Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

H Mutahar, Bapak Paskibraka yang Dititipi Merah Putih oleh Bung Karno

20 Januari 2017   00:49 Diperbarui: 20 Januari 2017   12:01 6864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kak H Mutahar. (Foto: pramukainhil.blogspot.com)

Ribut-ribut soal bendera Merah Putih yang diberi tulisan berbahasa Arab, mengingatkan saya pada kumpulan foto aktivitas kepramukaan yang saya jadikan video dengan bantuan piranti lunak My Stupeflix Video beberapa hari lalu. Kumpulan foto yang saya rangkai menjadi video tersebut saya isi dengan iringan musik dan lirik dari lagu berjudul Alam Bebas.

Lagu tersebut adalah karya Husein Mutahar atau lebih sering ditulis H Mutahar saja. Bagi para Pramuka, nama tersebut sudah tidak asing lagi. Beliau adalah pencipta lagu Hymne Pramuka atau lengkapnya Hymne Satya Darma Pramuka yang menjadi lagu wajib dalam acara-acara kepramukaan di Indonesia. Bagi yang pernah mengenalnya di kalangan Pramuka, biasanya memanggil beliau dengan panggilan Kak Mut.

Pencipta banyak lagu nasional, antara lain Syukur, Hari Merdeka, Dirgahayu Indonesiaku, dan sejumlah lagu lainnya itu, dilahirkan di Semarang pada 5 Agustus 1916. Beliau meninggal dunia di Jakarta pada 9 Juni 2004. Hampir sepanjang usianya, beliau aktif di kepanduan yang kemudian menjadi Gerakan Pramuka.

Tapi bukan itu saja. Namanya juga sangat lekat pada bendera Merah Putih. Bahkan beliau bisa dikatakan penyelamat Bendera Pusaka, bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan ketika Bung Karno ditemani Bung Hatta dan sejumlah tokoh lainnya, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.

Bendera Merah Putih yang kelak dinamakan Bendera Pusaka saat pertama kali dikibarkan pada 17 Agustus 1945. (Foto: mindtalk.com)
Bendera Merah Putih yang kelak dinamakan Bendera Pusaka saat pertama kali dikibarkan pada 17 Agustus 1945. (Foto: mindtalk.com)
Ketika awal 1946, karena aksi teror pihak Belanda yang mencoba menguasai kembali Indonesia setelah Jepang menyerah kalah akibat jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta pindah ke Yogyakarta menggunakan kereta api. Saat itu, Bendera Pusaka ikut dibawa, dimasukkan ke dalam kopor milik Bung Karno.

Belakangan, Ibu Kota RI juga dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Ketika terjadi Agresi Militer II yang dilakukan Belanda pada 19 Desember 1948, menyebabkan Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah pejabat penting RI ditahan Belanda di Yogyakarta. Namun, sebelum itu Presiden Soekarno yang berada di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta, sempat memanggil salah satu ajudannya, Mayor H Mutahar. Bung Karno menitipkan Bendera Pusaka itu kepada Mutahar.

“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri. dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya,” begitu kira-kira ucapan Bung Karno kepada Mutahar.

Maka diiring doa, Mutahar pun siap memikul tugas penyelamatan Bendera Pusaka itu. Agar tidak ketahuan itu adalah bendera, maka Mutahar melepaskan sambungan benang yang menyatukan kain berwarna merah dan kain berwarna putih. Kedua kain itu kemudian dipisahkan, dan dimasukkan di sela-sela pakaian milik Mutahar sendiri.

Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. (Foto: yogyakarta.panduanwisata.id)
Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. (Foto: yogyakarta.panduanwisata.id)
Bung Karno dan Bung Hatta ditawan, kemudian diasingkan secara terpisah, walaupun kemudian disatukan juga di Bangka. Mutahar juga ikut ditahan dan dibawa ke Semarang. Dalam penahanannya, dia berhasil melarikan diri dan akhirnya berhasil pula masuk ke Jakarta. Dia kemudian sempat tinggal di rumah R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Kepolisian RI yang pertama, di Jalan Pegangsaan Timur 43, tak jauh dari rumah Bung Karno saat Proklamasi Kemerdekaan RI.

Pada Juni 1949, Mutahar mendapat informasi dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro), yang letaknya tak jauh dari Jalan Pegangsaan Timur. Bung Karno ternyata mengirim surat pada Mutahar, meminta agar Mutahar menyerahkan Bendera Pusaka itu kepada Sudjono. Selanjutnya, Sudjono akan membawanya ke Bangka, tempat Bung Karno diasingkan dan akan dibawa kembali oleh Bung Karno sendiri ke Yogyakarta.

Sudjono adalah anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia). Sesuai aturan, hanya anggota delegasi RI yang boleh berkunjung ke tempat Bung Karno di Bangka. Jadi Sudjono dapat dengan mudah menemui Bung Karno, ketimbang Mutahar yang masih dicari-cari karena melarikan diri dari tahanan sewaktu dibawa ke Semarang.

Mutahar kemudian menyatukan kembali kedua lembar kain berwarna yang telah dipisahkan, dengan meminjam mesin jahit milik istri seorang dokter. Akhirnya Bendera Pusaka siap kembali, lalu dibungkus dalam kertas koran dan diberikan kepada Sudjono, yang lalu menyerahkannya kepada Bung Karno.

Pada 6 Juli 1949, Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari Bangka ke Yogyakarta. Pada 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka itu kembali dikibarkan pada peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Setahun kemudian, setelah ibu kota RI kembali ke Jakarta, Bendera Pusaka itu pun dikibarkan lagi pada peringatan Hari Proklamasi RI 17 Agustus 1950. Atas jasanya sebagai penyelamat Bendera Pusaka, kelak Mutahar dianugerahkan Bintang Mahaputera.

Paskibraka
Keterkaitan Mutahar dengan bendera Merah Putih tidak sampai di situ. Beliau jugalah yang 'membidani' lahirnya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), yaitu gabungan putera dan puteri terbaik Indonesia, untuk mengibarkan Bendera Pusaka -dan kemudian duplikatnya– saat upacara peringatan Hari Proklamasi di Istana Negara.

Bahkan karena jasanya, beliau dikenal juga dengan sebutan “Bapak Paskibraka Indonesia”. Dan itu diawali suatu ketika menjelang peringatan pertama Hari Proklamasi Kemerdekaan RI. Saat itu, ibu kota RI sudah dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, dan Bung Karno yang ada di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta, memanggil ajudannya, Mayor Mutahar.

Barisan Paskibraka. (Foto: kidnesia.com)
Barisan Paskibraka. (Foto: kidnesia.com)
Dia diberi tugas untuk menyusun dan melaksanakan acara peringatan tersebut. Dia lalu memilih lima orang putera dan puteri, yang berasal dari daerah yang berbeda dan sedang berada di Yogyakarta. Angka lima yang dipilihnya adalah untuk mengingatkan pada Pancasila. Mereka itulah yang diberi tugas mengibarkan Bendera Pusaka. Inilah cikal bakal lahirnya Paskibraka di kemudian hari.

Saat 5 Agustus 1966, Mutahar ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) di Departemen Pendidikan & Kebudayaan (P&K), dia teringat pada gagasannya membentuk tim untuk mengibarkan Bendera Pusaka yang dilakukannya pada 1946. Kantor Direktorat Jenderal Udaka berada di Jalan Medan Merdeka Timur No.14, Jakarta, di depan Stasiun Kereta Api Gambir. Dan alamat itu tak jauh, bahkan bisa dibilang sangat dekat, dengan gedung Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka di Jalan Medan Merdeka Timur No. 6, Jakarta, yang telah digunakan oleh Kwarnas sejak masa awal berdirinya gerakan pendidikan itu pada 1960-an.

Mutahar lalu mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang kemudian diberi nama 'Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila'. Latihan itu sempat diuji coba dua kali, 1966 dan 1967. Kurikulum uji coba Pasukan Penggerek Bendera Pusaka dimasukkan dalam latihan itu pada 1967 dengan peserta dari Pramuka Penegak (16-20 tahun) dari beberapa gugus depan yang ada di DKI Jakarta.

Pada tahun itu juga, Mutahar dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai pendapat dan menangani masalah pengibaran Bendera Pusaka. Dari situlah, berkembang lagi gagasannya membentuk pasukan pengibar Bendera Pusaka yang terdiri dari putera dan puteri dari seluruh Indonesia. Bahkan Mutahar juga ikut terlibat dalam pembuatan duplikat Bendera Pusaka. Duplikat tersebut bukan hanya untuk dikibarkan di Istana Negara di Jakarta, tetapi juga dikirimkan ke semua ibu kota provinsi di Tanah Air.

Nasionalis Tulen
Begitulah, entah kebetulan atau tidak, ketika baru saja selesai membuat kumpulan foto dari teman-teman Indonesia Scout Journalist (komunitas yang terdiri dari Pramuka yang senang jurnalistik dan jurnalis atau pewarta yang senang kegiatan kepramukaan) menjadi video dengan iringan lagu Alam Bebas ciptaan H Mutahar atau Kak Mut, tersiar kasus penghinaan terhadap bendera Merah Putih.

Peristiwa tersebut membuat saya membuka-buka kembali sejarah Bendera Pusaka sejak dikibarkan pertama kali di tiang bambu di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945, dan menemukan kembali nama Kak Mut sebagai penyelamat Bendera Pusaka, lalu kemudian juga menjadi “Bapak Paskibraka Indonesia”, dan ikut serta mengurus pembuatan duplikat Bendera Pusaka.

Bahkan, ketika membuka-buka kembali sejarah Bendera Pusaka dan meng-googling-nya, ternyata Kak Mut juga seorang Sayyid atau Habib, seorang yang sangat dihormati (lengkapnya baca di sini). Selain religius, sejak muda Kak Mut juga seorang nasionalis tulen dan anti komunis. Jiwa patriotisme telah terbukti dalam banyak kesempatan. Bukan hanya itu. Kak Mut juga seorang yang sangat menghargai perbedaan, sikap toleransinya terlihat jelas, seperti pada setiap kegiatan kepramukaan. Kepada siapa pun, apa pun latar belakangnya, beliau tetap ramah.

Dalam kariernya, selain sebagai prajurit Angkatan Laut yang pernah menjadi Sekretaris Panglima Angkatan Laut, beliau pernah pula ditempatkan di berbagai bidang pemerintahan. Termasuk menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh RI untuk Tahta Suci Vatikan antara 1969 sampai 1973. Sebelum pensiun di pemerintahan, Kak Mut juga pernah menjadi Pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri RI.

Kak Mut, contoh dan teladan bagi Pramuka dan bagi semua masyarakat Indonesia, untuk lebih mencintai dan menghargai bendera Merah Putih, sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun