Hari ini kita bisa menghubungi keluarga di kampung halaman dengan video call maupun pesan WhatsApp dalam hitungan detik. Namun empat puluhan tahun lalu, surat yang memakan waktu mingguan hingga bulanan menjadi sarana komunikasi andalan, belum lagi kalau ke daerah pelosok.Â
Berbagai keterbatasan itulah yang membuat orang lebih menghargai komunikasi dengan orang lain. Karena bersurat membutuhkan waktu yang lama, maka orang dituntut untuk lebih teliti, tekun, dan sabar.Â
Ruang untuk terjadinya kesalahan pun otomatis amat minim karena jika terjadi kesalahan dalam komunikasi, maka dibutuhkan usaha dan waktu ekstra untuk memperbaikinya.
Namun saat ini, jika saya salah mengirim pesan di WhatsApp, saya bisa langsung edit dengan praktis. Beda zaman beda tuntutan. Namun, dapatkah kita semakin menghadirkan sifat teliti, sabar, menghargai relasi kita dengan orang lain, dan menghargai ketekunan (seperti orang zaman dahulu) di tengah zaman yang serba cepat dan instan ini?
Refleksi tersebut pun menghidupkan pemahaman bahwa dinamika psikologis manusia dalam proses komunikasi tetap harus kita pupuk pada era digital saat ini. Melalui pameran ini kita diajak untuk melihat bahwa sebuah karya dihasilkan melalui proses yang melibatkan dinamika psikologis manusia yang bernilai, lebih dari sebuah produk hasil pragmatisme instan.
Agaknya cukup satir jika tujuan esensial komunikasi untuk menjembatani relasi antar manusia, yang dahulu dilakukan dengan kentongan dan burung merpati kemudian saat ini berevolusi menjadi gawai digital malah meningkatkan individualitas kita.Â
Jangan sampai kemudahan dan kecanggihan teknologi komunikasi yang kita nikmati saat ini malah makin memupuk individualitas kita, menjauhkan kita dari interaksi antar sesama, dan mengaburkan kesadaran akan dinamika psikologis dalam proses komunikasi kita.
Betapa sensasi nostalgia kental terasa dalam ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta yang selama 10 hari disulap menjadi sebuah museum komunikasi penuh dengan alat-alat komunikasi berusia puluhan tahun yang bernilai sejarah.Â
Proficiat bagi Bentara Budaya Yogyakarta, kurator, pemilik alat-alat komunikasi, inisiator pameran, dan semua pihak yang terlibat hingga terciptanya pameran Hangabehi yang edukatif dan bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H