Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perpustakaan, Pilihan Cari Informasi dari Masa Lalu

15 Oktober 2015   22:35 Diperbarui: 16 Oktober 2015   23:21 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto perjalanan di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, 15 Oktober 2015. (Foto: Selvina Agusnita & Berthold DHS)"][/caption] Hari masih pagi di Kamis (15/10) ketika pesan masuk ke telepon genggam saya. “Bert, yuk kulineran. Gado-gado Tamansari”, demikian ajak Candrian Attahiyat, teman seangkatan di Jurusan Arkeologi pada Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Setuju dengan ajakannya, maka saya pun berjumpa Candrian dan dua teman lainnya di Stasiun Kereta Api (KA) Mangga Besar.

Kami semua memang menggunakan jasa commuter line, Kereta Rel Listrik (KRL), dari tempat tinggal masing-masing di Jabodetabek. Candrian dari Bekasi, sedangkan saya walaupun bertempat tinggal di kawasan Bintaro Jaya, tetapi sempat menggunakan kendaraan sampai Stasiun KA Juanda di dekat Pasar Baru, Jakarta Pusat, sebelum berganti moda transportasi, naik KRL ke Mangga Besar. Dua teman lainnya, Djulianto Susantio – juga teman seangkatan di Jurusan Arkeologi FSUI – dan Selvina Agusnita yang bersama Djulianto aktif di Komunitas Pencinta Museum Indonesia (KPMI), juga menggunakan KRL dari Juanda, setelah berangkat dari rumah masing-masing. Hanya mereka lebih dulu tiba di Stasiun KA Mangga Besar, belakangan baru saya tiba sekitar pukul 11.30 WIB.

Dari stasiun tersebut, Candrian memandu untuk menuju ke tempat Gado-gado Tamansari. Ini adalah gado-gado yang terkenal sejak lama di kawasan Jakarta Kota, dan sering disebut-sebut para pencinta kuliner di Jakarta. Bersama Candrian dan Djulianto, kami memang sudah beberapa kali mengadakan “wisata kuliner”, khususnya mengunjungi tempat-tempat makan yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu.

Saya baru pertama kali ke sini, demikian pula Djulianto dan Selvina. Tak heran bila banyak yang menggemari, karena gado-gadonya memang enak, bumbunya pun “medok”. Cuma uniknya, di Gado-gado Tamansari, pembeli ditawarkan juga untuk menambah dengan tahu dan tempe goreng. Dua makanan ini mungkin biasa, karena potongan tahu dan tempe goreng juga sering terdapat di dalam gado-gado. Tetapi bukan itu saja. “Ayam gorengnya juga, Pak?,” penjual gado-gado itu menawarkan.
Rasanya baru pertama kali inilah saya menikmati gado-gado dengan tambahan lauk ayam goreng. Entah karena lapar atau memang enak, kami menghabiskan semua makanan termasuk tambahan masing-masing satu potong ayam goreng.

Dari tempat itu, kami kembali ke Stasiun KA Mangga Besar, naik KRL, dan turun di Stasiun KA Sawah Besar. Lalu kami menuju kawasan perbelanjaan Pasar Baru yang jaraknya tak terlalu jauh dari stasiun itu. Candrian kembali memandu kami. Berputar sejenak, kami diajak ke Kelenteng Sin Tek Bio. Tempatnya tak jauh dari Bakmi Gang Kelinci dan Bakmi Aboen yang terkenal itu. Candrian mengajak makan lagi dengan memilih salah satu dari dua tempat penjual bakmi itu, tapi karena perut masih kenyang, kami menolaknya.
Kelenteng ini menurut ceritanya berdiri sejak abad ke-17. “Udah foto-foto aja, nanti cari bahannya di-google atau ke perpustakaan aja,” tutur saya yang di-iya-kan Candrian saat Djulianto ingin menulis tentang kelenteng tersebut.

Dari situ, kami menyusuri lorong Pasar Baru yang penuh pertokoan di kanan dan kirinya. Beberapa bangunan dengan arsitektur lama yang masih bertahan, menjadi pilihan kami untuk membahasnya secara santai. Selanjutnya kami bergerak ke arah Galeri Foto Antara yang juga masih di lingkungan pasar Baru.

Di tempat ini, ada juga museumnya. Kami bisa melihat perkembangan Kantor Berita Antara dari masa ke masa. Kebetulan pula masih berlangsung pameran “70 Tahun HistoRI Masa Depan” yang berisikan foto-foto, reproduksi uang kertas dan reproduksi prangko dari masa perjuangan kemerdekaan RI. Oh ya, bicara soal uang kertas, di Pasar Baru kami sempat mampir di pedagang uang kertas untuk mereka yang hobi mengoleksinya atau sering juga disebut hobi numismatik. Saya sempat membeli dua lembar uang kertas dari tahun 1990-an yang sekarang sudah tak beredar lagi, untuk saya berikan kepada sahabat di luar negeri yang juga mempunyai hobi numismatik.

Saya pun memotret beberapa foto dan reproduksi prangko di situ. Rencananya, akan saya jadikan ilustrasi untuk tulisan saya nanti. Sedangkan mengenai bahan tulisannya, teringat percakapan sebelumnya, saya memutuskan akan mencarinya di perpustakaan atau meng-google saja.

Soal perpustakaan dan mencari di internet juga sempat dibahas, saat kami beristirahat sambil minum jus buah di sebuah restoran di dekat Galeri Foto Antara. Djulianto memperlihatkan pesan berupa foto ilustrasi dari masa lampau yang diterimanya. Candrian memberitahu bahwa gambar itu ada di sebuah buku lama, Oude en Nieuwe in Oost Indien (Lama dan Baru di Hindia-Belanda), karya Francois Valentijin. Saya langsung menyambar, “Kalau informasinya kurang di-google, cari saja di Perpustakaan Nasional. Kayaknya saya pernah lihat ada di dalam katalog Perpustakaan Nasional”.

Menjadi pencinta sejarah dan kepurbakalaan seperti Candrian, Djulianto, Selvina, dan saya, memang tak pelak masih membutuhkan perpustakaan. Belum semua bahan dari masa lalu isinya secara lengkap dan terinci dapat dicari dan dilihat di internet. Masih cukup banyak bahan seperti itu yang masih perlu dicari di perpustakaan. Jadi, perpustakaan tampaknya tetap menjadi pilihan untuk mencari dan mendapatkan informasi dari masa lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun