Siang tadi, 1 November 2016, saya menghapus tulisan saya sendiri yang saya muat kemarin sore di Kompasiana. Padahal tulisan itu luar biasa jumlah pembacanya. Kalau biasanya tulisan saya paling dibaca antara 100 sampai 300 kali, maka tulisan itu dibaca sampai 2.444 kali, dengan 2 komentar dan 2 nilai. Dari segi statistik, sebenarnya tulisan itu membantu “menaikkan” peringkat saya di kalangan Kompasianer.
Ini catatan saya. Setelah tulisan tersebut ditayangkan di Kompasiana, data saya sebagai Kompasianer aktif mencapai 184 artikel, dibaca 61.418 kali, dengan 167 komentar, nilai 278, dan yang dijadikan “headline’ sebanyak 47 tulisan dan 146 dijadikan tulisan “pilihan”. Setelah saya hapus, maka jumlahnya menurun. Tercatat 183 kali, dibaca 58.980 kali, dengan 165 komentar, nilai 276, dan yang dijadikan “headline” tetap 47 tulisan, namun “pilihan”nya menjadi 145 tulisan.
Dari data tersebut terlihat, bahwa yang sebelumnya saya menargetkan sampai akhir 2016 ini setidaknya ada 60.000 kali tulisan-tulisan saya dibaca, sebenarnya sudah terpenuhi. Namun dengan dihapuskannya tulisan tadi, maka jumlahnya kembali berkurang, baru 58.980 kali dibaca.
Inilah juga untuk pertama kalinya saya menghapus tulisan saya sendiri. Ketika akan menghapus, ada pertanyaan dari Kompasiana untuk menjelaskan mengapa saya ingin menghapus tulisan tersebut. Maka saya jawab, itu adalah untuk menghormati permohonan ada pihak yang menjadi korban dalam suatu kasus – yang kemudian saya jadikan bahan tulisan – yang meminta agar jangan dijadikan viral lagi kasusnya.
Saya tidak akan bercerita tulisan apa dan tentang apa tulisan yang saya hapus itu, tetapi saya ingin mengemukakan bahwa inilah paling tidak yang bisa saya lakukan untuk bersimpati pada pihak yang menjadi korban. Saya menghormati keputusannya yang meminta agar kasusnya jangan dijadikan viral. Dan inilah yang bisa saya lakukan, walaupun mungkin sudah cukup banyak yang membacanya.
Sikap saya jelas berbeda dengan “self-censorship” (menyensor diri sendiri atau mungkin dapat juga disebut swasensor), sewaktu masih aktif menjadi pewarta penuh waktu sekian tahun silam. Ini pasti dialami juga oleh teman-teman pewarta yang bekerja di media massa. Seringkali ada kecenderungan untuk – dalam kasus saya sebagai pewarta tulis – tidak menulis untuk hal-hal tertentu.
Swasensor di kalangan pewarta biasanya karena dua hal. Pertama, kebijakan pimpinan redaksi yang melarang menulis atau memuat berita tertentu. Kedua, keinginan yang timbul dari dalam diri sang pewarta sendiri.
Untuk yang pertama, biasanya kebijakan pimpinan redaksi juga dipengaruhi dengan situasi dan kondisi. Sewaktu masa Orde Baru misalnya, tulisan atau berita yang terkait dengan komunisme, sedapat mungkin dihindari. Saya misalnya pernah menghadiri suatu seminar atau lokakarya di sebuah perguruan tinggi. Ketika itu dibahas mengenai tokoh WF Wertheim, seorang Indonesianis asal Belanda. Karena kekurangtahuan saya mengenai latar belakang sang tokoh, saya menulisnya. Sudah lulus dari pemeriksaan penyunting dan baru akan dimuat, seperti biasa hasil tata letak berita-berita yang akan dimuat dibawa ke dalam rapat pimpinan. Ada nama WF Wertheim di judul berita saya. Segera disuruh dicabut, dan beritanya diganti dengan yang lain.
Belakangan baru saya tahu, bahwa Wertheim pernah menulis suatu analisis yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh di balik Gerakan-30-September sebenarnya adalah Jenderal Soeharto dan para jenderal Angkatan Darat nonkomunis. Mereka kabarnya, menggunakan Sjam Kamurazzaman sebagai agen ganda, dimasukkan ke dalam tubuh PKI, yang kemudian aksi PKI itu digunakan untuk menghancurkan organisasi komunis itu dan menurunkan Presiden Soekarno dari kursi kepresidenannya.
Saya sendiri sejak kecil dididik untuk tidak mendukung gerakan komunisme, dan karena itu kalau saya tahu bahwa nama WF Wertheim ada kaitannya dengan analisis tentang komunisme, tentu akan saya hindari. Pasti saya pun sudah melakukan swasensor sendiri, sebelum disensor oleh pimpinan redaksi saya. Tapi, saat itu saya memang tak tahu apa-apa, saya pikir penyebutan namanya dalam lokakarya itu - yang saya juga sudah lupa judul dan temanya - karena dia hanya sekadar seorang asing yang menyukai sejarah Indonesia. Ya, apa boleh buat.
Ada juga swasensor lain dilakukan pimpinan redaksi suatu media massa, misalnya tidak memberitakan tentang hal-hal dari orang, kelompok, organisasi yang berseberangan dengan pemikiran dan organisasi medianya. Sebaliknya, kalau dari orang, kelompok, atau organisasi yang didukungnya, beritanya akan dimuat besar-besaran. Contoh ini dapat dengan mudah dilihat.
Sedangkan swasensor dari diri pewarta sendiri, misalnya saya. Sejak dulu saya tidak suka merokok, bahkan dengan asap rokok pun sudah terbatuk-batuk. Itulah sebabnya, kalau diundang melakukan peliputan yang disponsori perusahaan rokok, saya seminimal mungkin menulis merk rokok atau perusahaannya. Walaupun ini memang beresiko, tidak diundang lagi di kemudian hari, karena dianggap kurang mampu mempublikasikan perusahaan bersangkutan.
Swasensor juga bisa terjadi karena latar belakang seseorang. Contohnya saya yang aktif di Gerakan Pramuka sejak kecil. Ketika meliput suatu peristiwa tabrakan antara sepeda motor dan bus di sebuah jalan, karena yang mengemudikan sepeda motor adalah remaja yang mengenakan seragam Pramuka (walaupun tidak lengkap, karena tidak memakai kacu atau setangan lehernya), bisa saja pewarta lain mungkin memberi judul “Pramuka Tabrakan dengan Bus”. Namun saya memilih menulis “Seorang remaja pengendara XXXXX (merek motor) dengan nomor polisi B-XXXX-XX mengalami luka yang cukup parah setelah motor yang dikendarainya bertabrakan dengan Bus XXXXX (nama perusahaan bus) B-XXXX-XX”. Judulnya pun mungkin cukup saya tulis “Pengemudi Motor Remaja Luka Parah, Tabrakan dengan Bus”.
Memang benar si remaja mengenakan seragam Pramuka walaupun tidak lengkap, mungkin baru pulang dari latihan karena kepramukaan sudah menjadi bagian ekstrakurikuler di banyak sekolah. Tetapi dia mengalami peristiwa naas itu tidak sedang berkegiatan Pramuka. Jadi mengapa saya harus menulis “Pramuka Tabrakan dengan Bus”?
Begitulah, sedikit cerita tentang swasensor. Namun kali ini, seperti di bagian awal tulisan saya, saya menghapus sendiri tulisan di Kompasiana, bukan dengan alasan swasensor seperti yang saya kemukakan. Namun untuk menghormati sahabat saya tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H