Film-film dengan tema Pramuka tidak banyak diproduksi di Indonesia. Bisa jadi karena produser dan sutradara film di Tanah Air mengira segmen penontonnya terlalu sempit. Padahal kalau dihitung dari jumlah anggota Gerakan Pramuka saat ini yang mencapai 20 juta, bila hanya 10 persen saja yang menonton film, jumlahnya telah mencapai angka 2 juta.
Tapi kenapa sedikit film dengan tema Pramuka? Sekadar catatan, sejak 2011 sampai sekarang baru ada empat film nasional dengan tema Pramuka. Keempat film itu adalah Lima Elang yang disutradarai Rudi Soedjarwo dan dirilis pada 2011, lalu Hasduk Berpola garapan Harris Nizam pada 2013, selanjutnya Laskar Semut Merah yang disutradarai Revo dan dirilis pada 2014, dan terbaru adalah Ayu Anak Titipan Surga garapan sutradara Guntoro Sulung pada awal 2017.
Selain asumsi yang tak tepat bahwa segmen penontonnya terlalu sempit, ada juga kecenderungan bahwa Pramuka dianggap kurang menarik, kurang gaul, hanya merupakan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Tidak banyak yang bisa diangkat menjadi film menarik.
Tampaknya ada kesalahpahaman di kalangan masyarakat luas, yang menganggap bahwa Pramuka hanya kegiatan ekstrakurikuler sekolah semata dan kalau pun ada kegiatan di alam terbuka, kegiatannya serba tanggung. Ada juga yang menganggap Pramuka adalah aktivitas sosial yang dilakukan anak-anak dan remaja.
Kalau saja ada penulis skenario yang jeli dan sutradara yang mumpuni, film dengan tema Pramuka sebenarnya bisa menjadi film menarik yang ditonton banyak orang. Bukan hanya dari kalangan Pramuka saja, tetapi dari seluruh lapisan masyarakat. Pertanyaannya, kenapa dari keempat film tema Pramuka yang telah disebutkan, tak ada satu pun yang bisa menembus jumlah penonton yang cukup tinggi?
Pada film Lima Elang, walaupun yang menggarap skenarionya adalah penulis skenario terkenal, Salman Aristo, dan sutradaranya Rudi Soedjarwo yang sukses dengan Ada Apa dengan Cinta (rilis 2002), tetapi dapat dikatakan film itu keluar pada masa yang salah. Tahun 2011, saat rilisnya Lima Elang, termasuk tahun paling suram dalam dunia perfilman Indonesia. Kalau tahun-tahun lainnya jumlah penonton film Indonesia masih di atas 1 juta orang untuk tiap filmnya, maka pada 2011 film yang paling laris pun, Surat Kecil untuk Tuhan (SkuT) yang disutradarai Harris Nizam, hanya meraih sekitar 750.000 penonton. Jangan bandingkan pula dengan film Indonesia terlaris, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang rilis tahun lalu (2016) dan mencapai di atas 6 juta penonton.
Harris Nizam yang sukses dengan SkuT sebagai pemuncak film terlaris di 2011, saat menyutradarai Hasduk Berpola, bahkan tidak masuk 15 besar film terlaris pada 2013. Pada tahun itu, di posisi ke-15 adalah film Air Terjun Pengantin Phuket dengan jumlah penonton sedikit di atas 200.000 orang. Uniknya para pemeran Lima Elang, sesudah film Pramuka ditayangkan, justru sukses dalam karier mereka sebagai kelompok penyanyi, dan bahkan dibuatkan filmnya, Coboy Junior The Movie, mengambil nama kelompok mereka. Film dari kelompok Coboy Junior yang rilis 2013 itu berhasil masuk deretan film terlaris ke-5 pada tahun tersebut, dengan jumlah penonton mencapai hampir 700.000 orang.
Hal serupa terjadi pada film Laskar Semut Merah. Pada 2014 saat film itu dirilis, yang menjadi film terlaris adalah Comic 8 dengan jumlah penonton sekitar 1,6 juta. Disusul oleh The Raid 2: Berandal yang mencapai sekitar 1,4 juta penonton. Setelah itu, film-film lainnya di bawah angka 1 juta penonton. Film di posisi ke-15 adalah Kamar 207 dengan sedikit di atas angka 300.000 penonton. Sedangkan Laskar Semut Merah tidak masuk dalam daftar 15 film terlaris pada 2014.