Sementara ragam hias seperti yang terdapat pada pintu dan atap pintu masuk utama, Tjut Nyak Kusmiati menyebut bahwa ukiran-ukiran timbul berbentuk sulur-sulur gelung dengan untaian bunga dan daun-daunan, seperti dikatakan F de Haan merupakan pola hias Bali yang telah mendapat pengaruh Belanda. Pola hias semacam itu juga dapat ditemukan pada pintu-pintu bangunan masa Belanda di kawasan Kotatua Jakarta, termasuk di bekas Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat.
Semuanya itu menunjukkan betapa kayanya ciri khas bangunan Masjid Angke. Benar-benar suatu contoh “kuali peleburan” dari berbagai budaya yang ada di Jakarta, Tionghoa, Arab, Belanda, Moor, Bali, dan masih banyak lagi.
Itulah yang menyebabkan Lingwa bertekad menyelamatkan keberadaan Masjid Angke. Semoga upaya ini terealisasi dengan baik, dan Jakarta tetap mempunyai bukti sejarah betapa kota ini sebagai melting pot yang menghasilkan karya-karya indah, termasuk bangunan Masjid Angke yang bersejarah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H