Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Hentikan Sikap Mengagung-agungkan Valuta Asing

14 April 2015   21:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:06 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uang memang sering bikin ribut. Bahkan kalau mau diamati, banyak perseteruan – bila tak mau dibilang hampir semua – terkait soal uang. Akibatnya, uang juga seolah-olah “diagung-agungkan” oleh sebagian kalangan. Seperti saat ini, uang kembali menjadi perbincangan di kalangan pelaku bisnis, khususnya tentang valuta atau mata uang asing. DIkabarkan oleh Bank Indonesia, setiap bulan terdapat transaksi keuangan dalam negeri yang menggunakan valuta asing tak kurang dari US$ 6 miliar.

Hal ini memang bisa membingungkan, bagaimana mungkin transaksi di dalam negeri dilakukan dengan mata uang asing. Padahal dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang mata uang dijelaskan bahwa transaksi bisnis di dalam negeri haruslah menggunakan mata uang Republik Indonesia (RI) yaitu rupiah. Memang, masih ada pengecualian, tetapi tak banyak. Misalnya bila terkait dengan pelaksanaan APBN, hibah dari luar negeri atau untuk negara lain, simpanan (tabungan, deposito, atau lainnya) yang memang merupakan simpanan valuta asing, dan tentu saja transaksi internasional.

Tapi selain itu, seharusnya semua transaksi di dalam negeri menggunakan mata uang rupiah. Itulah sebabnya, agak mengherankan bila transaksi dengan valuta asing jumlahnya besar sekali. Padahal sama seperti prangko, mata uang rupiah juga merupakan bukti kedaulatan berdirinya negara Republik Indonesia. Bila di dalam negeri sendiri tak mau menggunakan mata uang rupiah, lalu bagaimana lagi mau menjadikan ekonomi nasional sebagai “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), seperti pernah diungkapkan Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Rupiah seolah kalah “agung” dibandingkan valuta asing di negaranya sendiri.

Agaknya hal itulah yang mendasari Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan yang patut diapresiasi semua pihak, dan dilaksanakan dengan baik. Mudah-mudahan dengan peraturan itu, sikap “mengagung-agungkan” valuta asing tidak lagi terjadi saat bertransaksi di dalam negeri.

Sampai-sampai karena menjual software maupun hardware elektronik yang diimpor dari luar negeri, “ketakutan” valuta asing naik-turun, membuat beberapa retailer sempat menaruh harga dalam valuta asing. Walaupun kalau dibayar dalam bentuk rupiah mereka juga tak menolak, asalkan disesuaikan dengan kurs valuta asing saat itu.

Dalam hal yang berbeda, penulis pribadi juga berharap sikap “mengagung-agungkan” valuta atau mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat (AS), juga tak terjadi lagi saat penukaran dari atau ke valuta asing di bank atau lembaga penukaran valuta asing (money changer) resmi. Hal yang pernah juga diungkapkan oleh beberapa teman dan kerabat, mengeluhkan perilaku bank atau lembaga penukaran valuta asing di Indonesia, ketika mereka pergi ke sana.

Begitu menukar dolar AS, pihak bank atau lembaga penukaran valuta asing, hanya mau menerima yang kondisinya mulus, tidak ada lekukan atau coretan, dan sedapat mungkin edisi dari cetakan tahun-tahun terbaru. Kalau dolar AS yang ditukarkan ada lekukan sedikit saja, apalagi kalau bekas pakai – misalnya bekas kembalian berbelanja di AS – maka kita harus rela menerima penukaran yang dinilai lebih rendah dari kurs valuta asing yang berlaku hari itu. Misalnya, dolar AS yang seharusnya US$ 1.- dapat ditukar dengan Rp 12.900, hanya gegara sedikit tertekuk, nilainya langsung turun. Bisa menjadi hanya Rp 12.000 atau bahkan kurang dari itu.

Gue heran, ini ‘kan uang dolar asli, sisa belanja waktu gue perjalanan dinas ke Los Angeles, Amerika Serikat, kok begitu ditukar di Jakarta, banyak bank dan money changer yang nggak mau terima. Kalau pun mau terima dan menukarnya ke rupiah, dapatnya tidak sesuai dengan kurs yang berlaku, dipotong banyak banget,” keluh seorang teman beberapa waktu lalu.

Hal berbeda misalnya kalau kita menukar valuta asing di Singapura. Dolar AS yang kondisinya sudah lusuh pun, tetap dinilai sama dengan kurs valuta asing yang berlaku saat itu. Itulah sebabnya, belajar dari pengalaman tersebut, banyak teman yang mendapatkan dolar AS dalam kondisi yang kurang mulus, memilih untuk menukarnya di luar negeri. Daripada menukar di Indonesia menjadi turun nilainya. Walaupun kalau sudah menukar dolar AS yang lusuh ke mata uang asing lain di luar negeri, kemudian akan ditukar lagi ke rupiah, nilainya juga turun juga.

Sementara beberapa teman, mengumpulkan saja dolar AS yang tidak mulus itu, berharap kalau ada kesempatan ke AS atau ada teman dan saudara yang ke sana, bisa membawa atau menitipkan uang dolar AS itu untuk dibelanjakan lagi di sana. Ya, begitulah kalau di negara ini masih “mengagung-agungkan” valuta asing, khususnya dolar AS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun