Bermain-main dengan kostum atau cosplay adalah salah satu aktivitas yang saat ini makin digemari di Indonesia. Terutama di kalangan kaum muda di segala penjuru Tanah Air. Bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, tetapi telah merambah juga sampai ke kota-kota kabupaten dan menjangkau seluruh pelosok. Istilah cosplay sendiri merupakan gabungan dari kata costume (kostum atau pakaian dan aksesorisnya) serta play (bermain). Jadi seperti sudah disebutkan, cosplay bisa dibilang sebagai aktivitas bermain-main dengan kostum dan aksesorisnya.
Meski lebih populer di kalangan kaum muda, mereka yang telah cukup dewasa bahkan lanjut usia pun, tak sedikit yang juga menyukainya. Penggemar cosplay inilah yang disebut dengan istilah cosplayer, atau orang yang senang mengenakan kostum dan aksesorisnya, meniru tokoh-tokoh dalam cerita bergambar, novel, film, animasi, bahkan meniru penyanyi dan musisi idola, sampai meniru olahragawan terkenal.
Cosplay adalah istilah yang awalnya berasal dari Jepang. Itulah sebabnya, tak sedikit cosplayer yang juga menampilkan kostum bergaya tokoh-tokoh dalam anime, manga, dan kisah-kisah fiksi dari Jepang. Walaupun demikian, kegiatan yang kini tercatat sebagai salah satu hobi atau kegemaran mendunia itu, sebenarnya bisa dikatakan telah dimulai di Amerika Serikat (AS) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Tradisi ini kemudian berkembang di Jepang pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Sama seperti di AS, para pengunjung konvensi juga hadir dengan kostum-kostum unik meniru kostum dalam film dan cerita bergambar yang terkenal di Jepang. Paling tidak tercatat digelarnya konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Takai di Ashinoko, Prefektur Kanagawa, pada 1978. Saat itu kritikus fiksi ilmiah Mari Kotani menghadiri konvensi dengan mengenakan kostum seperti tokoh dalam gambar sampul cerita A Fighting Man of Mars karya Edgar Rice Burroughs. Direktur perusahaan animasi Gainax, Yasuhiro Takeda, juga tampil dengan kostum dari film Star Wars.
Bila awalnya, bermain-main dengan kostum atau cosplay hanya dilakukan sekadar bersenang-senang saja, maka belakangan aktivitas itu juga menjadi kompetisi. Apalagi dengan semakin banyaknya kegiatan-kegiatan semacam konvensi yang dikemas dalam bentuk pameran dan penjualan mainan (toys fair) dan sejenisnya.
Di Indonesia sendiri, kebanyakan cosplayer memang “berkiblat” ke Jepang. Apalagi awalnya, aktivitas cosplay dilakukan saat kegiatan yang dilaksanakan para mahasiswa studi Jepang Universitas Indonesia pada awal 2000-an. Tetapi selain bergaya Jepang, tidak sedikit pula yang tampil dengan kostum dari cerita bergambar atau pun film-film yang berasal dari AS dan Eropa. Belakangan, muncul pula sejumlah cosplayer yang berusaha menampilkan kostum-kostum yang diangkat dari kisah-kisah pewayangan maupun cerita bergambar karya penulis dan komikus Indonesia sendiri.
Tak heran bila tokoh-tokoh cerita bergambar dari Indonesia, seperti pahlawan perempuan Sri Asih, atau pendekar Si Buta dari Gua Hantu serta Jaka Sembung, dan pahlawan super seperti Gundala Putera Petir dan Godam, juga menjadi rujukan para cosplayer untuk menampilkan kostum-kostum mereka. Belum lagi kostum-kostum orisinal, dalam arti diciptakan sendiri oleh cosplayer bersangkutan, dengan menciptakan tokoh yang mereka angankan.
Contohnya, kelompok yang menamakan dirinya Machipot yang baru-baru ini tampil di acara Hellofest 2016 pada 24-25 September lalu. Menampilkan kisah “Garudayana” yang diangkat dari karya anak muda Indonesia sendiri, kelompok tersebut meraih penampilan terbaik Kostumasa tema Indonesia.