[caption caption="Foto Maria Walanda-Maramis. (Foto: id.wikipedia.org)"][/caption] Museum Kebangkitan Nasional yang terletak di Jalan Abdul Rachman Saleh, Jakarta Pusat, merupakan salah satu museum di Jakarta yang cukup sering mengadakan seminar membahas tokoh-tokoh dan peristiwa yang bersejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Seperti yang berlangsung Kamis (22/10) saat museum yang dipimpin R. Tjahjopurnomo itu mengadakan Seminar Tokoh: Maria Walanda Maramis.
Meski ditulis “Maria Walanda Maramis” dan para pembicara dalam seminar itu juga menulis serupa pada makalah dan presentasi mereka, saya memilih menulis nama tokoh perempuan asal Sulawesi Utara itu dengan “Maria Walanda-Maramis”. Perhatikan, ada tanda – (garis penghubung) antara kata “Walanda’ dan kata “Maramis”.
Mengapa demikian? Ini untuk tidak membingungkan publik. Bila ditulis tanpa garis penghubung, karena Maria sudah bersuami, maka bisa disangka bahwa Maramis adalah nama suaminya. Apalagi mengingat kebiasaan umum, meletakkan nama suami di belakang nama istri. Padahal, sesungguhnya nama suami Maria, yang bernama lengkap Maria Josephine Catherine (ada juga yang menyebutnya Catherina), adalah Joseph Frederick Caselung Walanda.
Joseph yang mempunyai nama keluarga Walanda. Sementara nama keluarga Maria adalah Maramis. Maramis adalah ayah dari Maria, walaupun dari sumber-sumber sejarah yang ada, masih belum diketahui jelas apakah memang nama ayah Maria hanya satu kata atau ada nama depannya. Kebiasaan umum di kalangan masyarakat Minahasa dan Sulawesi Utara umumnya, nama seseorang terdiri dari nama depan, sering juga ada nama tengah yang bisa terdiri dari dua kata, dan nama belakang yang merupakan nama keluarga.
Sebenarnya, menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang berasal dari Sulawesi Utara, khususnya para perempuan yang sudah bersuami untuk meletakkan nama keluarga mereka di belakang nama suami. Namun agar orang mudah mengetahui bahwa dia adalah suami dari X, maka nama keluarga perempuan itu ditambahkan dengan garis penghubung. Jadi misalnya nama keluarga perempuan itu Y, cara penulisannya adalah, nama perempuan itu lalu disambung dengan X-Y. Artinya, perempuan itu bersuami yang mempunyai nama keluarga X dan si perempuan itu sendiri mempunyai nama keluarga Y. Nama keluarga ini juga sering disebut Fam (Family) oleh mereka yang berasal dari Sulawesi Utara.
Hal lain yang menarik perhatian saya, ketika salah seorang pembicara menyebutkan soal nama Maria itu. Menurut pembicara tersebut, “Maria Walanda Maramis lahir di Kema, Minahasa, pada 1 Desember 1872 dengan nama Maria Josephine Catherine Maramis. Nama itu adalah nama pembaptisan dari gereja”.
Memang, bagi mereka yang beragama Katolik, saat pembaptisan sering ditambahkan nama-nama Santo/Santa atau orang suci pada nama mereka. Sehingga mungkin disangka bahwa Maria adalah nama baptis bagi seorang Josephine Catherine. Padahal dari data sejarah yang ada, Maria Walanda-Maramis adalah seorang Kristen (Protestan). Bagi orang Kristen, saat dilakukan pembaptisan tidak ada tambahan nama apa pun. Jadi nama Maria Josephine Catherine memang namanya sejak lahir.
Sebagai informasi secara singkat, kata “baptis” atau “pembaptisan” sebenarnya berasal dari kata “ba’pti-sma” dalam bahasa Yunani. Berasal dari kata kerja “ba’pto” yang menerangkan proses pembenaman ke dalam air, memasukkan seorang dan mengangkatnya kembali dari dalam air. Suatu ritual dalam agama Kristen (Protestan) dan Katolik untuk menyatakan seseorang secara resmi telah dibenamkan, dibersihkan dari dosa-dosanya, dan diangkat kembali menjadi pengikut Kristus, baik dalam agama Kristen (Protestan) maupun Katolik.
Walaupun kemudian dalam perkembangannya, baptis atau pembaptisan tidak selalu dilakukan dengan membenamkan dan mengangkat seseorang ke dalam air. Ada yang cukup dengan memercikkan air ke wajah orang tersebut. Di banyak gereja saat ini, pembaptisan dilakukan pada masa seseorang masih bayi atau di bawah lima tahun, walaupun ada juga yang melakukan pembaptisan untuk orang-orang dewasa.
Tulisan ini memang tidak membahas tentang baptis dan pembaptisan, hanya memberikan gambaran umum saja kepada pembaca non-Kristen/Katolik, agar dapat lebih mudah dimengerti. Pastinya, tulisan ini juga tidak bermaksud untuk mempertangkan antara Kristen (Prostestan) dan Katolik. Saya hanya ingin mengingatkan mereka yang mendalami sejarah, agar sebaiknya lebih teliti – kalau perlu cek dan ricek – dan tidak semata-mata mengambil bahan dari satu sumber begitu saja.
Tetapi bisa saja justru saya yang salah. Bisa saja ternyata Maria Walanda-Maramis adalah seorang Katolik, dan memang nama Maria merupakan nama baptisnya. Untuk itu, tulisan ini sengaja saya muat di Kompasiana, agar mendapat tanggapan dan koreksi dari para pembaca. Begitu pula dengan cara saya yang menulis nama tokoh perempuan tersebut dengan Maria Walanda-Maramis.
Menanggapi tulisan di atas, bisa saja nanti ada yang berkomentar, mengapa harus dimasalahkan agama Maria, bukankah yang penting dibahas adalah peran Maria Walanda-Maramis dalam sejarah nasional. Sekali lagi, saya tidak ingin mempertentangkan soal agama, hanya karena seminar tersebut adalah suatu seminar sejarah dan para pembicara juga para sejarawan, tentunya perlu lebih hati-hati dalam memberikan informasi kepada para peserta seminar.
Apa pun itu, Maria Walanda-Maramis merupakan salah satu tokoh perempuan penting dalam sejarah Indonesia. Kisahnya mungkin dapat dibaca di banyak media, termasuk di Wikipedia dan tulisan-tulisan yang dapat dicari dengan menulis namanya di mesin pencari internet, seperti Google. Dia juga telah memperoleh pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu pahlawan nasional, tepatnya pahlawan pergerakan nasional, pada 20 Mei 1969. Gelar Pahlawan Nasional itu menunjukkan bahwa Maria Walanda-Maramis memang telah berjasa besar bagi bangsa dan negara kita.
Mengutip tulisan Peter Kasenda, sejarawan yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar tersebut, “Diakui Maria Walanda Maramis sebagai Pahlawan Nasional, maka gagasan-gagasannya yang menggetarkan Minahasa secara resmi diakui. Kepahlawanan memang bukan konsep sejarah melainkan penilaian terhadap aktor sejarah. Jadi kepahlawanan seorang – resmi atau tidak resmi – adalah pengakuan bahwa kehadiran dan peranan historis yang pernah dijalankannya telah memberikan kepuasan kultural”.
Ditambahkan oleh Peter Kasenda, “Ia, sang pahlawan telah menjadi penghuni sebuah wilayah dunia makna. Pada waktunya, sang pahlawan menjadi bagian yang integral dari mitos nasional, menjadi bagian dari landasan historis yang sah untuk keutuhan bangsa. Sebagai mitos, maka sang pahlawan nasional menjadi sumber contoh dari sistem perilaku”.
Dalam kaitan dengan inilah, seminar yang digelar Museum Kebangkitan Nasional menjadi penting. Paling tidak dapat membantu peserta seminar yang sebagian besar terdiri dari generasi muda, belajar mengenai perilaku para tokoh pahlawan itu, untuk selalu berusaha membantu orang lain, membela kebenaran, dan mementingkan serta memperjuangkan kepentingan orang banyak daripada kepentingan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H