[caption id="attachment_363904" align="alignnone" width="1017" caption="Majalah "Djaja" dengan sampul muka bergambar Presiden Soekarno dan Pramuka. (Foto: koleksi pribadi)"][/caption]
Majalah Mingguan Djaja No. 189 – 4 September 1965. Bergambar sampul dengan keterangan di dalamnya, “Presiden/Pramuka Agung dengan didampingi Komandan Upatjara Ati Surjati menginspeksi barisan pada apel besar Pramuka dihalaman Istana”.
Mingguan Djaja yang terbit setiap Sabtu merupakan salah satu majalah mingguan yang amat digemari pada awal 1960-an. Sampul muka tersebut menampilkan foto bersejarah bagi Gerakan Pramuka, suatu gerakan pendidikan kepanduan nasional yang didirikan melalui “perintah” Presiden Soekarno untuk melebur puluhan organisasi kepanduan yang ada menjadi satu organisasi saja. Maka, pada 20 Mei 1961 dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 yang menyatakan bahwa Gerakan Pramuka adalah satu-satunya organisasi nasional kepanduan yang ada di Indonesia. Badan atau organisasi yang mirip atau serupa dengan itu, dilarang keberadaannya.
Kemudian pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka diperkenalkan kepada masyarakat luas melalui penyerahan Panji Pramuka dari Presiden Soekarno kepada pimpinan nasional Gerakan Pramuka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Panji tersebut lalu diarak keliling kota Jakarta. Sejak saat itu, tiap 14 Agustus diperingati sebagai Hari Pramuka.
[caption id="attachment_363901" align="alignnone" width="710" caption="Ada buku, ada majalah semua tentang Pandu dan Pramuka. (Foto: koleksi pribadi)"]
Foto pada sampul muka Mingguan Djaja diambil pada peringatan Hari Pramuka pada 14 Agustus 1965. Saat itu dan sampai awal 1980-an, peringatan Hari Pramuka memang dilaksanakan di halaman Istana Negara. Namun berbeda dengan Presiden Soeharto dan Presiden-presiden RI berikutnya yang mengenakan seragam Pramuka tiap kali menjadi “Pembina Upacara” pada Hari Pramuka, Presiden Soekarno tetap mengenakan seragam kebesarannya. Bahkan setangan leher – yang sering juga disebut kacu atau hasduk – Pramuka, tidak dikalungkan di lehernya, tetapi diletakkan atau disampirkan di pundak kanannya.
Konon menurut informasi yang diterima penulis, Presiden Soekarno menganggap semua organisasi adalah “anak”nya, dan dia sebagai Bapak harus berdiri di atas semua. Itu bukan berarti Presiden Soekarno tidak menghormati Pramuka, justru konon kabarnya dia menyampirkan setangan leher di pundak kanannya sebagai tanda bahwa Pramuka juga salah satu beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya.
Dalam foto sampul itu terlihat Presiden Soekarno menggandeng tangan komandan upacara – yang sekarang disebut sebagai pemimpin upacara – saat memeriksa barisan pada apel besar Hari Pramuka itu. Ini juga merupakan simbolis bahwa sebagai Bapak dia selalu menggandeng dan membimbing “anak”nya untuk berjalan bersama.
[caption id="attachment_363902" align="alignnone" width="789" caption="Buku terbitan 1955 dan majalah terbitan 1941 tentang Pandu/Pramuka. (Foto: koleksi pribadi)"]
Dalam foto berikutnya yang menyertai tulisan ini, ada pula buku berjudul Perkemahan dan Majalah Pemimpin. Buku Perkemahan disusun oleh Suardiman Ranuwidjojo dan diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P dan K di Jakarta pada 1955. Kementerian yang sekarang kita kenal dengan nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sesuai judulnya, isinya mengungkapkan antara lain, “Arti dan Guna Perkemahan dalam Kepanduan”, “Matjam Perkemahan”, “Hal Tempat”, “Perkemahan Regu atau Pasukan”, dan berbagai hal penting yang perlu diketahui dalam berkemah.
Di bagian akhir tercantum lirik dan notasi angka lagu Peringatan Baden-Powell yang juga diciptakan oleh Suardiman Ranuwidjojo. Di situ diterakan pula keterangan bahwa lagu tersebut “telah dinjanjikan IPINDO Semarang pada 22 Pebruari 1953”. IPINDO adalah singkatan dari Ikatan Pandu Indonesia, yang sama seperti Gerakan Pramuka merupakan ikatan dari berbagai organisasi kepanduan yang ada di Indonesia. Bedanya, dalam IPINDO, organisasi-organisasi kepanduan tetap berdiri sebagai organisasi yang independen dan tetap menggunakan nama serta seragam masing-masing, sedangkan dalam Gerakan Pramuka, semua organisasi kepanduan yang tadinya ada dilebur menjadi satu dengan satu nama saja yaitu Gerakan Pramuka.
Sedangkan 22 Februari adalah hari lahir Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell, dan setiap tanggal 22 Februari selalu diperingati sebagai Hari Baden-Powell atau dalam Bahasa Inggris ada yang menyebutnya sebagai Founder’s Day dan Thinking’s Day oleh para Pandu/Pramuka di seluruh dunia.
Selain buku, seperti disebutkan ada juga Majalah Pemimpin yang dalam ejaan di sampul muka majalah itu disebut sebagai Madjallah Pemimpin. Majalah Pemimpin tersebut adalah edisi Tahun III No.2 tanggal 20 April 1941. Dituliskan di halaman sampul mukanya, “Terbit seboelan sekali oentoek pemimpin-pemimpin pandoe seloeroeh Indonesia. Penerbit: Kwartier Besar Kepandoean Bangsa Indonesia. Mengoetip tidak deengan persetoedjoean Redaksi, tidak diperkenankan”.
[caption id="attachment_363903" align="alignnone" width="839" caption="Seorang Pramuka membaca majalah "]
Keduanya, baik buku maupun majalah tersebut, juga merupakan bagian dari sejarah kepanduan nasional di Indonesia yang kemudian menjadi Gerakan Pramuka. Inilah cerita dari masa lalu, cerita sejarah yang “dilestarikan” melalui keberadaan lembaran-lembaran majalah dan buku tentang Pramuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H