Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Money

Tujuh Hari Tanpa Uang Tunai, Bisakah ke Warteg?

29 Oktober 2016   20:29 Diperbarui: 29 Oktober 2016   20:37 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tantangan dari Kompasiana dan BCA untuk menulis “Hidup 7 Hari Tanpa Uang Tunai”, sebenarnya tak sesulit yang dibayangkan orang. Apalagi bagi mereka yang menjadi kelas menengah di perkotaan, hidup tanpa uang tunai bahkan sudah dapat dibilang nyaris tak terelakkan.

Contohnya, saya sendiri yang dalam keseharian banyak menggunakan kartu debit BCA dan terkadang juga kartu kredit BCA Krisflyer yang saya miliki. Untuk membeli bensin bagi kendaraan keluarga, jarang saya membayar dengan uang tunai. Begitu pula saat berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar swalayan atau toko-toko “convenience store” atau toko serba ada kecil yang saat telah ada pada hampir semua komplek perumahan. Di semua toko itu, tersedia mesin untuk menerima pembayaran dengan kartu debit maupun kartu kredit.

Persoalannya mungkin terjadi bila kita hendak berbelanja di pasar tradisional atau ingin menikmati makan di warteg, atau juga membeli jajanan di pinggir jalan. Mau tidak mau, memang harus mengeluarkan uang tunai. Tapi teman saya pernah mengalami makan di warteg dengan tidak membayar menggunakan uang tunai.

Kejadiannya beberapa tahun lalu, seperti diceritakan teman saya tersebut. Saat selesai makan di sebuah warteg di bilangan Jakarta Selatan, teman saya teringat bahwa saya belum sempat ke ATM untuk mengambil uang tunai. Padahal di dompet tersisa Rp 7.000. Bagaimana dia harus membayar keseluruhan makanan dan minuman yang mencapai Rp 12.000? Kebetulan anak pemilik warung datang dan meminta kepada ayahnya bolpoin serta pinsil.

Bisa jadi untuk mengerjakan tugas sekolah. Teman saya teringat bahwa di dalam ranselnya ada barang-barang itu, karena dia baru saja mendapat bolpoin dan pinsil bahkan juga buku catatan (blocknote) yang tersedia kalau kita mengikuti seminar atau rapat di hotel-hotel berbintang, maka teman saya berinisiatif menghadiahkan saja bolpoin, pinsil, dan buku catatan itu. Saya tambahkan juga uang Rp 7.000 yang masih tersisa di dompet.

Teman saya itu menceritakan juga bahwa dia berjanji kepada pemilik warung kekurangan Rp 5.000 akan dibayar kalau dia kembali ke warung itu esok harinya. Namun sang pemilik warteg malah menolak uang Rp 7.000, sambil berkata terima kasih sudah diberi bolpoin, pinsil, dan buku catatan. Akhirnya uang itu dimasukkan saja ke kotak sumbangan yang ada di depan warteg tersebut. Selesai, yang penting dari kisah kecil ini terbukti bahwa akhirnya teman saya bisa makan di warteg tanpa uang tunai.

Saya juga teringat kisah puluhan tahun lalu. Supir ayah saya yang mengendarai kendaraan mengangkut keluarga kami berlibur ke Bali pada awal 1970-an, sempat terkesan oleh sebuah patung ukir khas Bali. Dia tampaknya ingin memiliki sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang. Namun, harganya cukup mahal untuk ukuran kantung seorang supir.

Baru saja dia akan beranjak ke luar toko, si pemilik malah memanggilnya lagi. Menawarkan patung itu untuk ditukar dengan jaket milik sang supir. Jaketnya memang terbilang keren, jaket Levi’s asli yang pada awal 1970-an belum banyak orang mempunyainya. Akhirnya setelah tawar-menawar, yang terjadi supir saya malah mendapatkan patung ditambah kaus dengan tulisan “Bali”.

Kalau dikumpulkan, pasti banyak sekali kisah-kisah tukar-menukar barang dan jasa atau sistem barter seperti itu. Suatu sistem yang sebenarnya telah dikenal sejak zaman prasejarah, puluhan bahkan ratusan ribu tahun silam, sebelum dikenalnya uang tunai seperti sekarang.

Jadi kalau di masa modern ini, dikembangkan lagi sistem pembayaran non-tunai, bukanlah hal baru dan pasti bisa dilaksanakan juga. Contohnya, beberapa gerbang jalan tol di ibu kota Jakarta, saat ini sudah mulai menerapkan penggunaan kartu untuk membayar biaya melewati jalan tol tersebut, termasuk kartu Flazz dari BCA. Begitu pula untuk menaiki angkutan bus TransJakarta maupun commuter line di Jakarta dan sekitarnya, penggunaan kartu untuk membayar tiket sudah diterapkan.

Kini, BCA menambah lagi kemudahan bagi masyarakat untuk tidak perlu repot membawa uang tunai. Diberi nama “Sakuku”, produk terbaru ini amat mudah dimanfaatkan warga. Cukup perlu smartphone, kemudian men-download aplikasinya serta melakukan aktivasi Sakuku. Maka dengan dompet elektronik ini, dapat membantu untuk pembayaran belanja, isi pulsa, dan transaksi perbankan lainnya.

Lebih menguntungkan lagi, Sakuku ini tidak seperti produk perbankan lainnya, bebas biaya administrasi bulanan. Produk terkini dari BCA juga memungkinkan bila contohnya sang pemilik warteg memiliki juga akun Sakuku, maka kita bisa membayar langsung ke akunnya. Jadi kali ini, tidak perlu barter lagi bolpoin, pinsil, dan buku catatan.

Yuk, dicoba produk terbaru BCA ini, dan untuk lebih jelasnya, silakan klik di sini: http://www.bca.co.id 
Akun Facebook: www.facebook.com/Berthold.Sinaulan

Akun Twitter: @BertSinaulan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun