Pendahuluan: Surat terbuka ini saya tulis untuk mengikuti lomba menulis Surat untuk Paus yang diadakan oleh Majalah Utusan dalam rangka menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3 September 2024. Namun karena surat ini belum dapat diterbitkan, maka saya mempublikasikan surat ini di kolom pribadi Kompasiana saya.
Sebagai seorang umat Katolik biasa yang lahir pada tahun 1995, saya hanya bisa mendengar kisah-kisah bahwa Paus Yohanes Paulus II pernah berkunjung ke beberapa kota di Indonesia selama 10 hari pada tahun 1989. Saya mendengar betapa bergeloranya hati umat Katolik Indonesia dalam menyambut kedatangan Bapa Suci waktu itu. Saya hanya dapat melihat peristiwa bersejarah itu melalui video-video di YouTube. Betapa tersentuhnya hati umat Katolik Indonesia saat mengikuti misa yang dipimpin langsung oleh Bapa Suci kala itu. Betapa saya ingin sekali masuk ke mesin waktu dan hadir disana. Kalaupun bisa, pasti saya mengikuti misa itu dengan menitikan air mata bahagia karena bisa hadir melihat Bapa Suci - pimpinan tertinggi umat Katolik sedunia - secara langsung. Dan beberapa minggu yang lalu, ketika saya membaca berita di berbagai akun sosial media bahwa Paus Fransiskus akan berkunjung ke Indonesia, hati saya hanya bisa berbisik "benarkah?"
Berbagai emosi meletup bagaikan kembang api di langit malam tahun baru ketika berita kunjungan apostolik Bapa Suci tersebut terbit secara resmi. Kisah-kisah yang saya dengar mengenai kedatangan Bapa Suci di masa silam muncul kembali ke permukaan di memori saya. Sampai-sampai hati saya berharap "Jika Tuhan mengizinkan, saya mungkin saja dapat melihat Bapa Suci Fransiskus secara langsung setidaknya sekali dalam seumur hidup. Dan saya akan merasa amat bersyukur jika berkesempatan datang ke misa yang dipimpin Bapa Suci secara langsung seperti yang saya lihat di video YouTube itu."
Muncullah pertanyaan reflektif personal di benak saya: bagaimana makna kehadiran Bapa Suci di tanah air bisa begitu dalam di hati umat Katolik - atau setidaknya di hati saya sendiri? Lalu, seberapa signifikan makna tersebut bagi diri saya secara pribadi? Jawaban dari pertanyaan itu mungkin lebih dari jawaban sederhana.
Jawaban itu berkenaan langsung dengan makna mendalam menjadi seorang Katolik itu sendiri. Kita tentu membutuhkan bimbingan rohani dari seorang gembala untuk menjalani kehidupan beriman yang baik. Gembala menjadi teladan bagi umat dalam menjawab berbagai pertanyaan dalam kehidupan, terutama yang menyangkut nilai-nilai moral, prinsip-prinsip iman, bagaimana menjalin hubungan kita dengan Tuhan, dan aspek rohani lainnya yang berkaitan langsung dengan kehidupan bermasyarakat. Saya mencari jawaban atas pertanyaan tersebut melalui retret, diskusi dengan romo dan suster, dalam proses pendidikan di sekolah Katolik, dan di media massa dimana saya mulai mengenal Paus Fransiskus.
Seiring berjalannya waktu, kecintaan saya pada Katolik pun tumbuh seraya menyadari bahwa saya menjadi bagian dari komunitas Katolik dunia yang lebih besar. Dalam benak saya, betapa cerahnya dunia yang diwarnai senyum semangat kasih perdamaian yang hadir di wajah para warganya. Cita-cita ideal ini erat hubungannya dengan peran gembala yang menaungi umat di taraf global, yaitu Bapa Suci.
Namun dalam perjalanan hidup saya yang makin dewasa, saya melihat berbagai peristiwa menyedihkan di masyarakat. Berbagai kisah bernada kontra-toleransi, politik identitas, dan kisah-kisah menyedihkan lainnya bukanlah berita baru di telinga saya dan umat-umat lain. Kita semua ditantang untuk menjadi representasi murid Kristus yang toleran, bersemangat menjadi terang dunia, dan menebarkan kasih inklusif yang bersahabat di tengah masyarakat yang majemuk.
Di tengah tantangan ini, kita memandang pribadi Bapa Suci Fransiskus. Sebagai pimpinan tertinggi umat Katolik yang disegani oleh mayoritas pemimpin besar di dunia, beliau mau membasuh bahkan mencium kaki narapidana serta pengungsi beragama lain demi menekankan nilai panggilan pelayanan, kerendahan hati, inklusivitas, serta toleransi. Betapa karya Bapa Suci ini menggugah nurani dan memberi kita letupan semangat untuk semakin meneladani Kristus. Disaat Indonesia mengalami tantangan toleransi yang serius di Surabaya pada 2018 silam, Bapa Suci Fransiskus tak luput segera menyatakan simpati dan doanya bagi para korban peristiwa tersebut. Saat beliau bicara, seluruh dunia menyimak.
Kepemimpinan Paus Fransiskus juga mencerminkan sikap rendah hati dan egalitarian yang patut kita teladani. Di zaman modern ini, tidak begitu sering kita melihat seorang pemimpin dengan jabatan tinggi dan posisi strategis mau "turun" dan berbaur dengan orang-orang yang kerap ditolak oleh masyarakat (seperti kaum miskin papa, narapidana, pengungsi, dll.) untuk menekankan nilai kemanusiaan yang inklusif, setara, dan bermartabat. Jika suatu saat kita diberi tanggung jawab untuk memimpin di posisi strategis, maukah kita bersikap seperti beliau?
Karya-karya Bapa Suci Fransiskus menjadi inspirasi umat Katolik dalam menyikapi tantangan toleransi di tengah masyarakat yang majemuk secara bijaksana. Kehadiran Bapa Suci akan menyemangati kita di tengah "tekanan" masa kini, dimana krisis kemanusiaan sedang melanda berbagai belahan dunia. Hadirnya Paus Fransiskus di Indonesia menjadi simbol dan jawaban bahwa ajaran Kristus yaitu cinta kasih adalah nyata dan lebih besar dari berbagai tantangan dunia yang kita hadapi di depan mata.