Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah, “History”, dan “His Story” dari Dr. Moewardi

9 Mei 2016   15:12 Diperbarui: 9 Mei 2016   17:16 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua buku (reproduksi) tentang kepanduan Indonesia, yang berisi tulisan Dr. Moewardi (Foto: BDHS, ISJ)

Dalam Bahasa Inggris kata “sejarah” disebut history. Pengertian history adalah studi tentang masa lalu, terutama tentang masalah-masalah manusia. Ada juga yang menyebutkan sebagai, keseluruhan dari serial kejadian di masa lalu yang terkait dengan seseorang atau sesuatu.

Namun, history sering juga dikomentari sebagai his story atau ceritanya. Rangkaian kisah sejarah memang banyak dicatat dari ceritanya atau cerita mereka. Ini merupakan salah satu sumber sejarah, di samping dalam bentuk fisik, seperti artefak atau peninggalan warisan budaya lainnya. Dan his story dianggap lebih otentik dalam bentuk tulisan dibandingkan hanya cerita lisan yang disebarkan dari satu ke lain orang. Apalagi kalau tulisan itu memang tulisan dari pelaku sejarah itu sendiri.

Walaupun tetap saja diperlukan penelitian kritis dengan membandingkan pula sumber-sumber lain yang terkait sejarah tersebut. Bisa saja, tulisan dari pelaku justru “menenggelamkan” sebagian sejarah sebenarnya. Contoh yang mungkin paling banyak diingat adalah foto pengibaran Bendera Merah Putih yang kelak disebut Bendera Pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandang di Jalan Pegangsaan Timur No.56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.

Pada buku-buku sejarah yang diterbitkan Pemerintah “Orde Baru” foto itu dipotong sedemikian rupa, bahasa teknis fotografi di-cropping, sehingga Presiden Soekarno yang seharusnya terlihat dalam foto itu di posisi paling kiri, tidak terlihat. Dipotong dan hanya menyisakan Bung Hatta serta tokoh-tokoh lain yang mengibarkan dan menyaksikan pengibaran Bendera Pusaka.

Bahkan buku sejarah resmi yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang namanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) yang diberi judul “Sejarah Nasional Indonesia” dan terdiri dari enam jilid dari sejarah masa prasejarah sampai masa modern, foto Proklamasi Kemerdekaan RI juga sempat ditampilkan tanpa Bung Karno.

Untunglah belakangan hal itu dikoreksi, dan Bung Karno serta Bung Hatta mendapat tempat yang layak dalam panggung sejarah Republik Indonesia (RI). Termasuk dibuatkan patungnya di halaman bekas rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 yang sekarang menjadi Gedung Pola, serta penamaan bandar udara internasional yang menjadi pintu masuk ke Jakarta, ibu kota RI, dengan nama Bandara Soekarno-Hatta.

Berbicara soal foto sejarah itu, semua foto-foto waktu Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandang adalah karya dua bersaudara Frans dan Alex Mendur. Dua fotografer profesional itu menjadi saksi sejarah dan sekaligus mengabadikan bukti sejarah lahirnya negara baru yang bernama RI. Bahkan kabarnya, Frans Mendur sempat menyembunyikan rol-rol film hasil pemotretannya di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, ditanam di dalam tanah di bawah sebuah pohon rindang. Hal itu dilakukannya, karena dia khawatir Balatentara Jepang mencoba merampas hasil pemotretan yang menjadi bukti sejarah itu.

Di salah satu foto yang diabadikan Frans Mendur itulah, belakangan menjadi bukti pula besarnya peranan seorang bernama Dr. Moewardi, yang dalam foto bahkan sempat berdiri dekat sekali dengan Bung Karno sewaktu Bung Karno berdoa di depan seusai membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI. Selain sebagai pejuang kemerdekaan, Dr. Moewardi juga tercatat aktif sebagai dokter spesialis THT yang tak sungkan memberi pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil tanpa bayaran, dan sekaligus aktif pula mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia.

Sudah banyak disebutkan, bahwa sebelum seluruh organisasi gerakan pendidikan kepanduan dileburkan menjadi satu dalam wadah Gerakan Pramuka pada 1961, sebenarnya keinginan menyatukan hal semacam itu telah diungkapkan oleh Dr. Moewardi lebih dari seperempat abad sebelumnya. Apa yang diungkapkan Dr. Moewardi juga mendahului slogan yang populer menjelang peringatan 50 tahun Gerakan Pramuka pada 2011 dan 100 gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia pada 2012, yaitu “Satu Pramuka untuk Satu Indonesia”. Slogan itu dipopulerkan, karena setelah Reformasi pada 1998, sejumlah organisasi gerakan pendidikan kepanduan yang sebelumnya telah menyatu dalam Gerakan Pramuka, mencoba kembali berdiri sendiri.

buku-2-573045c5f77a614209ec80a9.jpg
buku-2-573045c5f77a614209ec80a9.jpg
Anak keenam Dr. Moewardi, Bapak Witjaksono Moewardi (kedua dari kiri), menjelaskan dua buku yang diberikannya. (Foto: Koleksi ISJ)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun