Tidak banyak yang tahu bahwa makanan khas Betawi yang dikenal dengan nama Soto Betawi, pertama kali dipopulerkan oleh Li Boen Po (ada juga yang menyebut namanya Lie Boen Po). Dialah yang 45 tahun lalu, pertama kali menggabungkan dua kata “soto” dan “betawi” untuk merujuk pada kuliner berkuah yang sekarang peminatnya sudah sangat banyak. Li Boen Po merupakan pedagang soto yang berisi daging dan jeroan sapi yang pertama kalinya menggunakan nama Soto Betawi untuk dagangannya pada 1971. Menurut informasi, dia menjual di daerah Prinsen Park atau Lokasari di wilayah Jakarta Kota.
Hal tersebut terungkap kembali ketika Soto Betawi menjadi salah satu dari 150 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2016, yang perayaan dan penyerahan sertifikatnya dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis, 27 Oktober 2016, malam.
Sebelum ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda, telah dilakukan penilaian dan verifikasi langsung ke lapangan. Termasuk menanyakan kepada para ahli atau pihak-pihak yang terkait dengan keberadaan karya budaya tersebut. Untuk Soto Betawi, maka sebagaimana dicantumkan dalam buku panduan acara tersebut, adalah Andi Yahya Saputra – seorang budayawan Betawi yang juga telah menerima Anugerah Kebudayaan pada 2015 dari Mendikbud – serta Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) sebagai narasumber dan maestronya.
Selain Soto Betawi, dari Provinsi DKI Jakarta tercatat tujuh karya budaya lainnya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2016. Bila Soto Betawi termasuk kategori kemahiran dan kerajinan tradisional, maka Samrah Betawi, Gambang Rancag, Topeng Jantuk, Keroncong Tugu, dan Topeng Blantek termasuk kategori seni pertunjukan. Sementara dua lagi yang masuk kategori kemahiran dan kerajinan tradisional adalah Gado-gado Betawi dan Rias Besar,
Dari beragam karya budaya tersebut terlihat bahwa sejak lama Jakarta memang telah menjadi “melting pot” atau pertemuan dari berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan. Tidak ada lagi yang bisa mengaku dia paling asli dibandingkan lainnya. Seni pertunjukan dan seni rias khas Betawi misalnya, terlihat sekali cukup banyak dipengaruhi unsur budaya Tionghoa. Baik dari pakaian, gerak, sampai alat musiknya.
Sementara Samrah Betawi berupa tari pergaulan tradisional Jakarta, banyak dipengaruhi oleh budaya Melayu. Lagu-lagu yang mengiringi tarian tersebut juga didominasi lagu-lagu berkarakter Melayu dengan pantun-pantunnya. Sungguh tepat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Samrah Betawi sebagai salah satu warisan budaya yang patut dipertahankan, karena kesenian ini sudah berkurang pelakon dan peminatnya.
Ada pun Keroncong Tugu, jelas-jelas dipengaruhi oleh budaya Portugis yang dibawa orang-orang Portugis ketika mereka tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada abad ke-17. Mereka menetap dan melahirkan keluarga turun-temurun di Kampung Tugu yang terletak di Jakarta Utara. Di tempat itu sampai saat ini juga masih berdiri Gereja Tugu yang bersejarah dan sudah ditetapkan sebagai salah Benda Cagar Budaya. Keberadaan gereja tak mengherankan, karena sebagian besar dari keluarga turun-temurun asal Portugis itu beragama Kristen. Tak heran bila ada lirik lagu keroncong mereka yang berbunyi, “Kampung Tugu Kampung Serani, jiwa manis Kampung Serani…..”. Serani adalah istilah lain dari Nasrani atau Kristen.
Sedangkan mengenai Rias Besar yang maestronya tercatat Cucu SulaIha Nasiboe dan Annisa Diah Sitawati, disebutkan bahwa ini adalah busana dan tata rias yang wajib digunakan pasangan pengantin apabila melaksanakan pernikahan dengan tata cara adat. Dalam buku panduan yang dibagikan kepada para undangan acara perayaan dan penyerahan sertifikat Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2016 disebutkan juga, “Busana tata rias ini merupakan akumulasi percampuran pengaruh budaya Tionghoa peranakan dan Arab yang saling melengkapi, sehingga melahirkan dan memunculkan warna multikultur yang sangat kentara”.
Jelas lagi-lagi terbukti, Jakarta sejak dulu memang sudah merupakan wilayah multikultur, beragam budaya bercampur dalam kesatuan yang harmonis. Justru itulah yang membuat Jakarta, dan juga kota serta tempat lain di Indonesia menjadi indah, karena terlihat lebih semarak dengan keberagaman budaya yang saling melengkapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H