Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Soal “Pilihan”, “Headline” atau Sekadar Tulisan Biasa, Itu Urusannya “Admin” Kompasiana

23 Oktober 2016   21:32 Diperbarui: 23 Oktober 2016   21:48 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai Kompasianer, walaupun saya tercatat telah bergabung dengan Kompasiana pada 26 Mei 2013 – berarti telah lebih dari tiga tahun – tetapi saya awalnya bukan termasuk yang rajin menulis dan mengunggahnya di sini. Baru sekitar setahun ini, saya cukup rajin menulis. Itu pun kadangkala masih sering “bolos”, dalam arti bisa saja seminggu lebih tak menulis apa pun.

Namun memang sejak kecil saya sudah hobi menulis, bahkan ketika kelas VI SD pada saat berusia 12 tahun, tulisan saya sudah dimuat di Harian “Indonesia Raya”, suatu harian terpandang awal 1970-an yang memiliki wartawan-wartawan terkenal dengan Pemimpin Redaksinya Mochtar Lubis. Itulah yang menyebabkan saya juga menempuh karier sebagai pewarta dan melakoninya sebagai pekerjaan tetap selama hampir 30 tahun.

Lepas dari pekerjaan tetap sebagai pewarta, saya masih aktif menulis. Baik menjadi pewarta lepas di beberapa media massa, dan kemudian juga aktif sebagai Kompasianer. Menulis di Kompasiana memang tak mendapatkan honorarium sebagaimana menjadi pewarta tetap atau lepas, namun kelebihannya tulisan yang kita kerjakan dapat kita unggah, hampir-hampir tanpa ada penolakan sedikit pun dari Kompasiana.

Berbeda ketika menjadi pewarta tetap atau lepas, tulisan baik dalam bentuk berita langsung, features, maupun artikel, yang kita kerjakan, harus melewati cukup banyak tahap. Dipilih dulu dari sekian banyak tulisan yang masuk, bila disetujui masuk, disunting lagi, dan bisa saja judul maupun isinya agak berubah dari awal yang kita tuliskan.

Di Kompasiana, kalau pun ada perubahan, paling-paling pada judul, dan hampir tak ada isi tulisan yang disunting. Semua Kompasianer bisa langsung mengunggah tulisannya. Hanya dua pilihan, kalau dianggap tak sesuai atau diperkirakan dapat mengandung perpecahan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), setelah diunggah dapat saja langsung dihapus oleh Administratur (Admin) Kompasiana. Tetapi bila tetap dimuat, berarti tulisan itu telah lolos sensor. Meski pun kadangkala tulisan yang telah dimuat beberapa hari pun, bisa saja kemudian dihapus oleh Admin Kompasiana, bila mendapat protes dan tentangan dari pembaca.

Di samping kemudahan untuk menyalurkan hasil liputan, pandangan, atau pemikiran kita dalam bentuk tulisan, Kompasiana juga memberikan kesempatan interaksi antara penulis dan pembaca. Semua Kompasianer yang menjadi pembaca, dapat memberikan nilai dan sekaligus komentar pada tulisan yang dimuat di Kompasiana.

Sekali lagi, di sini pun Admin Kompasiana berperan. Komentar-komentar yang dianggap tidak sesuai, provokatif, mengandung perpecahan SARA, dan sejenisnya, dapat segera dihapus oleh Admin Kompasiana. Tak usah heran, kalau ada komentar yang baru saja kita tuliskan, tiba-tiba telah hilang di Kompasiana.

Persoalan peran Admin Kompasiana menghapus tulisan – bahkan foto – dan komentar, sampai saat ini masih dipertanyakan. Di usianya yang ke-8, masih cukup sering dipertanyakan mengapa ada tulisan, foto, dan komentar, yang dihapus oleh Admin Kompasiana? Apakah Kompasiana berpihak? Apakah Kompasiana subjektif?

Bila disebut berpihak, saya pribadi kurang yakin bahwa Kompasiana yang diasuh oleh para wartawan Kompas benar-benar berpihak pada satu golongan. Tetapi kalau disebut subjektif, dari pengalaman saya selama hampir 30 tahun sebagai pewarta tetap, memang tak dapat dihilangkan. Seorang wartawan walaupun berusaha objektif, namun subjektivitasnya tetap ada. Subjektivitas itu berdasarkan latar belakang wartawan yang bersangkutan. Apakah latar belakang pendidikan, minat, bahkan juga dapat latar belakang suku, agama, dan lainnya. Walaupun dari pengalaman saya, lebih pada latar belakang pendidikan dan minat itulah yang menyebabkan subjektivitas seorang wartawan.

Rasanya, demikian pula dengan Admin Kompasiana. Saya meyakini bahwa Admin Kompasiana lebih dari satu orang, karena tak mungkin Pepih Nugraha yang menjadi pimpinan Kompasiana, mengerjakan, mengelola, dan mengawasi Kompasiana seorang diri selama 24 jam. Pasti ada cukup banyak tenaga yang direkrut menjadi Admin Kompasiana.

Tak mengenal satu pun Admin Kompasiana, bahkan baru beberapa kali bersalaman dengan Pepih Nugraha pada acara-acara yang diselenggarakan Kompasiana, saya juga meyakini bahwa para Admin Kompasiana sedikit banyak mempunyai pengalaman sebagai pewarta atau aktif di dunia tulis-menulis. Subjektivitas tentu ada, apalagi bila Admin Kompasiana terdiri dari beberapa orang. Tetapi itu seharusnya tak menghalangi Kompasianer menulis, mengunggah foto, dan memberi komentar.

Contohnya saya. Setelah hampir semua tulisan saya akhir-akhir menjadi tulisan “Pilihan” Kompasiana, tulisan terbaru saya sebelum saya menulis ini, tidak dijadikan tulisan “Pilihan”. Padahal – paling tidak bagi saya pribadi – judulnya cukup menarik, “SBY 2016, Soeharto 2018? Lalu Ali Sadikin?” (bisa dibaca di sini).

Bagi saya, itu adalah hak dari Admin Kompasiana. Dalam kenyataannya, walaupun bukan tulisan “Pilihan”, sampai saat ini telah dibaca sebanyak 281 kali, dengan 5 komentar, dan mendapat nilai 3. Jumlah yang cukup baik, karena ada juga tulisan saya yang dijadikan “Pilihan” oleh Kompasiana, justru mendapat hasil yang kurang baik. Contohnya tulisan berjudul “Jalan Kebudayaan dari World Culture Forum 2016” (bisa dibaca di sini) yang menjadi tulisan “Pilihan” Kompasiana, hanya dibaca sebanyak 28 kali, tanpa komentar, dan mendapat nilai 1.

Begitu pula tulisan “Pilihan” Kompasiana berjudul “Sumpah Pemuda, Bulan Bahasa, Buka Kamus!” (bisa dibaca di sini) hanya dibaca sebanyak 88 kali, tanpa komentar dan tanpa nilai. Padahal isinya cukup relevan menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober mendatang.

Apakah itu mengurangi minat saya menulis? Tidak. Bagi seorang Kompasianer, yang penting menulis dan mengunggah tulisannya. Soal apakah tulisannya dijadikan “Pilihan”, “Headline”, atau tulisan biasa, tak menjadi soal. Itu urusannya Admin Kompasiana untuk menentukan kualifikasi tulisan kita. Baru menjadi soal kalau tulisannya dihapus Admin Kompasiana. Untuk hal ini, Kompasianer berhak untuk menanyakan kepada Admin Kompasiana, dan menurut hemat saya, Kompasiana juga wajib untuk menjawab, menjelaskan mengapa tulisan tersebut dihapus.

Lalu, kalau belum ada jawaban atau jawaban dari Admin Kompasiana tidak atau belum memuaskan? Hal itu tergantung kepada Kompasianer bersangkutan. Bisa bertanya lagi, sampai mendapat jawaban memuaskan. Bisa juga tetap menulis, dengan atau tanpa jawab memuaskan. Bisa juga – tetapi mudah-mudahan tidak – memutuskan hal paling ekstrim, berhenti menulis. Paling tidak untuk sementara, menjadikan sebagai saat untuk “merenung” dan kemudian kembali lagi dengan tulisan-tulisan yang lebih baik, dan pastinya tak akan dihapus lagi oleh Admin Kompasiana.

Selamat menulis Kompasianer!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun