi yang menggambarkan dua atau lebih agama, suku, dan ras, menyatu menghasilkan sesuatu yang indah. Manakala orang menjadi sektarian atau lebih senang bergabung dengan kelompoknya saja, maka keberadaan museum terasa aneh dan mengusik ketenangan orang tersebut. Cara terbaik bagi orang seperti itu adalah menghindari museum.

Harus Ada “Kasus”?

Di luar itu, yang tampaknya patut dicatat, khususnya dari pernyataan SBY dan Denny Siregar, adalah kesan bahwa museum itu semacam gudang untuk menyimpan sesuatu atau menyingkirkan barang yang saat ini dianggap sudah tak perlu, tetapi masih merasa sayang untuk dibuang. Menyimpan “kesantunan” dan menyingkirkan “budaya kita” ke dalam museum.

Museum tidak hanya menyimpan. Setelah dikumpulkan, dilestarikan, dan diteliti, benda-benda yang ada di dalam museum, kembali dikomunikasikan kepada masyarakat, antara lain lewat pameran-pameran dan publikasi koleksi museum. Bisa publikasi secara konvensional, dan tentu saja pada masa kini yang juga dianjurkan adalah publikasi koleksi museum dengan kekinian, sepeerti misalnya menggunakan berbagai piranti lunak yang dihubungkan dengan akses internet.

Sayangnya, publikasi tentang museum pun masih kurang diminati. Pengalaman beberapa teman yang menulis tentang museum di Kompasiana misalnya, jumlah pembacanya terbatas. Walau pun telah dijadikan tulisan “Pilihan” dan bahkan “Headline”, untuk menembus angka 1.000 kali dibaca saja sangat sulit.

Agaknya dari pengamatan, yang sukses meraih banyak pembaca adalah tulisan tentang museum kalau dikaitkan dengan “kasus”, seperti tulisan berjudul “Berita Bohong, Tak Ada Pameran Budaya Arab di Museum Nasional” yang bisa dibaca di sini. Cepat sekali mencapai angka hampir 19.000 kali dibaca.

Lalu, apakah harus ada “kasus” dulu baru museum bisa ramai kembali?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun