Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berinvestasi dengan Koleksi? Prangko? Batu Akik?

19 April 2015   23:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang mencari cara berinvestasi yang menguntungkan. Baik untuk mendapatkan untung dalam jangka pendek, maupun jangka panjang. Beragam cara dilakukan, mulai dari yang konvensional seperti menabung di bank dalam bentuk tabungan dan deposito atau menyimpan logam mulia, sampai membeli saham, reksadana, bahkan dalam bentuk properti seperti tanah, rumah, dan apartemen.

Tak sedikit juga yang berinvestasi secara langsung dalam bidang usaha. Memanfaatkan kelebihan uang yang dimiliki untuk membuka bidang usaha tertentu. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda mencoba berinvestasi untuk “mengembangbiakkan” uang yang Anda miliki?

Beberapa lainnya mencoba berinvestasi dengan membeli benda-benda koleksi. Mulai dari koleksi yang mahal seperti lukisan atau beragam bentuk seni rupa lainnya – termasuk keramik-keramik kuno – sampai yang harganya terjangkau seperti prangko baru atau figurine atau action figure sejenis boneka-boneka kecil, misalnya figurine dan action figure berbagai superhero, mulai dari Batman, Superman, dan lainnya. Ada juga yang mengoleksi figurine seperti Snoopy, Tintin, tokoh-tokoh dari komik Disney, dan sebagainya.

Meski pun disebutkan harganya terjangkau, tetapi bukan berarti tak ada yang mahal. Benda-benda yang ukurannya kecil seperti prangko dan figurine serta action figure, tak sedikit pula yang harganya ribuan dolar bahkan bisa sampai jutaan dolar, seperti salah satu prangko dari British Guiana (sekarang dikenal dengan nama Guyana) dengan harga satuan 1 sen. Prangko yang diterbitkan 1856 disebut-sebut sebagai prangko termahal di dunia, dan dalam lelang tahun lalu, terjual dengan harga US$ 9.480.000. Bila dirupiahkan berarti sekitar Rp 118.500.000.000).

Dalam bincang-bincang dengan Radio Sonora Jakarta Sabtu (18/4) malam yang dipandu penyiar Siska, Manajer Filateli PT Pos Indonesia, Tata Sugiarta, juga menyinggung mengenai hal itu. Disebutkannya, benda filateli yang merupakan benda koleksi banyak peminatnya, dapat menjadi investasi karena harganya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Walaupun Tata Sugiarta mengingatkan, tidak semua prangko yang sudah kuno harganya mahal. Sekaligus mengingatkan bahwa tidak semua prangko dan benda filateli yang menjadi barang koleksi, dapat menjadi investasi yang menjanjikan.

Begitu pula dengan benda koleksi lainnya. Seperti foto ilustrasi dalam tulisan di Kompasiana berjudul “Ke Jepang, ke Jepang” (baca di sini: http://edukasi.kompasiana.com/2015/04/17/ke-jepang-ke-jepang-712978.html) Foto di tulisan itu menampilkan sejumlah setangan leher yang juga disebut kacu atau hasduk, koleksi dari seseorang. Ada yang berasal dari Maldives (Kepulauan Maladewa), ada juga yang berasal dari Indonesia. Paling kanan, setangan leher berwarna ungu adalah setangan leher yang langka, karena hanya dibuat dua buah. Setangan leher itu dari tahun 2007. Sewaktu dibuat, harga bahan dan ongkos produksinya sekitar Rp 50.000. Sekarang sudah ditawar untuk dibeli oleh kolektor lain dengan harga penawaran Rp 150.000.

Kalau dilihat sepintas, maka ada kenaikan nilai benda koleksi sebesar 300 persen. Namun bila diperhitungkan dengan saat pembuatan, sudah 8 tahun berlalu, berarti kenaikan tiap tahun hanya 37,5 persen. Itu pun sebenarnya masih terbilang bagus, karena bunga deposito dan tabungan setiap tahun hanya sekitar 8 persen saja.

Benarkah Demikian?

Tetapi benarkah demikian? Bila ditelusuri, pada 2007 nilai rupiah terhadap dolar adalah US$ 1 = Rp 9.600. Sekarang US$ 1 = Rp 12.900. Jadi nilai Rp 50.000 pada 2007 adalah setara sekitar US$ 5,30. Sedangkan sekarang kalau pun benar-benar mau dibeli sebesar Rp 150.000 berarti setara sekitar US$ 11,60. Itu berarti kenaikan tidak sampai 300 persen, tetapi dari US$ 5,30 menjadi US4 11,60 hanya terjadi peningkatan sekitar 200 persen. Berarti tiap tahun terjadi peningkatan nilai sekitar 25 persen. Itu pun kalau benar-benar ada yang menawar ingin membeli Rp 150.000, tetapi kalau tidak ada yang menawar, nilainya tetap sama sewaktu dibeli atau dibuat. Berarti peningkatannya adalah 0 persen alias tidak ada peningkatan nilai sama sekali.

Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah masalah perawatan dan penyimpanan. Untuk benda koleksi yang kecil dan mudah disimpan seperti setangan leher dari kain, mungkin tak terlalu masalah. Tetapi untuk benda koleksi seperti lukisan yang ukurannya cukup besar atau benda koleksi dari kertas seperti prangko, buku-buku, dan sebagainya yang di negara tropis seperti Indonesia mudah rusak karena kelembabannya tinggi, maka perlu biaya penyimpanan dan perawatan yang harus diperhitungkan.

Lalu bagaimana dengan benda koleksi seperti batu akik yang saat ini menjadi “trending topic” di mana-mana. Cincin batu akik biasa yang dua atau tiga tahun lalu masih bisa diperoleh seharga Rp 15.000 sampai Rp 25.000 saja, sekarang nilainya meningkat berkali-kali lipat. Cincin batu akik biasa saja ditawarkan seharga Rp 100.000. Apalagi kalau batu akiknya disebut-sebut oleh pedagangnya langka dan bernilai tinggi. Bisa jutaan rupiah, puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.

Ada pedagang yang mengiming-imingi nilai investasi yang tinggi bakal diperoleh oleh para kolektor batu akik. Tapi hati-hati jebakan monkey business yang sudah sering diungkapkan banyak orang. Bagi yang belum tahu apa itu monkey business, silakan minta bantuan “Mbah Google” dengan mengetik “monkey business” di mesin pencarinya.

Mau lebih banyak tahu lagi, mintalah pendapat dari para kolektor – apa saja – yang sering mengikuti jual-beli benda koleksi. Ada benda koleksi yang harganya “digoreng”, sehingga lebih tinggi dari nilai sebenarnya. Caranya bisa macam-macam. Ada yang dengan sengaja menawar benda koleksi milik teman atau saudaranya sendiri, kemudian dibeli dengan harga mahal. Bukti pembelian itu kemudian diumumkan ke mana-mana, sehingga banyak yang “terjebak” mengira benda koleksi itu memang mahal.

Ada lagi yang lebih “gila”. Misalnya, seorang kolektor prangko sengaja membeli sebanyak-banyaknya, kalau bisa semuanya, prangko yang baru terbit. Seperti diketahui, kecuali jenis prangko definitif yang dipakai untuk keperluan sehari-hari, maka jenis-jenis prangko lainnya hanya dicetak sekali. Kalau sudah habis terjual, tidak dicetak ulang lagi.

Ketika kolektor itu sudah menguasai hampir semua prangko yang baru terbit itu, dia masih mencoba menawar kepada orang-orang lain yang sempat membeli prangko itu. Bisa jadi dua atau tiga kali lipat dari harga yang sebenarnya dibeli di kantor pos. Banyak yang tertarik dengan tawaran itu dan menjual prangko mereka kepada kolektor itu. Kini, bisa jadi kolektor tersebut memiliki 95 persen atau lebih stok prangko tersebut.

Di sinilah dia mulai memainkan harga, dengan mengumumkan lewat berbagai publikasi bahwa nilai prangko tersebut sekarang 5 atau 10 kali lipat harga nominal (satuan) sewaktu dibeli di kantor pos. Kalau kolektor itu cukup pandai, dia bisa membuat berbagai promosi tentang kelangkaan prangko itu dan merupakan investasi yang bakal mendatangkan keuntungan di kemudian hari. Mereka yang “termakan” publikasinya, mulailah membeli prangko itu. Sampai akhirnya ketika kolektor itu sudah mendapat banyak keuntungan, maka mereka yang membelinya kini bingung karena prangko di tangan mereka sudah ditawarkan ke mana-mana tak ada yang mau membeli dengan harga mahal. Tentu saja tak ada yang mau, karena pada dasarnya itu bukan prangko mahal dan biasa saja.

Hal serupa bisa terjadi pada kolektor-kolektor baru yang kini mulai mengoleksi batu akik. Melihat kecenderungan nilai batu akik saat ini yang cukup tinggi, banyak yang mulai mengoleksi dengan harapan bisa berinvestasi pada batu akik. Harapan yang bisa saja sia-sia, karena bukan tidak mungkin bila “musim berbunga” batu akik sudah usai – ada yang memprediksi paling lama 2-3 tahun lagi – maka nilai batu akik anjlok atau tak ada peningkatan sama sekali.

Carilah Kesenangan

Jadi anjuran untuk mengoleksi sesuatu benda, jangan mengoleksi untuk investasi. Koleksilah, benda apa pun, karena memang senang dan ingin mengoleksinya. Carilah kesenangan dalam koleksi benda itu. Mulai dari kesenangan mendapatkan tambahan pengetahuan mempelajari benda koleksi yang dimiliki, misalnya pengetahuan tentang seni lukis bagi kolektor lukisan, atau pengetahuan tentang batu-batu permata bagi kolektor batu akik, sampai kesenangan mendapat teman baru yang sama-sama menyenangi koleksi tertentu.

Salah satu kesenangan mengoleksi benda yang juga dapat diperoleh, adalah dengan memperlihatkan koleksi yang dimiliki kepada orang lain. Para kolektor prangko misalnya, setiap tahun ada berbagai pameran filateli yang bisa menjadi ajang memamerkan benda koleksi mereka. Bahkan pameran filateli tak sedikit yang sifatnya kompetisi, jadi kolektor bisa memamerkan benda koleksi mereka sekaligus mendapatkan medali sesuai penilaian dewan juri yang merupakan para pakar dalam bidang filateli.

Orang juga sering menyebutkan, mempunyai benda koleksi dapat menghilangkan stres atau ketegangan. Tak usah heran bila melihat saat beberapa calon penumpang kendaraan umum asyik menggosok-gosok cincin batu akik mereka saat menunggu kendaraan yang akan mereka tumpangi. Tak sedikit pula kolektor lukisan yang menyempatkan waktu memandang bermenit-menit salah satu koleksi lukisannya, manakala stres melanda sang kolektor. Begitu pula seorang kolektor prangko yang merasa terhibur saat membuka-buka kembali album koleksinya.

Jadi intinya, kalau ingin memulai hobi mengoleksi suatu benda, carilah kesenangan di dalamnya. Jangan mengoleksi karena ingin berinvestasi. Lupakan slogan atau ajakan “koleksi benda XYZ sama dengan berinvestasi, akan memberikan keuntungan jangka panjang”. Jadi kalau suatu saat ingin menjual benda koleksinya ternyata tak ada yang mau membeli atau kalau pun ada yang mau membeli tidak dengan harga tinggi sesuai yang diimpikan, kolektor bersangkutan tak menjadi kecewa.

Paling tidak selama memiliki benda koleksi itu, kolektor itu telah mendapatkan banyak kesenangan yang tak dapat dinilai dengan uang. Dapat tambahan pengetahuan dan semakin pandai, dapat tambahan sahabat sesama kolektor dan semakin mampu bersosialisasi, dan dapat menghilang stres sehingga hidup menjadi lebih sehat. Bukankah semua itu sulit dinilai dengan uang, kalau tak mau dikatakan jauh lebih bernilai dari sekadar uang.

Sebaliknya, kalau ternyata benda koleksi yang kita miliki belakangan mampu mendatangkan keuntungan finansial bagi diri kita karena terjual mahal, anggaplah itu sebagai bonus. Bukan hal yang memang utama dan menjadi tujuan kita mengoleksi suatu benda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun