komunikasi yang dilaksanakan pada 5-15 September 2024 di ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta.Â
Pameran Hangabehi merupakan pameran yang memamerkan alat-alatPameran ini dibuka oleh Margono Wedyapranaswara, seorang penyiar dan presenter senior di Yogyakarta. Grup Orkes Keroncong Sakpenake juga ikut memeriahkan pembukaan pameran ini. Pengantar pameran ini ditulis oleh Romo Sindhunata selaku Kurator Bentara Budaya Yogyakarta.
Pameran ini menampilkan alat-alat komunikasi, mulai dari yang mekanismenya paling "primitif" seperti kentongan dan burung merpati pengantar surat hingga yang terkini yaitu komputer dan ponsel pintar atau smartphone (tentu burung merpati tadi diwakilkan sebuah ilustrasi, bukan burung merpati asli dihadirkan sebagai pajangan).Â
Penempatan alat-alat tersebut diurutkan mulai dari yang paling sederhana sampai yang mutakhir untuk menunjukkan evolusi teknologi komunikasi secara kronologis. Alat-alat yang dipamerkan mencakup sarana komunikasi berbagai medium: tulisan, auditori, visual, dan audiovisual.
Jika kita berasumsi bahwa definisi komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lainnya, maka pameran ini dapat memperkaya pandangan kita mengenai definisi tersebut.Â
Dalam pengantar pameran tersebut, Romo Sindhunata mengemukakan betapa hari ini kita telah lekat sekali dengan ponsel pintar dan Artificial Intelligence (AI) yang dapat mengerjakan segala sesuatu secara instan sehingga kita kerap berjarak bahkan melupakan evolusi panjang dari proses komunikasi itu sendiri.Â
Proses karya seni lukis yang memerlukan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan saat ini dapat dihasilkan dalam hitungan menit dengan AI. Menurut saya, singkatnya dinamika psikologis manusia yang melekat dalam proses komunikasi sudah sangat terpangkas dengan maraknya teknologi digital dan AI saat ini.
Hadirnya Pameran Hangabehi memangkas jurang keterasingan kita dengan evolusi proses komunikasi yang "organik". Bagaimanapun, kemudahan komunikasi yang kita nikmati hari ini tidak lepas dari sejarah proses komunikasi yang alat-alatnya atau artefak-artefaknya ditampilkan dalam pameran ini.Â
Melalui sebuah gramaphone tahun 1930 dan piringan hitam berisi musik keroncong Koesbini dari tahun 1938, saya membayangkan betapa bernilainya alunan musik yang dihasilkan oleh piringan hitam melalui sebuah gramophone di kala itu.Â
Dari tahap perekaman hingga hasilnya bisa dinikmati penikmat musik di kala itu pasti melalui berbagai proses panjang yang membuat hasil rekaman karya musik itu menjadi sangat bernilai. Ini baru satu contoh dari berbagai jenis proses komunikasi lainnya.
Saya pun berusaha melihat gagasan yang ditawarkan pameran ini melalui sudut pandang kemudahan komunikasi yang kita nikmati hari ini. Terkesan bahwa komunikasi zaman dahulu prosesnya sangat lambat dan penuh keterbatasan.
Hari ini kita bisa menghubungi keluarga di kampung halaman dengan video call maupun pesan WhatsApp dalam hitungan detik. Namun empat puluhan tahun lalu, surat yang memakan waktu mingguan hingga bulanan menjadi sarana komunikasi andalan, belum lagi kalau ke daerah pelosok.Â
Berbagai keterbatasan itulah yang membuat orang lebih menghargai komunikasi dengan orang lain. Karena bersurat membutuhkan waktu yang lama, maka orang dituntut untuk lebih teliti, tekun, dan sabar.Â
Ruang untuk terjadinya kesalahan pun otomatis amat minim karena jika terjadi kesalahan dalam komunikasi, maka dibutuhkan usaha dan waktu ekstra untuk memperbaikinya.
Namun saat ini, jika saya salah mengirim pesan di WhatsApp, saya bisa langsung edit dengan praktis. Beda zaman beda tuntutan. Namun, dapatkah kita semakin menghadirkan sifat teliti, sabar, menghargai relasi kita dengan orang lain, dan menghargai ketekunan (seperti orang zaman dahulu) di tengah zaman yang serba cepat dan instan ini?
Refleksi tersebut pun menghidupkan pemahaman bahwa dinamika psikologis manusia dalam proses komunikasi tetap harus kita pupuk pada era digital saat ini. Melalui pameran ini kita diajak untuk melihat bahwa sebuah karya dihasilkan melalui proses yang melibatkan dinamika psikologis manusia yang bernilai, lebih dari sebuah produk hasil pragmatisme instan.
Agaknya cukup satir jika tujuan esensial komunikasi untuk menjembatani relasi antar manusia, yang dahulu dilakukan dengan kentongan dan burung merpati kemudian saat ini berevolusi menjadi gawai digital malah meningkatkan individualitas kita.Â
Jangan sampai kemudahan dan kecanggihan teknologi komunikasi yang kita nikmati saat ini malah makin memupuk individualitas kita, menjauhkan kita dari interaksi antar sesama, dan mengaburkan kesadaran akan dinamika psikologis dalam proses komunikasi kita.
Betapa sensasi nostalgia kental terasa dalam ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta yang selama 10 hari disulap menjadi sebuah museum komunikasi penuh dengan alat-alat komunikasi berusia puluhan tahun yang bernilai sejarah.Â
Proficiat bagi Bentara Budaya Yogyakarta, kurator, pemilik alat-alat komunikasi, inisiator pameran, dan semua pihak yang terlibat hingga terciptanya pameran Hangabehi yang edukatif dan bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H