Mohon tunggu...
Berty Kristina Napitupulu
Berty Kristina Napitupulu Mohon Tunggu... Guru - Berjalan bersama dengan Tuhan

Pembelajar seumur hidup untuk memanusia dan memanusiakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kehidupan Menyanyikan Kematian

8 Agustus 2021   12:31 Diperbarui: 8 Agustus 2021   12:44 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kehidupan Menyanyikan Kematian

 

Pandemi Covid-19 membawa kematian terasa begitu dekat dan melekat dengan kehidupan. Bunyi ambulans terasa akrab ditelinga disusul jumlah kematian yang semakin meningkat. Antrian untuk mengisi tabung oksigen semakin memanjang seiring penuhnya ruang-ruang rumah sakit dengan 'pasien Covid-19". Setidaknya ini adalah gambaran kehidupan dipertengahan bulan July 2021 di daerah jobodetabek pada masa pandemic Covid-19 ini. Gambaran ini sekaligus menceritakan nyanyian kematian yang dibaliknya ada 1001 kisah kehidupan: tentang harapan, perjuangan, doa-doa bersimbah air mata serta pupusnya harapan menyaksikan kematian menjemput orang yang dikasihi. Mungkin juga terselip kekecewaan bahkan kemarahan terhadap Sang Khalik yang seolah membiarkan semua ini terjadi.

Dunia bertanya-tanya, berapa lama lagi pandemi ini akan berlangsung? Anak 9 tahun yang tiba-tiba kehilangan kedua orangtuanya atas nama Covid-19 tidak sanggup memahami mengapa dia tiba-tiba menjadi sebatangkara, sambil menjalani isolasi mandiri karena ia pun terindikasi positif Covid. Sedikit lebih dewasa, anak remaja yang terpaksa menyembunyikan kematian Ayahnya  karena Covid juga membuat Ibunya berbaring di rumah sakit dengan alat bantu pernapasan. Dia pun sulit memahami mengapa orangtuanya yang selalu menjaga protokol kesehatan justru yang terindikasi bahkan mengalami kematian.

Dalam situasi ini, nyanyian Daud (Mazmur 13:1-2) terdengar nyaring bergema dihati, "Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus ? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu  terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku (Covid-19) meninggikan diri atasku?" sambil membayangkan mereka yang berduka menghadapi kematian orang-orang yang mereka kasihi.

Mungkin semua orang memahami bahwa semua orang yang hidup suatu kali akan mengalami kematian. Ini konsekwensi dari semua manusia yang sudah dosa. Namun, sama seperti Yesus Kristus sudah mengalahkan maut dengan bangkit dari kematian, demikian juga di dalam anugerah-Nya setiap orang percaya yang meninggal mengalami kebangkit dan hidup dalam kemulian-Nya. Bagi mereka yang sudah meninggal di dalam Tuhan, tidak ada lagi kebutuhan bantuan pernafasan karena sesak yang menyakitkan atau menanti mendapatkan tempat tidur di IGD sambil menatap nanar tak berdaya petugas medis yang hilir mudik menangani pasien lainnya; tidak ada lagi sakit penyakit atau Covid-19 maupun kesusahan hidup lainnya. Kematian membawa mereka bertemu dengan Sang Khalik dan mengalami bahwa kematian di dalam Yesus Kristus adalah keuntungan (Filipi 1:21).

Namun di sisi lain, ratap tangis atau tangisan tanpa suara, mungkin juga tanpa airmata memenuhi hari mereka yang ditinggalkan. Kepergian orang yang dikasihi menimbulkan ruang yang kosong, menggemakan tanya akan keberadaan Sang Khalik; mempertanyakan adakah ini waktu yang tepat dan segudang tanya lainnya. Bayangkan saja, bagaimana seorang anak sembilan tahun siap menghadapi kematian kedua orangtuanya? Atau anak yang berkebutuhan khusus, tiba-tiba kehilangan Ibu yang merawatnya?

Tidak semua orang siap menghadapi kematian orang-orang yang dikasihi meski kehidupan di pandemic Covid-19 membawa kematian begitu dekat dan melekat di dalam keseharian. Ngaungan ambulans menjadi nyanyian kehidupan bahwa kematian mendekat; menggugah pikiran bahwa ajal bisa menjemput kapan saja, siap tidak siap! Nyanyian "Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya...." di hari ulang tahun hanyalah sebuah harapan yang bisa jadi dalam hitungan menit berhadapan dengan realita kematian.

Kehidupan yang menyanyikan kematian juga, terlihat dari ucapan turut berduacita lewat pesan-pesan di handphone pintar.  Pesan yang hadir lewat wa pribadi dan group-group wa untuk menghibur mereka yang kehilangan orang-orang terkasih. Sekelumit cerita turut berdukacita di pesan-pesan teks wa sebagai berikut ini (tanda ***** untuk menutup identitas):

Selamat malam *****.Turut berdukacita utk ***** dan seluruh keluarga yg ditinggalkan kiranya Tuhan yang memberi penghiburan dan kekuatan

*****tahu aku minta dan berdoa pada Tuhan.. Pulihkan sembuhkan.. Jgn panggil ya Tuhan mash ada keluarga ***** yg butuh ***** terutama *****. Benar2 Tuhan kita unpredictable God ya *****Turut berduka ya *****Pelukan kasihku bagimu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun