Mohon tunggu...
Berty Kristina Napitupulu
Berty Kristina Napitupulu Mohon Tunggu... Guru - Berjalan bersama dengan Tuhan

Pembelajar seumur hidup untuk memanusia dan memanusiakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan

23 September 2021   23:58 Diperbarui: 24 September 2021   00:00 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan, membaca kata ini apa yang terpikirkan? Wanita cantik? Seorang yang bersih, lembut, rajin? Atau seorang istri; seorang Ibu yang melahirkan, menyusui, memasak, mencuci pakaian, piring kotor dan berbagai kotoran lainnya? 

Jaman mungkin berubah; dari generasi ke generasi, kelihatannya budaya masih sangat mempengaruhi cara pandang dan perlakuan masyarakat terhadap perempuan. 

Tapi Salomo raja yang paling bijaksana disepanjang sejarah umat manusia sudah mengatakan bahwa di bawah matahari tidak ada sesuatu yang baru. (Pengkotbah 1:9). Pandangan maupun perlakuan terhadap perempuan pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. 

Contohnya, pada jaman dengan kemajuan teknologi yang makin tidak terbendung ini pun, masih mudah menemukan orang tua yang berpandangan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya hanya akan ikut suami. 

Atau kalimat yang lebih merendahkan dan membatasi aktualisasi iman anak perempuan dengan mengatakan,'Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya ke dapur juga!" Lebih miris lagi, ketika pernyataan itu justru terucap dari  mulut sesama perempuan. Sebuah ironi di mana perempuan sendiri menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki. 

Ucapan-ucapan senada yang  membedakan laki-laki dan perempuan secara tidak proporsional itu mudah ditemui. Bukan hanya di rumah atau di masyarakat. Bahkan di gereja atau di dunia pendidikan formal, bisa ditemukan. 

Seperti kalimat, " Anak perempuan kok jorok sih? Nanti tidak laku lho." (Seolah perempuan barang dagangan atau pajangan yang diperjualbelikan. Atau kalimat, "Anak perempuan kok malas/kasar/pemarah/ngak sabaran...!" seolah-olah kalau anak laki-laki wajar kalau jorok, malas, kasar, pemarah atau tidak sabaran. 

Budaya Patriarki yang sangat mengharapkan anak laki-laki untuk meneruskan garis keluarga, sering kali perempuan menjadi korban. Istri berulang kali harus mengandung dan melahirkan demi untuk  melahirkan anak laki-laki. 

Tidak jarang terpaksa menyerahkan  bayi perempuan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya karena sebenarnya memang tidak sanggup lagi membiayai anak lebih dari dua. Tuntutan budaya patriarki,  membuat perempuan dalam posisi sulit. 

Sebenarnya tidak ada salahnya menjadi perempuan cantik, sabar maupun lemah lembut; apa lagi kalau menjadi perempuan yang punya kecakapan memasak, menata rumah, menjahit, menyulam dan sebagainya karena itu  merupakan keterampilan kehidupan. Pandangan yang membuat seolah-olah laki-laki tidak perlu demikianlah yang salah. 

Padahal, bukankah Tuhan menginginkan umat-Nya, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki karakter sabar, lemah lembut, rajin dan sebagainya. 

Tuhan menghendaki umat-Nya, apapun gendernya untuk hidup menghasilkan buah Roh (bnd. Galatia 5: 22-23). Lebih dari pada itu bukankah Yesus Kristus mati di kayu salib untuk menebus baik laki-laki maupun perempuan dengan darah-Nya yang kudus? Artinya, laki-laki dalam perempuan, di dalam Kristus sama berharganya. Paradigma laki-laki lebih berharga dari perempuan sungguh merusak desain Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan keunikan masing-masing. 

Perempuan memang dibangun dari tulang rusuk Adam, tetapi itu tidak membuat Adam menjadi lebih manusia dibanding Hawa (perempuan). Keduanya Allah ciptakan untuk saling melengkapi sebagai gambar dan rupa Allah, yang Allah katakan sungguh amat baik. 

Paulus dalam suratnya ke jemaat di Korintus menegaskan bahwa di dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah (1 Korintus 11:11-12 ). 

Sepanjang sejarah dunia  menunjukkan kaum perempuan (feminin) dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarchal sifatnya. Perempuan dianggap dan diperlakukan lebih inferior dari pada  laki-laki. Tidak jarang perempuan 'bernilai' tergantung kedudukan pria yang ada dalam hidupnya. Di dalam bidang politik ada satu masa di mana perempuan tidak memiliki hak dipilih atau memilih. 

Pada masyarakat tradisional, pria ditempatkan diluar rumah sebagai pencari nafkah sedang perempuan ditempatkan di rumah. 

Keadaan ini memang  terus mengalami perubahan dengan munculnya orang-orang yang memperjuangkan kesetaraan gender, termasuk salah satunya gerakan feminisme. Namun tetap perlu mencermati, jangan atas nama kesetaraan gender, perempuan malah menyangkali hakikat dirinya yang unik sebagai perempuan. 

Nilai-nilai budaya yang dihidupi seharusnya dievaluasi dan ditundukkan dibawah nilai-nilai kebenaran firman sebagai tolok ukur absolut.  

Baik laki-laki maupun perempuan, mempersembahkan diri sebagai persembahan yang hidup kepada Tuhan Sang Pemberi hidup adalah hakekat hidup. Soal bagaimananya, mungkin dipengaruhi oleh gender dan keunikan lainnya, yang dimiliki masing-masing orang (apapun gendernya).  

Untuk itu, mari ciptakan budaya hidup yang baru, budaya yang memperlakukan baik laki-laki maupun perempuan sebagai sesama manusia. 

Perintah Tuhan jelas: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada yang mau "dinomor duakan", jadi kenapa harus dibuat sulit, hilangkan saja nomornya karena laki-laki dan perempuan sehakekat: gambar dan rupa Allah. Perempuan perlu mulai menghargai dirinya sebagai pribadi yang sama berharganya dengan laki-laki sehingga bisa memperlakukan sesama perempuan juga dengan sudut pandang yang sama. 

Selamat berperan dan berkarya perempuan Indonesia, aktualisasikan diri sesuai dengan keunikan potensi yang sudah Tuhan anugerahkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun