Saya masih sering tergelitik oleh pertanyaan-pertanyaan open-ended yang sifatnya personal seperti apa makna kehidupan, mengapa kita mengimani apa yang kita imani, apa tujuan kehidupan ke dunia.
Mengapa dogma diciptakan, bagaimana menelaah serta menyikapi nilai-nilai sosial yang ada saat ini secara kritis, dan banyak pertanyaan lain yang sifatnya personal, dalam, dan minimal tidak dangkal, tidak se-pragmatis itu.
Dalam hal ini, pragmatisme seperti sebuah sepeda yang harus terus dikayuh, kalau berhenti dikayuh sepeda bisa berhenti lalu tertinggal dari sepeda lain atau jatuh kesamping.Â
Dengan padatnya aktivitas dan keseharian yang mengharuskan kita menjadi pragmatis untuk bertahan hidup, biasanya pertanyaan-pertanyaan esensial itu sulit mendapat tempat dan waktu di pikiran kita, atau minimal pikiran saya sendiri.Â
Alhasil, lama kelamaan saya pun menjadi agak kesulitan dalam menjabarkan hal-hal esensial dalam hidup, mempertanyakannya, menyikapinya secara kritis, dan menjelaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut pada diri saya sendiri.
Untuk beradaptasi dengan pragmatisme dan pengejaran hal-hal yang esensial yang sifatnya lebih personal, saya berusaha menempatkan keduanya pada tempat yang tepat.Â
Pada akhirnya, diatas semuanya saya melihat hidup harmonis adalah hal baik dan tidak lebih dahulu terjadi dengan orang lain, namun juga diusahakan sendiri terlebih dahulu pada pikiran dan mental kita supaya lebih seimbang dan sesuai.Â
Dalam setting pekerjaan, saya pragmatis. Dalam setting personal, semua hal diluar pragmatisme saya alokasikan dalam meditasi dan me-time.
Seperti akun Instagram yang memiliki flip-side atau akun WhatsApp yang dibedakan antara akun bisnis dan akun pribadi, saya pun melakukan hal serupa untuk pragmatisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H