Sebagian kawasan Pasar Ikan. (Foto: BDHS)
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan revitalisasi di sejumlah kawasan, termasuk di kawasan Pasar Ikan, tampaknya bergulir menjadi kasus yang “dipolitisir”. Tak pelak ini terkait keberadaan seorang Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok. Kehadirannya sebagai Gubernur DKI Jakarta telah menimbulkan pro dan kontra.
Apalagi kini menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur DKI Jakarta. Ahok seolah menjadi “sasaran tembak” dari banyak pihak, terutama dari para pihak yang mengincar kursi Gubernur DKI Jakarta. Sebagai calon petahana, sampai saat ini harus diakui elektabilitas Ahok untuk dipilih kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta periode mendatang, masih cukup tinggi. Bahkan bisa dikatakan, jauh lebih tinggi dibandingkan nama-nama yang kini bermunculan sebagai calon pesaingnya di Pilkada Gubernur DKI Jakarta.
Tak pelak, setiap langkah Pemprov DKI Jakarta saat ini, diupayakan menjadi batu sandungan bagi Ahok oleh lawan-lawannya. Termasuk di kawasan Pasar Ikan. Mulai dari celoteh, “Ahok menggusur rakyat kecil”, sampai seolah Ahok yang paling bersalah, karena saat merevitalisasi Pasar Ikan, sejumlah kawasan cagar budaya ikut rusak.
Pasar Ikan dengan Museum Bahari dan Menara Syahbandar maupun lingkungan sekitarnya, memang merupakan kawasan yang bersejarah. Banyak peninggalan-peninggalan sejarah dari masa lalu, termasuk yang sudah menjadi benda cagar budaya, sesuai peraturan perundangan. Sekarang, manakala Pasar Ikan dibongkar untuk direviltalisasi, kabarnya banyak peninggalan bersejarah yang ikut rusak.
Orang misalnya mempermasalahkan tembok Zeeburg dan tembok-tembok kuno di sepanjang Pasar Ikan yang ikut rusak terkena penggusuran oleh alat berat. Sebenarnya, tidak sengaja dirusak, namun pada saat operator alat berat menggusur perumahan dan kios-kios pedagang di situ, tembok kuno itu ikut pula rusak. Bagaimana tidak? Banyak tembok kuno yang telah “ditempel’ dengan tembok baru untuk rumah-rumah penduduk maupun kios pedagang. Bahkan ada tembok baru yang menggunakan besi beton. Untuk merobohkannya, tentu tidak cukup dengan tenaga manusia, perlu bantuan alat berat.
Sayangnya, pada saat pembongkaran tidak ada yang memperhatikan bahwa sebagian di antara bangunan rumah dan kios pedagang itu menempel pada tembok kuno. Tapi memang sulit dilihat, karena cukup banyak yang sudah “bersatu” antara tembok kuno dengan tembok bangunan rumah dan kios pedagang. Bahkan ada yang “menyatukan” tembok kuno dengan menambah tembok baru di kiri, kanan, dan depan, sehingga menjadi bangunan campuran yang menggunakan tembok kuno dan bahan-bahan bangunan baru.
Banyak yang segera menyalahkan Ahok, tetapi sesungguhnya tembok-tembok kuno yang bersejarah itu, sudah cukup lama memang dibiarkan merana. Banyak dari antara kita yang mungkin tiap hari lewat di situ, tetapi tak mempedulikan. Bahkan ada yang mengatakan, sampai sekitar tahun 2008-2009, tembok-tembok kuno masih cukup terlihat, tapi kemudian makin lama makin tertutup oleh bangunan rumah penduduk dan kios pedagang.
Hal serupa juga terjadi pada Pulau Heksagon, sebuah bangunan berbentuk segi delapan, yang terletak di bagian utara Museum Bahari. Ini memang pulau buatan yang dibuat Pemerintah Kolonial Belanda. Karena agak terpisah dengan daratan, maka dibangun jembatan. Dulu tempat ini menjadi tempat akuarium-akuarium besar yang berisi hewan laut, untuk kepentingan penelitian ilmiah dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Setelah Indonesia merdeka sampai sekitar akhir 1960-an atau awal 1970-an, tempat itu menjadi tempat wisata, menyaksikan akuarium-akuarium berisi ikan-ikan beraneka rupa. Bisa dibilang ini semacam Seaworld yang sekarang ada di kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Penulis masih ingat waktu kecil, diajak orangtua dan kakak berwisata ke sana, melihat ikan dan hewan laut lainnya, kemudian pulangnya, ketika kakak penulis membeli ikan dan cumi-cumi untuk dimasak di rumah, maka untuk penulis dibelikan mainan kapal api yang terbuat dari kaleng dan untuk mengjalankannya di atas kolam atau baskom air menggunakan spiritus.
Sayangnya, tempat wisata itu kemudian ditutup. Apalagi Pulau Heksagon itu makin lama makin sering terendam air, terutama sewaktu air laut pasang. Dibiarkan merana begitu saja, kini ada juga yang menyalahkan mengapa Pulau Heksagon itu tidak dilestarikan.
Begitulah, ada kecenderungan untuk selalu melemparkan kesalahan pada orang lain. Padahal kitasebenarnya ikut membiarkan bangunan-bangunan bersejarah itu merana. Bukan hanya di Pasar Ikan, di banyak tempat lain juga terjadi hal yang sama. Bangunan bersejarah cukup banyak yang dibiarkan begitu saja, namun manakala hancur karena dimakan usia atau terkena penggusuran, baru kita ramai-ramai berteriak dan cenderung menyalahkan orang lain.
Sama seperti kisruh revitalisasi Pasar Ikan saat ini. Ada saja yang cenderung menyalahkan Pemprov DKI Jakarta, dan terutama Ahok. Padahal, kita semua salah, membiarkan semuanya itu merana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H