Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Soal Komentar dan Kritik di Media Sosial

25 Agustus 2016   22:40 Diperbarui: 25 Agustus 2016   22:48 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Status di akun Facebook saya hari ini, Kamis, 25 Agustus 2016.

Keberadaan beragam media sosial memang memudahkan manusia berinteraksi. Selama ada jaringan internet yang terkoneksi, maka di mana pun kita berada, dapat berinteraksi dengan lainnya. Saling mengirim kabar, foto, gambar, sampai saling berkomentar dan menyampaikan saran atau kritik.

Namun, karena demikian mudahnya orang menulis komentar dan kritik di media sosial, maka menyebabkan sebagian dari kita terlalu “bernafsu” memencet tombol menyusun huruf per huruf, jadi kata, jadi kalimat, dalam semenit atau lebih sedikit, dan segera mengirim komentar dan kritik itu melalui media sosial yang akunnya dimiliki masing-masing.

Hal itu terjadi di mana-mana. Komentar dan kritik bertebaran di media sosial. Kadang benar dan masuk akal, kadang berlebihan, bahkan tidak benar sama sekali isinya. Itulah yang menyebabkan siang tadi saya juga membuat status di akun Facebooksaya bertajuk “Soal Komentar dan Kritik”. Isinya begini:

“Kalau orang melemparkan komentar atau mengritik sesuatu, padahal isu, komentar, kritik yang dilemparkan tidak atau kurang tepat, maka ada beberapa kemungkinan:

1. Nafsu atau keinginan mengomentari atau mengritik terlalu cepat tanpa mencari tahu informasi yang sebenarnya;

2. Memang hanya ingin mengomentari atau mengritik dan tidak atau malas mencari mencari tahu informasi yang sebenarnya;

3. Mencoba mencari informasi tetapi mendapatkan informasi yang kurang benar, sehingga mengomentari atau mengritik yang kurang benar pula;

4. Niatnya memang mengomentari atau mengritik, tidak peduli benar atau salah, tepat atau kurang tepat.

Otokritik pada diri saya sendiri: kadang-kadang butir 1 dan 3 menimpa diri saya juga. Untuk itu saya berusaha sedapat mungkin untuk cek dan ricek. Cari tahu informasi sebanyak-banyaknya, kalau perlu tanya ke tempat lain yang diperkirakan dapat membantu memberi informasi yang benar.

Media sosial yang cukup dengan mudah menekan tombol huruf dan menyebarluaskannya, memang membuat orang untuk cepat-cepat untuk berkomentar dan mengritik. Untuk itu, diperlukan kejernihan diri, tarik nafas panjang, baca ulang komentar dan kritik yang ditulis, cek dan ricek, baru tekan tombol kirim”.

Begitu status yang saya buat dan saya akhiri dengan tiga tagar (tanda pagar) atau hashtag: #berusahajujur #cekdanricek #mediasosial. Tagar yang memang benar-benar mengungkapkan apa yang ingin saya kemukakan, berusaha jujur serta lakukanlah cek dan ricek sebelum mengunggah komentar atau kritik di media sosial.

Terus terang, status tersebut saya buat setelah melihat “riuh rendah”nya komentar dan kritik di akun Facebook milik sebuah group atau kelompok yang merupakan bagian dari komunitas pendidikan di Indonesia. Menyedihkan lagi, yang menulis status, komentar, maupun kritik adalah orang-orang dewasa yang seharusnya memberikan pendidikan dengan baik kepada mereka yang dididik.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Mereka seolah mempertontonkan, komentari dan kritik saja terus-terusan tanpa mau melakukan cek dan ricek sebelumnya. Membuat tulisan-tulisan penuh nada tudingan seolah semuanya salah, padahal kesalahan ada pada mereka sendiri. Tidak tahu persoalan sesungguhnya, langsung dengan penuh semangat mengomentari dan mengritik.

Itulah sebabnya, saya ungkapkan empat  kemungkinan kalau orang melemparkan komentar atau mengritik sesuatu, padahal isu, komentar, kritik yang dilemparkan tidak atau kurang tepat. Apalagi untuk mereka yang tergabung dalam komunitas pendidikan, seharusnya kita sama menyadari bahwa tenaga pendidik seyogyanya memberikan contoh teladan yang baik kepada mereka yang dididik, antara lain dengan menulis komentar maupun kritik, bila memang telah tahu duduk persoalan sebenarnya. Jangan hanya tahu sedikit atau bahkan tidak tahu atau tahu tapi dari sumber yang salah, langsung mengomentari dan memberi kritikan.

Ini sebenarnya bukan hanya di komunitas itu saja. Mungkin di komunitas atau kelompok lain terjadi hal yang sama. Terpulang pada kita, maukah kita memanfaatkan media sosial untuk menulis hal-hal positif, atau sekadar berkomentar dan mengritik tanpa dasar yang tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun