Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Jadi ke “Captain America’”, Memilih Belajar Sejarah Bangsa

3 Mei 2016   20:56 Diperbarui: 3 Mei 2016   21:07 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papan nama Museum Dr. Moewardi. (Foto: BDHS, ISJ)

Judul tulisan ini memang Tak Jadi ke “Captain America”, Memilih Belajar Sejarah Bangsa. Namun sesungguhnya tulisan ini tidak untuk mempertentangkan antara film dari budaya Barat, dengan sejarah bangsa Indonesia. Tidak juga untuk mempertentangkan antara superhero dari luar negeri, dengan hero atau pahlawan dari dalam negeri.

Judul yang dibuat, hanya untuk menunjukkan betapa rencana awal yang berubah. Ya betul. Begini ceritanya, pada Senin, 2 Mei 2016 malam hari, seorang teman anggota komunitas Indonesia Scout Journalist (ISJ) mengunggah foto beserta ajakan di akun Facebook-nya, untuk menyaksikan pameran dan sejumlah aktivitas interaktif yang menyertai pemutaran film Captain America: Civil War di pusat perbelanjaan Gandaria City, Jakarta Selatan.

Tadinya, saya dan beberapa teman sudah setuju dengan ajakannya untuk menyaksikan pameran tersebut. Apalagi kami juga penggemar kisah-kisah superhero. Maka, kami pun bersepakat akan ke sana pada Selasa, 3 Mei 2016.

Namun saat saya berangkat dari rumah di bilangan Bintaro yang masuk ke dalam kota Tangerang Selatan, tiba-tiba saya teringat bahwa saya telah beberapa kali membicarakan keberadaan Museum Dr. Moewardi, yang terletak juga di Bintaro, tetapi di wilayah DKI Jakarta, tepatnya di Jakarta Selatan. Kawasan Bintaro memang terbagi dua, ada yang masuk wilayah Jakarta Selatan (DKI Jakarta), tetapi sebagian lagi masuk wilayah Tangerang Selatan (Banten).

Saya lalu menelepon R. Andi Widjanarko, sesama pendiri komunitas ISJ. Saya beritahu, bahwa saya sedang menuju alamat yang disebut sebagai tempat Museum Dr. Moewardi. Saya katakan kepadanya, kalau saya berhasil dan pemilik museum mengizinkan, saya akan mengajaknya. Kebetulan pula rumah Andi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, juga tak terlalu jauh dari alamat museum yang terletak di Jalan Cempaka III No. 16, Bintaro, Jakarta Selatan itu.

Andi setuju. Lalu saya menelepon Hamas Alrafsanjani, anggota komunitas ISJ lainnya yang juga bertempat tinggal tak terlalu jauh dari alamat yang dituju. Dia pun sepakat untuk membatalkan kunjungan menyaksikan pameran “Captain America”, dan sebaliknya berkunjung ke Museum Dr. Moewardi.

hardjanto-5728ac33197b614307c0ea4e.jpg
hardjanto-5728ac33197b614307c0ea4e.jpg
Pak Hardjanto Sugiharto (kiri) dan saya. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Begitulah, saya pun menuju alamat museum itu. Setiba di sana, setelah menunggu sebentar, saya pun disambut pemilik rumah, Ir. Hardjanto Sugiharto. Beliau adalah suami dari dr. Happy Moewardi, anak ketujuh dari Dr. Moewardi. Tadinya saya hanya ingin minta izin untuk nanti kembali bersama beberapa teman mengunjungi museum itu, tapi Pak Hardjanto malah bercerita cukup panjang lebar.

Dia senang dengan kepanduan dan kepramukaan. Walaupun kini tidak aktif lagi, dia bercerita dulu dia cukup aktif di Pandu Rakyat, salah satu organisasi kepanduan yang ada sebelum akhirnya semua organisasi kepanduan di Indonesia dileburkan menjadi satu wadah, Gerakan Pramuka, pada 1961. Dia bahkan sempat ikut Jambore Nasional yang diselenggarakan Ikatan Pandu Indonesia (Ipindo) di Karang Taruna, Pasar Minggu, Jakarta, pada 1955.

Pak Hardjanto juga bercerita bagaimana gembiranya dia bersama kawan-kawan mengadakan perjalanan dalam bentuk petualangan kepanduan ke Jawa Tengah. Hanya berbekal uang sedikit dan makanan seadanya, mereka berjalan dari Jakarta ke Jawa Tengah. Ikut menumpang kendaraan tentara, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun