Papan nama Museum Dr. Moewardi. (Foto: BDHS, ISJ)
Judul tulisan ini memang Tak Jadi ke “Captain America”, Memilih Belajar Sejarah Bangsa. Namun sesungguhnya tulisan ini tidak untuk mempertentangkan antara film dari budaya Barat, dengan sejarah bangsa Indonesia. Tidak juga untuk mempertentangkan antara superhero dari luar negeri, dengan hero atau pahlawan dari dalam negeri.
Judul yang dibuat, hanya untuk menunjukkan betapa rencana awal yang berubah. Ya betul. Begini ceritanya, pada Senin, 2 Mei 2016 malam hari, seorang teman anggota komunitas Indonesia Scout Journalist (ISJ) mengunggah foto beserta ajakan di akun Facebook-nya, untuk menyaksikan pameran dan sejumlah aktivitas interaktif yang menyertai pemutaran film Captain America: Civil War di pusat perbelanjaan Gandaria City, Jakarta Selatan.
Tadinya, saya dan beberapa teman sudah setuju dengan ajakannya untuk menyaksikan pameran tersebut. Apalagi kami juga penggemar kisah-kisah superhero. Maka, kami pun bersepakat akan ke sana pada Selasa, 3 Mei 2016.
Namun saat saya berangkat dari rumah di bilangan Bintaro yang masuk ke dalam kota Tangerang Selatan, tiba-tiba saya teringat bahwa saya telah beberapa kali membicarakan keberadaan Museum Dr. Moewardi, yang terletak juga di Bintaro, tetapi di wilayah DKI Jakarta, tepatnya di Jakarta Selatan. Kawasan Bintaro memang terbagi dua, ada yang masuk wilayah Jakarta Selatan (DKI Jakarta), tetapi sebagian lagi masuk wilayah Tangerang Selatan (Banten).
Saya lalu menelepon R. Andi Widjanarko, sesama pendiri komunitas ISJ. Saya beritahu, bahwa saya sedang menuju alamat yang disebut sebagai tempat Museum Dr. Moewardi. Saya katakan kepadanya, kalau saya berhasil dan pemilik museum mengizinkan, saya akan mengajaknya. Kebetulan pula rumah Andi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, juga tak terlalu jauh dari alamat museum yang terletak di Jalan Cempaka III No. 16, Bintaro, Jakarta Selatan itu.
Andi setuju. Lalu saya menelepon Hamas Alrafsanjani, anggota komunitas ISJ lainnya yang juga bertempat tinggal tak terlalu jauh dari alamat yang dituju. Dia pun sepakat untuk membatalkan kunjungan menyaksikan pameran “Captain America”, dan sebaliknya berkunjung ke Museum Dr. Moewardi.
Begitulah, saya pun menuju alamat museum itu. Setiba di sana, setelah menunggu sebentar, saya pun disambut pemilik rumah, Ir. Hardjanto Sugiharto. Beliau adalah suami dari dr. Happy Moewardi, anak ketujuh dari Dr. Moewardi. Tadinya saya hanya ingin minta izin untuk nanti kembali bersama beberapa teman mengunjungi museum itu, tapi Pak Hardjanto malah bercerita cukup panjang lebar.
Dia senang dengan kepanduan dan kepramukaan. Walaupun kini tidak aktif lagi, dia bercerita dulu dia cukup aktif di Pandu Rakyat, salah satu organisasi kepanduan yang ada sebelum akhirnya semua organisasi kepanduan di Indonesia dileburkan menjadi satu wadah, Gerakan Pramuka, pada 1961. Dia bahkan sempat ikut Jambore Nasional yang diselenggarakan Ikatan Pandu Indonesia (Ipindo) di Karang Taruna, Pasar Minggu, Jakarta, pada 1955.
Pak Hardjanto juga bercerita bagaimana gembiranya dia bersama kawan-kawan mengadakan perjalanan dalam bentuk petualangan kepanduan ke Jawa Tengah. Hanya berbekal uang sedikit dan makanan seadanya, mereka berjalan dari Jakarta ke Jawa Tengah. Ikut menumpang kendaraan tentara, dan sebagainya.
Satu hal yang dikatakan Pak Hardjanto adalah janji Pandu yang selalu diingatnya, untuk setiap saat berbuat kebaikan kepada orang lain. Dia sendiri mengaku bukan yang terlalu “hebat” dengan banyak tanda kecakapan di seragam seperti teman-temannya, tetapi memakai seragam Pandu saja, sudah menjadi kebanggaan buatnya.
Selepas ceritanya itu, saya pun pamit untuk bertemu dengan Andi dan Hamas. Sekitar 40 atau 50 menit kemudian, Andi datang dengan skuternya. Dia rupanya mengajak Mutiara Adriane, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia yang juga anggota Dewan Kerja Pramuka Penegak dan Pandega (DK) Kwartir Cabang Tangerang Selatan. Ane, demikian panggilannya, juga salah satu anggota komunitas ISJ.
Mengingat Hamas belum tiba, kami masuk lebih dulu ke halaman museum yang sekaligus rumah kediaman Pak Hardjanto. Kali ini yang menyambut adalah Ibu dr. Happy, istri Pak Hardjanto yang juga anak Dr. Moewardi. Tak berapa lama Pak Hardjanto ikut bergabung. Ibu dr. Happy karena ada kesibukan lain meninggalkan tempat. Namun dia sempat memberitahu bahwa sekitar 10 menit lagi akan datang kakaknya, anak keenam Dr. Moewardi, yang bisa bercerita lebih panjang lebar mengenai apa dan siapa Dr. Moewardi.
Tak lama kemudian, Hamas datang juga. Dia mengajak temannya, Alivia Soraya, anggota DK Kwartir Daerah DKI Jakarta. Dan seperti dikatakan Ibu dr. Happy, datang juga kakaknya, Bapak Witjaksono Moewardi, yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Ya, memang demikian. Seperti di awal sudah saya sebutkan tentang hero atau pahlawan dalam negeri, Dr. Moewardi adalah salah satu pahlawan nasional Republik Indonesia.
Beliau telah dianugerahi gelar pahlawan melalui Surat Keputusan Presiden RI No 190 tahun 1964. Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Solo, Jawa Tengah. Selain itu, sejumlah nama jalan di Jakarta, Cianjur, Solo, dan Denpasar, juga menggunakan nama Dr. Moewardi dan Dr. Muwardi.
Betapa senangnya kami para anggota komunitas ISJ bisa berkunjung ke Museum Dr. Moewardi dan belajar sejarah bangsa, langsung dari anak pahlawan nasional itu sendiri. Suatu perjalanan yang sebenarnya tak direncanakan, tetapi ternyata menjadi pengalaman yang menambah wawasan kami.
(Kisah ini belum selesai, nantikan kisah berikutnya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H