Satu regu Pramuka Penggalang (usia 11-15 tahun) yang terdiri dari 6 sampai 8 orang, bisa saja terdiri dari mereka yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda warna kulit, bahkan berbeda latar belakang ekonomi keluarganya. Namun itu tak menghalangi regu Pramuka untuk bekerja sama dalam setiap kegiatan kepramukaan yang mereka ikuti.
Bahkan di suatu perkemahan besar seperti jambore, pesertanya lebih beragam lagi. Dari berbagai daerah dan bahkan berbagai negara, seperti jambore dunia atau jambore internasional. Tetap saja terlihat jelas jalinan persaudaraan antarsesama peserta. Setiap Pramuka selalu berusaha menghargai keberagaman yang ada, yang merupakan salah satu bentuk pendidikan karakter kepada kaum muda yang mengikuti Gerakan Pramuka.
Hal-hal itu antara lain saya ungkapkan dalam tulisan saya berjudul “Learn the Cultural Diversity through the Scouting Movement” (Belajar Keberagaman Budaya Melalui Gerakan Pramuka/Kepanduan). Tulisan tersebut merupakan esai yang saya buat sebagai peserta publik dalam World Culture Forum (WCF) 2016 di Nusa Dua Convention Centre, Bali, 10-14 Oktober 2016.
Semua calon peserta public harus mengirimkan esai minimal sepanjang 500 kata. Isi esai adalah sesuai dengan tema dan sub-tema WCF 2016. Esai-esai yang masuk dinilai oleh suatu tim yang dibentuk Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan untuk 100 peserta yang nilainya paling tinggi dipilih ikut serta.
Saya sendiri kali ini memilih untuk mewakili komunitas Indonesia Scout Journalist (ISJ), suatu komunitas yang terdiri dari para Pramuka yang senang dunia jurnalistik dan para jurnalis/wartawan yang senang meliput kegiatan kepramukaan. Esai saya diberi nilai 85 dan berada di urutan ke-19 dari 100 peserta publik Indonesia yang terpilih ikut serta.
Ternyata apa yang saya ungkapkan dalam esai karya saya, sejalan dengan pemikiran para tokoh terkenal yang menjadi pembicara pada simposium bertajuk “Cultural Diversity for Responsible Development” (Keberagaman Budaya untuk Pembangunan yang Bertanggung Jawab) yang diadakan pada Rabu, 12 Oktober 2016.
Ketiga pembicara yang tampil Profesor Din Syamsuddin tokoh ilmuwan agama yang saat ini adalah Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia, lalu Prof. Achmad Fedyani Saifuddin (professor antropologi Universitas Indonesia) dan Prof. Moncel Ben Abdeljalil (Dekan Fakultas Sastra dan Ilmu Humaniora di Universitas Sousse, Tunisia), semua menekankan pentingnya mengembangkan sikap saling menghargai keberagaman yang ada.
Foto: koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H