Seorang anggota komunitas ISJ, Mutiara Adriane (tengah), sedang mengikuti penjelasan anak keenam Dr. Moewardi, Bapak Witjaksono Moewardi (kanan, bertopi pandu) dan suami anak ketujuh Dr. Moewardi, Bapak Hardjanto Sugiharto. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Berkunjung ke Museum Dr Moewardi di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, membuat kami – para anggota komunitas Indonesia Scout Journalist (ISJ), komunitas pewarta Pramuka dan Pramuka pewarta – mengenang kembali tokoh pahlawan nasional tersebut. Ditemani anak keenam Dr. Moewardi, Bapak Witjaksono Muwardi, dan suami anak ketujuh Dr. Moewardi, Bapak Hardjanto Sugiharto, sambil melihat foto-foto yang terpampang di museum itu, kami seolah dibawa kembali ke masa kehidupan Dr. Moewardi.
Dari data sejarah diketahui bahwa Dr. Moewardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, pada 1907. Tidak banyak tulisan yang menyebut tanggal dan bulan lahirnya, namun dari salah satu data diketahui Moewardi dilahirkan pada 30 Januari 1907, bahkan lengkap dengan pertanggalan Jawa, yaitu Rebo Pahing, pukul 22.15 WIB.
Dia merupakan anak ketujuh dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni. Setelah menempuh pendidikan dasar dan menengah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kudus, Jawa Tengah, dan di Europesche Lagere School (ELS) di Pati, Jawa Tengah, ayahnya mendorong Moewardi untuk masuk ke sekolah dokter School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). Pada 1926, dia telah tercatat sebagai seorang mahasiswa tingkat tiga STOVIA. Ia kemudian melanjutkan belajar di Nederlansch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pribumi pada 1931.
Setelah 5 tahun berpraktek sebagai dokter umum, ia kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, Tenggorok (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo atau popular dengan sebutan RSCM. Pada 1939, Dr. Moewardi resmi menjadi dokter spesialis THT.
Dalam kariernya sebagai dokter, dia benar-benar berpihak pada pelayanan untuk rakyat. Bahkan dari cerita yang ada, beliau pernah mendapat panggilan Dokter Gembel, karena pergaulannya yang sering membantu masyarakat kelas bawah yang sering disebut gembel atau gelandangan. Bahkan karena tekadnya yang begitu besar untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan medis, membuat dia tak ragu mempertaruhkan jiwa raganya.
Dalam suasana revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang situasinya masih “panas”, ditambah lagi adanya pemberontakan PKI pada 1948, Dr. Moewardi tetap melanjutkan tugasnya sebagai dokter. Pada 13 September 1948, ia berangkat ke Rumah Sakit Jebres untuk melakukan operasi terhadap seorang pasien. Dalam perjalanan naik andong ke rumah sakit itulah Dr Moewardi diculik dan dibawa entah ke mana. Meskipun tidak jelas oleh siapa, namun menurut situasi saat itu, besar kemungkinan kalau Dr. Moewardi telah diculik orang-orang PKI. Merujuk kepada dua anak buahnya, Darmosalimin dan Citromargongso, yang juga hilang dan akhirnya ditemukan di sebelah selatan tanggul Keraton Kasunanan Surakarta. Berbeda dengan dua anak buahnya, jenazah Dr. Moewardi tidak pernah ditemukan sampai kini.
Berbicara tentang anak buah, Dr. Moewardi selain aktif sebagai seorang dokter yang sampai akhir hayatnya melayani rakyat, dia juga seorang pejuang kemerdekaan. Dia bisa dikatakan salah seorang tokoh Barisan Pelopor yang kemudian menjadi saksi sejarah dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.
Bahkan saat pembacaan itu, Dr. Moewardi merupakan salah satu yang berdiri paling dekat dengan Bung Karno. Konon, setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan RI dan Bung Karno memimpin doa, maka Dr. Moewardi termasuk salah satu dari empat orang yang memberikan kata sambutan. Dimulai dari Bung Karno, kemudian Bung Hatta, selanjutnya Suwirjo, dan berikutnya Dr. Moewardi.
Lahirnya pasukan pengamanan Presiden yang saat ini kita kenal sebagai Paspampres, tak lepas dari jasa seorang Dr. Moewardi. Setelah Kemerdekaan RI, dia membentuk Barisan Pelopor istimewa untuk mengawal Presiden Soekarno. Atas jasanya itu, Dr. Moewardi pernah ditawari jabatan Menteri Pertahanan, namun ditolaknya karena dia ingin terus bekerja sebagai dokter secara penuh waktu, mendedikasikan keahlian dalam bidang medis untuk masyarakat luas.
Dalam perjalanan perjuangan berikutnya, Dr. Moewardi juga membentuk Barisan Banteng. Ada juga yang mengatakan bahwa Barisan Banteng ini adalah penjelmaan dari Barisan Pelopor, setelah Barisan Pelopor itu pusatnya dipindahkan dari Jakarta ke Solo.
Anak buahnya dari Barisan Banteng itulah yang kemudian ikut hilang dan ditemukan sudah tak bernyawa. Sedangkan Dr. Moewardi sendiri tetap hilang, tak bisa ditemukan lagi. Tentu saja kehilangannya itu dicari oleh banyak pihak dan keluarganya. Dalam Museum Dr. Moewardi ada fotokopi surat keterangan yang diberikan Gubernur Militer Solo, Gatot Subroto, kepada istri Dr. Moewardi untuk mencari sang suami.
Menurut Witjaksono, walaupun telah ditempuh berbagai cara, namun keberadaan Dr. Moewardi tetap tak dapat dilacak. Dokter Moewardi telah hilang, namun tetap tak terlupakan. Jasa-jasanya kepada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia tetap dikenang dan diingat sepanjang masa. Sebagai dokter dia telah membuktikan kesetiaannya pada sumpah dokter untuk senantiasa menolong orang yang membutuhkan, termasuk rakyat kecil.
Sebagai pejuang kemerdekaan, dia pun telah membuktikan dirinya benar-benar membaktikan diri bukan untuk jabatan. Buktinya, jabatan sebagai Menteri Pertahanan ditolaknya, dan dia memilih berjuang dengan memimpin Barisan Pelopor yang kemudian menjadi Barisan Banteng, di samping tetap menjalankan tugasnya sebagai dokter.
Kami, para anggota komunitas ISJ yang mendatangi Museum Dr. Moewardi terkagum-kagum atas jasa dan baktinya kepada Tanah Air. Namun yang lebih mengagumkan lagi bagi kami para pewarta Pramuka dan Pramuka pewarta, karena Dr. Moewardi adalah seorang tokoh Pandu yang tak kecil jasanya – bila tak mau dibilang sangat besar – dalam mengembangkan gerakan pendidikan kepanduan di bumi tercinta kita ini.
(Kisah ini belum selesai, nantikan kisah berikutnya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H