Membaca judul “Memperbaiki Koleksi Museum”, mungkin yang langsung terbetik dalam pikiran banyak orang adalah tugas seperti yang dilakukan para ahli di Pusat Konservasi (dulu namanya Balai Konservasi) DKI Jakarta, yang memperbaiki artefak atau barang-barang koleksi museum yang rusak dan memerlukan perawatan untuk menjaga kelestariannya. Misalnya memperbaiki lukisan yang sudah rapuh, atau kain bersejarah yang robek, buku-buku lama, dan sebagainya.
Memperbaiki koleksi museum semacam itu jelas memerlukan keahlian khusus. Tidak bisa dilakukan sembarang orang. Apalagi perlu diingat, koleksi museum seringkali koleksi satu-satunya yang ada. Jadi kalau diperbaiki sembarangan, malah bisa-bisa tambah rusak dan akhirnya benda bersejarah itu bisa dikatakan punah atau tak bisa dinikmati lagi oleh pengunjung karena kondisinya semakin rusak.
Namun yang ingin saya ceritakan tidaklah serumit itu. Tentu saja, karena saya dan kedua teman saya sama sekali tidak memiliki keahlian dalam bidang konservasi seperti itu. Walaupun saya seorang sarjana Arkeologi dari Universitas Indonesia, tetapi untuk mengerjakan konservasi perlu keahlian yang lebih mendalam.
Kisahnya, dimulai ketika kami, R. Andi Widjanarko, Mutiara Adriane, dan saya, anggota Indonesia Scout Journalist (ISJ), suatu komunitas yang terdiri dari para Pramuka yang senang kegiatan jurnalistik dan jurnalis yang menggemari kegiatan kepramukaan, mengunjungi Museum Sumpah Pemuda yang terletak di Jalan Kramat Raya No.106, Jakarta Pusat.
Begitulah, ketika kami ke sana, yang menjadi tujuan utama adalah memotret benda-benda yang ada hubungannya dengan sejarah kepanduan di Tanah Air. Termasuk memotret reproduksi benda-benda kepanduan, bukan benda asli namun benda reproduksi yang dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Benda-benda reproduksi itu antara lain seragam para Pandu sebelum Indonesia merdeka dan sebelum seluruh organisasi kepanduan di Indonesia dijadikan satu dalam wadah Gerakan Pramuka pada 1961.
Dua di antaranya dipajang di salah satu ruangan Museum Sumpah Pemuda itu. Seragam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang ditampilkan dalam bentuk patung Pandu Puteri KBI, serta seragam kepanduan Hizbul Wathan (HW) yang ditampilkan dalam bentuk patung Pandu Putera HW di dekat sepedanya. Dari foto-foto lama yang ada, sering kita saksikan bahwa para Pandu mengadakan petualangan baik berjalan kaki maupun bersepeda. Jadi tak salah bila sepeda kuno ditampilkan di dekat patung Pandu Putera HW.
Kami segera sadar, bahwa telah terjadi kesalahan pemasangan epolet di setangan leher Pandu Puteri KBI. Bisa jadi, tadinya epolet di pundak kanan patung Pandu Putera HW terjatuh, dan tanpa sengaja ada yang memasangnya di setangan leher tersebut. Saya segera memanggil petugas keamanan yang ada di dekat ruangan itu, meminta izin untuk melepas epolet itu dari setangan leher Pandu Puteri KBI dan memasangnya di pundak kanan patung Pandu Putera HW.
Jadilah kami ikut memperbaiki koleksi museum. Meski kecil, namun dengan perbaikan penempatan koleksi itu, dapat membantu pengunjung memperoleh gambaran yang benar. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H