Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan "Kurpik", Contoh Kasus Uang NKRI

22 Desember 2016   22:51 Diperbarui: 22 Desember 2016   23:19 2222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurpik”, mungkin istilah ini belum begitu dikenal, tetapi sebenarnya “kurpik” adalah singkatan dari “kurang piknik”. Istilah untuk menggambarkan orang yang demikian cepat atau seenaknya berkomentar tentang sesuatu hal, namun sebenarnya dia kurang mengerti apa yang dikomentarinya. Seperti orang kurang piknik, kurang jalan-jalan. Bisa juga dibilang seperti ungkapan “bagai katak dalam tempurung”.

Tahunya hanya sedikit yang ada di dalam tempurung saja, padahal di luar tempurung masih ada dunia yang terbentang luas. Namun akibat “kurpik”, jadi seenaknya berkomentar. Seolah-olah paling tahu.

Yuan (Renminbi) Tiongkok yang hanya bergambar satu tokoh saja. (Foto: Wall Street Journal)
Yuan (Renminbi) Tiongkok yang hanya bergambar satu tokoh saja. (Foto: Wall Street Journal)
Perilaku “kurpik” itu juga tampak ketika Pemerintah Republik Indonesia (RI) meluncurkan secara serentak uang rupiah baru emisi 2016 atau dikenal juga dengan uang Negara Kesatuan RI (NKRI) pada 19 Desember 2016. Dalam uang kertas rupiah emisi terbaru itu, tulisan “Bank Indonesia” diganti dengan tulisan “NKRI’. Memang, dua tahun lalu telah diterbitkan uang kertas rupiah dengan tulisan “NKRI”, tapi baru sebatas pecahan Rp 100.000. Sedangkan kali ini, semua pecahan uang kertas dari Rp 100.000 yang terbesar sampai Rp 1.000 yang terkecil, semuanya terdapat tulisan uang “NKRI”.

Riyal Arab Saudi. (Foto: Istimewa)
Riyal Arab Saudi. (Foto: Istimewa)
Lucunya, baru saja peluncuran itu dilakukan, dan baru saja Presiden RI, Joko Widodo, dalam sambutannya mengingatkan kalau kita cinta rupiah, maka kita tidak akan membuat dan menyebar gosip-gosip aneh dan kabar-kabar bohong tentang rupiah. “Menghina rupiah sama saja dengan menghina Indonesia,” tegas Joko Widodo, justru ada warga negara Indonesia sendiri yang sudah menyebar gosip aneh dan kabar bohong.

Seenaknya menyamakan uang NKRI dengan Yuan, satuan Renminbi, mata uang Tiongkok. Padahal jelas berbeda. Uang kertas NKRI gambar tokoh yang ditampilkan berbeda-beda, ada lelaki dan ada perempuan. Sementara Yuan Tiongkok, gambar tokohnya satu orang saja. Bahkan kalau dilihat, sebenarnya uang Tiongkok itu – kalau memang mau dimirip-miripkan – lebih dekat ke uang kertas Riyal dari Arab Saudi. Bagian depannya juga bergambar tokoh, satu orang saja. Sedangkan uang NKRI sebenarnya lebih dekat ke Dollar Kanada atau Dollar Australia yang menampilkan gambar tokoh berbeda-beda.

Dollar Kanada. (Foto: Istimewa)
Dollar Kanada. (Foto: Istimewa)
Bisa jadi yang berkomentar memang “kurpik”, bukan saja belum pernah jalan-jalan ke Tiongkok, Arab Saudi, Kanada, dan Australia, tetapi juga belum pernah melihat bentuk uang kertas dari negara-negara itu secara jelas. Padahal, dengan mesin pencari seperti Google misalnya, akan mudah didapat gambar-gambar uang kertas yang ada di dunia.

Dollar Australia. (Foto: Istimewa)
Dollar Australia. (Foto: Istimewa)
Soal uang NKRI ini juga ada lagi yang “kurpik”. Seolah memelas, mengatakan “tiada Pahlawan Imam Bonjol lagi di dompet kami”. Merujuk kepada uang kertas Rp 5.000 yang bergambar Imam Bonjol, dan dalam emisi 206 uang NKRI Rp 5.000 bergambar Dr. K.H. Idham Chalid. Pertama, kalau yang “kurpik” mau mengatakan bahwa tidak ada lagi pahlawan yang berlatar belakang agama Islam dalam uang kertas baru Rp 5.000 jelas salah. Beliau adalah ulama besar dan pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).

Kedua, uang kertas Rp 5.000 yang telah ada sejak 15 tahun lalu – diluncurkan pertama kali pada 2001 – masih tetap berlaku. Masih beredar dan laku di pasaran. Belum ditarik dan dinyatakan tidak berlaku. Jadi kalau dibilang uang itu tidak ada lagi di dompet dengan alasan diganti uang baru, jelas tidak benar. Ini bisa jadi karena yang memelas itu “kurpik”, kurang luas wawasannya. Dikira kalau sudah ada uang baru, maka uang lama serta merta dinyatakan tidak berlaku.

Uang NKRI pecahan Rp 1.000 bergambar Tjut Meutia. (Foto: Bank Indonesia)
Uang NKRI pecahan Rp 1.000 bergambar Tjut Meutia. (Foto: Bank Indonesia)
Berikutnya adalah “kurpik” soal tampilan Tjut Meutia yang digambarkan pada uang kertas NKRI pecahan Rp 1.000. Dibilang bahwa gambar itu salah, karena Tjut Meutia orang Aceh maka pasti berjilbab. Untung ada penjelasan dari keluarga pahlawan nasional itu. Mereka bilang, Tjut Meutia memang tidak berjilbab.

Bisa juga dikatakan “kurpik”, karena tidak mau “piknik” berkelana menambah wawasan dengan melihat bukti-bukti sejarah yang sudah ada. Contohnya, pada awal Orde Baru, yaitu pada 1969 Pemerintah RI pernah menerbitkan satu set terdiri dari enam prangko seri “Pahlawan”. Salah satunya bergambar Tjut Meutia, dan digambar itu tanpa jilbab. Begitu pula, buku-buku sejarah yang terbit pada masa lalu, semuanya menggambarkan Tjut Meutia tanpa jilbab.

Prangko Tjut Meutia terbitan 1969. (Foto: www.hermankhan.com)
Prangko Tjut Meutia terbitan 1969. (Foto: www.hermankhan.com)
Jadi yang masih “kurpik”, ayo jangan jadi “katak dalam tempurung”. Luaskan pergaulan, mari kita piknik, berwisata menambah ilmu dan wawasan agar mendapatkan fakta-fakta yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun